Menemukan ‘Someone to Talk’ di Tengah Keheningan Digital: Mengapa Remaja dan Dewasa Muda Butuh Koneksi Nyata untuk Kesehatan Mental?

Menemukan ‘Someone to Talk’ di Tengah Keheningan Digital: Mengapa Remaja dan Dewasa Muda Butuh Koneksi Nyata untuk Kesehatan Mental?

Di tengah laju dunia digital dan teknologi yang semakin pesat. Hiruk pikuk dunia telah memperluas definisi koneksi hingga mencakup ribuan “teman” dan “pengikut” di platform media sosial. Namun, di balik kehadiran teknologi yang memungkinkan kita saling terhubung dalam hitungan detik, ada paradox yang menyakitkan: keheningan yang nyata. Keheningan ini hadir bukan karena minimnya interaksi, melainkan karena kurangnya kualitas dari hubungan yang terjalin. Banyak orang, terutama remaja dan dewasa muda, merasa seolah tenggelam dalam dunia maya yang penuh dengan distraksi visual. Tetapi mereka justru kesulitan menemukan teman bicara yang benar-benar memahami dan mendengarkan. 

Tekanan Psikologis yang Dihasilkan oleh Kehidupan Digital

Fenomena ini menghadirkan tantangan yang semakin besar. Sebab, intensitas jaringan digital sering kali menimbulkan tekanan psikologis tambahan pada remaja dan dewasa muda. Media sosial menciptakan lingkungan di mana penampilan suatu hubungan sering kali lebih penting daripada kontennya. Ketika berbagai aplikasi menggambarkan hal-hal penting dalam kehidupan orang lain dengan cara yang menyenangkan dan sempurna. Banyak dari kita merasa tertekan untuk terlihat sama dan sulit mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan. Ironisnya, dengan banyaknya hal yang terjadi di dunia digital, tidak jarang rasa kesepian dan kecemasan semakin meningkat. Oleh karena itu, kita sangat membutuhkan tidak hanya teman di layar, tetapi juga orang-orang yang dapat kita ajak bicara dalam kehidupan nyata. Atau, orang-orang yang ada untuk mendengarkan, memahami, dan menerima.

Dalam konteks ini, memiliki koneksi nyata tidak hanya menjadi sekadar kebutuhan sosial, tetapi juga kunci penting untuk menjaga kesehatan mental. Hubungan yang autentik menawarkan kelegaan, perasaan diterima, dan dukungan emosional yang tidak dapat digantikan oleh dunia digital. Melalui essay ini, kita akan mendalami mengapa remaja dan dewasa muda perlu menemukan “someone to talk” di tengah keheningan digital, demi menghadirkan keseimbangan emosional yang lebih baik dalam kehidupan mereka. 

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari remaja dan dewasa muda. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) memberi peluang besar untuk mengekspresikan diri dan membangun koneksi tanpa batas ruang dan waktu. Namun di balik banyaknya “like”, “share”, dan “follower”, media sosial sering kali hanya menciptakan ilusi hubungan. Keterikatan ini menghasilkan gambaran kehidupan yang tampak sempurna di permukaan, tetapi kosong di kedalaman, seolah memberi ruang bagi eksistensi yang berjarak. Fenomena ini justru memperburuk perasaan terasing, karena banyak individu merasa perlu memenuhi standar kesempurnaan yang dibangun secara tidak realistis. 

Identitas Palsu dan Tekanan dalam Dunia Virtual

Tekanan untuk tampil bahagia dan “sempurna” dalam kehidupan virtual membuat banyak penggunaan remaja merasa terperangkap dalam identitas palsu. Kesadaran bahwa kehidupan online dipenuhi oleh estetika dan kepura-puraan membuat banyak individu merasa terjebak, seolah-olah mereka tidak bisa menunjukkan sisi rapuh atau rentan. Sebagai contoh, banyak penggunaan di TikTok yang mengakui bagaimana mereka mengedit diri dan kehidupan mereka hingga tampak “sukses” untuk memenuhi ekspetasi pengikut, bahkan saat menghadapi masa-masa sulit. Hal ini akhirnya menciptakan tekanan emosional yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan, melainkan keterasingan dari diri sendiri dan dari orang lain. 

Kemajuan teknologi digital tampaknya memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia: kehadiran fisik dan emosional dalam hubungan interpersonal. Saat ini banyak remaja dan anak muda yang mengalami fenomena “sendirian di tengah keramaian”. Dalam fenomena ini, interaksi digital yang terus-menerus menciptakan ilusi keintiman, namun keinginan untuk keintiman emosional yang sebenarnya tidak terpenuhi. Budaya digital mendorong interaksi sederhana, namun interaksi ini sering kali bersifat dangkal dan tidak memenuhi kebutuhan akan keintiman atau kehadiran.

Kasus-kasus di X dan Instagram menunjukkan betapa mendalamnya kebutuhan orang untuk memiliki “someone to talk to” di tengah semua kebisingan digital ini. Banyak pengguna yang membagikan perasaan terisolasi, berharap seseorang akan benar-benar mendengar tanpa sekadar “melihat” unggahan mereka. Ironisnya, meskipun platform-platform ini dirancang untuk mempertemukan banyak orang, sering kali para penggunanya merasa lebih kesepian. Ketika seseorang mencari perhatian yang tulus namun hanya mendapat respons ringan seperti “like” atau komentar standar, rasa keterasingan pun semakin dalam. 

“Konektivitas menganggur” berdampak besar pada kesehatan mental pengguna, terutama remaja dan dewasa muda. Berbagai penelitian dan bukti anekdot mengenai media sosial menunjukkan bahwa paparan koneksi dangkal tanpa keintiman dapat memperburuk masalah kecemasan, kecemasan, depresi, dan harga diri. Remaja yang terjebak dalam siklus media sosial takut akan persepsi orang lain terhadap mereka. Kekhawatiran ini dapat berkembang menjadi perasaan cemas yang berkelanjutan.

Keseimbangan Koneksi Virtual dan Nyata: Pentingnya Relasi yang Autentik

Depresi yang dialami akibat ketidakseimbangan antara koneksi virtual dan nyata juga marak ditemukan. Pengguna di Instagram, misalnya: banyak membagikan cerita bagaimana mereka merasa “tidak cukup” dibandingkan dengan apa yang mereka lihat di feed orang lain. Dari sekadar melihat momen bahagia orang lain hingga perbandingan pencapaian, media sosial sering memperbesar perasaan ketidakberdayaan dan tidak puas dengan diri sendiri. Berbagai kampanye kesadaran di Instagram dan X memperlihatkan pentingnya memiliki teman bicara yang sejati—seseorang yang bisa mendengarkan tanpa penilaian, memberikan dukungan emosional, dan hadir secara nyata. 

Kebutuhan manusia akan keintiman dan relasi yang sejati sudah lama dibahas dalam berbagai teori psikologi, salah satunya adalah teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Menurut Erikson, masa remaja hingga dewasa muda merupakan tahap penting yang melibatkan pencarian identitas dan pencapaian keintiman emosional yang sehat. Di tahap ini, remaja dan dewasa muda menghadapi krisis “intimasi vs isolasi”, di mana mereka perlu membangun hubungan yang bermakna untuk merasakan keterikatan emosional. Tanpa keintiman yang sejati, individu mungkin jatuh dalam rasa keterasingan, terjebak dalam siklusi isolasi emosional yang sulit untuk diatasi. 

Menurut teori ini, hubungan yang mendalam bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan psikologis dasar. Ketika remaja dan dewasa muda menghadapi dunia digital yang serba cepat dan penuh dengan ekspektasi, tantangan untuk menemukan identitas dan merasakan keintiman yang autentik menjadi semakin besar. Anda memerlukan seseorang yang dapat mendengarkan tanpa filter atau penilaian, bukan hanya teman digital. Hubungan yang bermakna ini memberi individu ruang untuk berbagi kekhawatiran, kesejahteraan, atau masalah pribadi yang memerlukan jawaban nyata, bukan sekadar suka atau balasan singkat.

Someone to Talk dan Keseimbangan Emosional di Era Digital

Memiliki seseorang untuk diajak bicara itu punya banyak manfaat bagi keseimbangan emosional seseorang. Seorang teman bicara memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Hal ini sering kali sulit dicapai di media sosial karena adanya tekanan untuk selalu terlihat “baik” atau mematuhi standar masyarakat. Hubungan yang tulus dan tanpa filter ini memungkinkan remaja dan dewasa muda merasa diakui secara emosional. Seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dihakimi atau ekspektasi yang tidak masuk akal.

Kehadiran lawan bicara yang nyata juga meningkatkan kemampuan seseorang untuk merasa didukung dan dipahami. Ketika seseorang merasa didukung, mereka cenderung lebih mudah mengatasi stres atau kecemasan yang dialaminya. Hal ini berlaku di dunia yang semakin sibuk dan kompetitif dimana banyak remaja dan dewasa muda merasakan tekanan untuk unggul dan tampil “sempurna”. Koneksi autentik yang memberikan kenyamanan emosional dapat membantu seseorang merasa lebih percaya diri dan diterima apa adanya, sehingga dapat mengurangi perasaan cemas dan depresi.

Dalam konteks kebutuhan akan teman bicara yang sejati, individu tidak hanya berbagi emosi tetapi juga membangun ketahanan mental yang kuat. Hal ini membuat mereka lebih mampu mengelola tekanan sosial dan membedakan antara realitas dan ekspektasi yang dibangun di dunia maya. Sebagaimana yang disarankan oleh teori Erikson, kehadiran teman yang autentik memungkinkan remaja dan dewasa muda mencapai keseimbangan emosional, identitas yang kokoh, dan ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi dinamika kehidupan digital yang penuh tantangan.

Membangun Relasi Mendalam melalui Interaksi Langsung dan Keterampilan Emosional

Untuk membangun kembali pentingnya hubungan yang mendalam, aktivitas yang melibatkan interaksi langsung perlu diperkenalkan secara aktif di kalangan remaja dan dewasa muda. Mengikuti kegiatan komunitas, support group, atau program mentoring memberikan mereka kesempatan untuk berbagi pengalaman, saling mendengarkan, dan membangun koneksi yang berarti. Kegiatan seperti ini memberikan ruang bagi individu untuk mengembangkan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dan merasa didukung tanpa tekanan sosial yang sering kali muncul di media digital. Selain itu, terlibat dalam lingkungan sosial tatap muka juga meningkatkan kemampuan mereka untuk mendengarkan secara empatik, menyampaikan pendapat secara terbuka, dan merasakan dukungan yang autentik.

Program-program berbasis komunitas atau kelompok dukungan juga mengajarkan bagaimana menghadapi perbedaan pendapat dan membangun toleransi. Misalnya, support group yang fokus pada kesehatan mental memungkinkan remaja dan dewasa muda merasa aman untuk mengungkapkan perasaan mereka, dengan keyakinan bahwa mereka akan dipahami dan divalidasi. Kegiatan semacam ini dapat memperkaya kualitas relasi yang lebih mendalam, sekaligus memenuhi kebutuhan psikologis akan kehadiran nyata seseorang.

Memberikan keterampilan komunikasi yang efektif dan kecerdasan emosional sangat penting untuk mengatasi tantangan dalam membangun hubungan nyata. Kompetensi emosional membantu individu mengenali dan memahami emosinya serta mengekspresikannya dengan cara yang sehat. Dedangkan keterampilan sosial mengajarkan mereka untuk berinteraksi dan berempati dengan orang lain. Remaja dan dewasa muda dengan kecerdasan emosional yang baik lebih mungkin membentuk hubungan yang tidak hanya mendukung secara emosional. Namun juga memperkuat keseimbangan mental mereka.

Pengajaran kompetensi emosional dilakukan melalui sekolah dan program setelah sekolah untuk mendorong remaja mendengarkan dan merespons dengan empati. Keterampilan sosial juga mengajarkan orang bagaimana meminta bantuan atau berbicara dengan seseorang ketika mereka merasa kesepian atau cemas. Dengan membangun keterampilan ini, seseorang tidak hanya akan dapat menemukan orang untuk melakukan percakapan yang bermakna. Namun individu juga akan belajar menjadi rekan percakapan yang baik dengan orang lain.

Detoks Digital: Menghubungkan Dunia Nyata untuk Keseimbangan Emosional

Di tengah arus digital yang cepat, mengatur waktu layar dan melakukan “detoks digital” adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara dunia online dan offline. Waktu bebas layar memberi remaja dan dewasa muda kesempatan untuk terhubung dengan lingkungan fisik mereka, mengurangi ketergantungan terhadap interaksi virtual, dan lebih fokus pada diri mereka sendiri. Praktik ini bisa berupa menentukan batasan waktu untuk penggunaan media sosial, mengurangi frekuensi notifikasi, atau bahkan menetapkan hari bebas teknologi secara berkala.

Selain itu, detoks digital memungkinkan individu untuk merefleksikan kebutuhan mereka yang sebenarnya tanpa terpengaruh oleh ekspektasi sosial dari dunia maya. Kebiasaan tersebut tidak hanya mengurangi kecemasan dan stres sosial, namun juga memberikan kesempatan pada individu untuk lebih memahami dirinya, memperhatikan emosi yang muncul, dan mencari solusi yang lebih positif. Dengan mengembangkan pola kebiasaan ini, remaja dan dewasa muda dapat menyeimbangkan kebutuhan mereka akan konektivitas digital dan fisik. Sehingga meningkatkan kesehatan mental mereka secara keseluruhan.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan remaja dan dewasa muda tidak hanya mampu membentuk hubungan sosial yang lebih bermakna tetapi juga lebih siap menghadapi tantangan psikologis yang muncul di era digital.

Mengutamakan Hubungan Nyata untuk Kesejahteraan Emosional

Meski dunia digital telah menghadirkan berbagai kemudahan dalam menjalin koneksi, relasi yang terbentuk di ranah virtual sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia. Remaja dan dewasa muda membutuhkan lebih dari sekadar “like” dan “komentar”—mereka memerlukan “teman bicara” yang nyata, yang mampu memberikan kehadiran emosional dan mendukung mereka dalam menjalani fase-fase hidup yang penuh tantangan. Di tengah hiruk-pikuk digital yang sering kali membuat kita merasa kesepian, koneksi tatap muka yang mendalam dan autentik adalah kunci untuk mencapai kesehatan mental yang seimbang.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa kesejahteraan emosional tidak hanya bisa dibangun lewat interaksi di layar. Mengutamakan hubungan nyata adalah langkah bijak untuk menghindari tekanan sosial dan kecemasan yang muncul akibat ekspektasi dunia maya. Semakin banyak remaja dan dewasa muda yang merasakan efek dari “keheningan digital” ini. Saatnya bagi kita untuk mendorong mereka keluar dari batasan layar, berani mencari dukungan dalam dunia nyata, dan membangun hubungan yang sungguh bermakna. Di sinilah kita menemukan kekuatan sejati dari “someone to talk”—sebuah dukungan yang mengisi dan memperkuat keseimbangan mental di tengah arus digital yang terus berkembang.

Penulis: Siti Ainaya Annisa
Editor: Muhammad Ridhoi

BACA JUGA: The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI

Siti Ainaya Annisa

One response to “Menemukan ‘Someone to Talk’ di Tengah Keheningan Digital: Mengapa Remaja dan Dewasa Muda Butuh Koneksi Nyata untuk Kesehatan Mental?”

  1. […] BACA JUGA: Menemukan ‘Someone to Talk’ di Tengah Keheningan Digital: Mengapa Remaja dan Dewasa Muda Butuh K… […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *