Jawil ingin Tidur Selamanya – Cerpen Karya Yuditeha

Jawil ingin Tidur Selamanya – Cerpen Karya Yuditeha

Di antara pemuda seumurannya di Kampung Papahan RT 03, RW 07, hanya Jawil yang belum bekerja. Lebih tepatnya, tidak mau bekerja. Sudah berkali-kali teman-temannya mencarikan informasi lowongan pekerjaan, tapi tak sekali pun Jawil menanggapi. Bahkan ketika salah satu dari mereka menawarkan pekerjaan yang tinggal dijalani, Jawil tetap enggan. Sejak itu, teman-temannya mulai bersikap masa bodoh. Meski begitu, mereka masih bersikap baik, tetap menerima keberadaan Jawil saat nongkrong bersama.

Keadaan Jawil makin tak jelas ketika satu per satu temannya menikah, sementara ia tak juga menyusul. Tak ada perempuan yang mau menikah dengan pemuda pengangguran. Lebih tragis lagi, Jawil bukan berasal dari keluarga berada. Orangtuanya termasuk warga yang kurang mampu. Sehari-harinya, Jawil lebih banyak tidur. Ia memang sangat menikmati tidur, dan hal itu membuat kedua orangtuanya semakin bingung.

Kebiasaan tidurnya pun kerap jadi bahan obrolan teman-temannya. Alih-alih memberi nasihat bahwa kebanyakan tidur akan menjauhkan rezeki, mereka malah semakin yakin bahwa Jawil adalah pemuda bebal. Ia dianggap tidak peduli pada orang lain maupun lingkungannya. Karena itu, mereka malas berurusan dengannya. Bahkan, ada salah satu temannya yang sampai merasa muak dan menyumpahinya, “Terkutuklah kamu jadi bangsa kodok sekalian!”

Tapi, lagi-lagi, Jawil tak terpengaruh. Kebiasaannya tidur justru semakin menjadi-jadi. Dari sekian banyak temannya, hanya satu orang yang masih sesekali menyempatkan diri datang ke rumahnya, Purwo.

Siang itu, di sela waktu kerja, Purwo sengaja mampir ke rumah Jawil. Saat tiba, ibunya memberi tahu bahwa Jawil belum bangun sejak malam sebelumnya. Purwo sempat hendak pergi, tapi dicegah oleh ibu Jawil. Purwo dimintai tolong untuk membangunkannya. Permintaan itu disanggupi, dan Purwo pun masuk ke kamar Jawil.

Begitu berhasil membangunkan, Jawil langsung mengamuk. Tapi Purwo tidak tinggal diam. “Jam segini masih tidur saja, pemuda macam apa kau ini!”

“Ada masalah?” sahut Jawil dengan nada kesal.

“Kata ibumu, kau tidur seperti orang mati. Dari semalam belum bangun. Apa itu bukan masalah?”

“Justru bagiku, bangun itu masalah.”

“Kamu aneh.”

“Aneh gimana maksudmu?”

“Kau tak mau kerja, malah sukanya tidur mulu.”

“Jangan salah. Bisa jadi yang aneh justru kalian.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kalau bisa, aku ingin tidur selamanya.”

“Kenapa?” Meski sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan Jawil yang sulit dimengerti, Purwo tetap menjadi satu-satunya teman yang bersedia meladeni bercakap dengannya.

“Bagiku, yang nyata itu justru yang ada di mimpi,” ucap Jawil.

“Jadi menurutmu, sekarang ini bukan kenyataan?”

“Benar,” jawab Jawil cepat, mengangguk mantap.

“Lagi-lagi, aku tidak mengerti.”

“Tapi kau yang ada di mimpi, mengerti.”

Purwo mengernyitkan dahi. Rasa heran bercampur bingung menguasai pikirannya. Bukan hanya pada keyakinan Jawil yang begitu besar terhadap ucapannya, tapi juga pada sikapnya yang tak pernah marah meski sering diperlakukan tak ramah oleh orang-orang sekitar, termasuk teman-temannya. Maka, ia pun tak kuasa menahan pertanyaan yang sudah lama mengganjal.

“Kenapa kau tidak pernah marah pada mereka?”

“Aku memaafkan mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” jawab Jawil tenang.

“Memangnya, ada apa di mimpimu?”

“Semuanya. Tidak ada bedanya dengan yang di sini, tapi seperti yang kamu tanyakan tadi, bagiku yang di sini justru mimpi.”

“Kita yang di sini dan di sana, sama maksudmu?”

“Tentu ada beda. Di sana aku bekerja. Karierku lumayan bagus.”

“Oh, ya?”

Jawil mengangguk mantap. “Bahkan aku akan menikah. Sudah lamaran, malah.”

“Hah? Kau mau menikah?”

Jawil kembali mengangguk, kali ini dengan senyum di bibir.

“Teman-teman tahu soal ini?” Meski Purwo semakin heran dan cenderung tak percaya, ia tetap melanjutkan pertanyaannya.

Lagi-lagi Jawil mengangguk. “Tapi tidak ada yang percaya. Mungkin juga kau.”

“Siapa yang akan kau nikahi?”

“Masih rahasia. Aku ingin memberi kejutan pada kalian.” Wajah Jawil tampak bersinar saat mengatakannya.

“Gayamu. Ah, sudahlah. Ngobrol sama kamu lama-lama bisa bikin aku gila,” tukas Purwo, menutup percakapan dan beranjak pergi.

“Kau juga tak percaya, kan?”

Purwo hanya mengangkat kedua tangannya tanpa menoleh. Jawil tak ambil pusing. Pikirannya justru membayangkan hari pernikahannya. Bagi Jawil, Nasti adalah gadis sempurna. Meskipun anak Pak Lurah dan keluarga kaya, tapi Nasti mau menerima ia apa adanya. Nasti tak pernah mempermasalahkan ia yang dari keluarga tak mampu. Mereka sudah dekat sejak kecil. Nasti pula yang menyemangatinya untuk bekerja. Kata Nasti, apa pun kerjanya yang penting asal halal. Jawil pun mengikuti sarannya dengan senang hati.

Akhirnya, Jawil diterima sebagai buruh pabrik sepatu. Suatu ketika, nasib baik berpihak padanya. Atas kepercayaan atasannya, ia diangkat menjadi kepala bagian produksi. Hal itu membuatnya percaya diri, dan sebagai wujud syukur, ia lantas melamar Nasti. Lamarannya diterima dengan suka cita. Saat itu, Jawil merasa kebahagiannya menjadi bertumpuk-tumpuk. Apa yang diidam-idamkannya selama ini sebentar lagi akan terwujud, mempersunting Nasti.

Purwo tiba-tiba berhenti dan menoleh. “Oh ya, kita dapat undangan nikahan.”

Purwo meminta maaf karena lupa membawa undangannya, tapi buru-buru ia menambahkan bahwa acaranya masih sepekan lagi. “Nanti aku jemput. Kita berangkat bareng,” ujar Purwo lagi. Setelah itu ia berlalu.

“Siapa yang nikah?” tanya Jawil agak keras karena jarak Purwo sudah jauh. Tapi pertanyaan itu tak mendapat jawaban.

 

Mereka baru bertemu lagi pada hari resepsi. Meski tak pernah percaya pada cerita Jawil tentang mimpinya, rasa penasarannya selalu membuat Purwo kembali menanyakannya. Sepanjang perjalanan, mereka terus membahas mimpi-mimpi Jawil.

Percakapan itu terhenti begitu mereka tiba di lokasi acara. Saat itu, baru Jawil sadar bahwa pesta digelar di rumah Pak Lurah. Namun seketika ia seperti tersihir, melangkah bersama Purwo masuk. Begitu mereka duduk dan sedikit tenang, Jawil bertanya pelan, “Siapa yang nikah?”

“Memangnya aku belum bilang?” Purwo balik bertanya.

Jawil menggeleng.

“Nasti-lah. Siapa lagi?”

Jawil spontan berdiri dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Purwo terheran-heran, mulutnya separuh terbuka, menatap kepergian sahabatnya. Tapi beberapa detik kemudian Purwo tersadar. Gegas ia ikut bangkit dan menyusul Jawil. “Ada apa, Wil?” tanyanya begitu berhasil menyamai langkahnya.

“Aku mau tidur.”

“Maksudmu?”

“Nasti sudah kulamar.” Belum sempat Purwo merespons, Jawil menambahkan, “Dan kami akan menikah. Karena itu, lebih baik aku tidur selamanya. Biar aku tidak kecewa.” ***

 

Baca Juga : Pedoman Untuk Insaf – Cerpen Karya Yuditeha

Yuditeha

One response to “Jawil ingin Tidur Selamanya – Cerpen Karya Yuditeha”

  1. […] Juga : Jawil ingin Tidur Selamanya – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom sastra […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *