Lagi-lagi, dia meneleponku. Seperti biasanya, di jam sepulang kuliah ini, aku sering mendapat telepon darinya. Kira-kira, sudah dua bulan ini. Dia adalah wanita yang kusukai. Kali ini aku tidak lagi bergegas menghampirinya. Padahal aku tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan saat ini hanya lah ingin melihatku bergegas menghampirinya di atas gedung parkiran. Ketika dia telepon, aku yakin dia ada di sana. Dan aku tahu, dia pasti sendirian.
Aku berjalan dengan santai. Menaiki lift. Lalu, tiba di lantai paling atas di gedung parkir ini: lantai sembilan. Kampusku teramat luas, sehingga parkir disentralkan di gedung ini. Dan tentunya, aksesnya sangat mudah. Apalagi untuk menggapai lantai tertinggi. Semua orang bebas datang kemari. Termasuk dia, yang sedang berdiri di antara pembatas gedung. Dia melihatku. Wajahnya pucat. Matanya sayu. Lalu, rambutnya yang panjang tertiup angin: menari-nari. Dengan tatapan sayu, dia melihatku. Tidak, dia melihatku, namun tidak menatap mataku.
“Aku menunggumu,” ucapnya lirih.
Suaranya hampir tidak terdengar telingaku. Aku mengangguk. Namun, mulutku hanya diam. Diam. Tak berkata apapun. Aku hanya melihat dirinya yang bersandar di pembatas gedung itu. Dengan sedikit harapan, dia melambaikan tangannya padaku.
“Aku lelah.”
Tangannya menengadah. Tentu dengan cepat aku menariknya. Menjauh dari pembatas gedung itu. Aku lantas mendekapnya dengan erat. Sangat erat.
“Aku sudah di sini. Tenanglah,” ujarku menenangkannya.
Dia sedikit memberontak. Tapi, karena dia wanita, tentu tenaganya tak cukup kuat untuk lepas dari dekapan seorang lelaki. Tubuhnya yang kecil dan mungil itu tentu tak mampu melawan tubuhku yang tinggi dan sedikit kekar. Tak begitu lama, dia berhenti memberontak. Aku memberikan usapan di kepalanya.
“Semua baik-baik saja,” ujarku menenangkan.
Kami pun berjalan menuruni gedung. Dia diam. Berjalan sambil menunduk ke lantai selama kami berjalan. Sementara aku terus menatap langit-langit, berharap bahwa aku tak akan menerima telepon darinya lagi kali ini. Sebab itulah, alasan dia meneleponku. Selama dua bulan ini, aku beberapa kali mendapatkan telepon darinya. Yang selalu dia katakan ketika aku mengangkat telepon, “Aku ingin mati”. Respon pertama kali ketika aku menerima telepon itu sangat panik. Aku bahkan mengelilingi kampus hanya untuk mencari tahu di mana keberadaannya. Seakan, dia memberiku kode. Aku harus menemukannya sebelum dia bertindak lebih.
Kira-kira sudah tujuh kali, aku menemukannya di tempat yang berbeda. Kadang dia berada di atas gedung Fakultas Pertanian, di atas gedung Fakultas Hukum, di pinggir danau, atau di lantai atas gedung parkiran. Aku sudah hafal ketika dia menelepon. Tapi yang pasti, aku selalu menemukannya di tempat yang bisa aku jangkau.
Tapi dia berbeda. Ketika sudah mengalami kejadian itu, dia selalu ceria kembali, setelah aku menghiburnya. Orang-orang berkata, dia memiliki penyakit Bipolar Disorder. Aku sering menceritakannya kepada orang-orang terdekatku. Kebetulan, temanku adalah seorang mahasiswa Psikologi.
“Jangan sampai kamu memberinya waktu untuk sendirian. Sebab penyakit itu bisa kambuh kapan saja,” tuturnya.
Aku memang berusaha membuatnya agar tidak merasa kesepian. Kami juga selalu bertukar pesan Whatsapp. Bahkan setiap pagi, dia selalu menyapa terlebih dahulu. Malamnya, dia mengajakku telepon hingga tertidur. Meski begitu, kami bukan lah sepasang kekasih. Ya, hubungan kami belum sejauh itu. Aku bahkan baru mengenalnya selama tiga bulan. Jadi, satu bulan tepat aku mengenalnya, aku diberinya kejutan tentang fakta ini. Jujur saja, aku iba. Tapi, aku juga menyukainya.
Dia berasal dari keluarga yang problematik. Atau bisa dibilang, broken home. Orangtuanya bercerai. Lalu dia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya. Sementara ibunya menikah lagi. Dan selama tiga tahun, dia mendapatkan perlakuan tak layak dari ayah tirinya: dilecehkan. Sehingga dia memutuskan untuk merantau, dan tidak akan pulang lagi. Sebab, dia tahu bahwa ibunya sangat tidak bisa menentang ayah tirinya. Itulah sebabnya, aku ada untuk memberinya dukungan moral agar terus menjalani hidup. Dan alasanku hanya sebatas itu.
Arlojiku menunjukkan pukul 5 sore. Setelah turun dari gedung parkiran, aku memesan Go Car, mengantarkannya ke kostnya. Kebetulan, aku sudah kenal pemilik kostnya. Aku menceritakan semua kejadiannya kepada pemilik kostnya. Dia percaya padaku, lalu membiarkanku menemaninya setidaknya hingga dia tenang kembali, dan memastikan dia tidak akan mencoba bunuh diri lagi ketika aku pulang.
“Selamat malam, Bu,” sapaku ke ibu pemilik kost.
Melihatku bersama dengan dia, ibu kost sudah paham dan tidak bertanya lebih jauh lagi. Toh, nantinya aku juga akan cerita ketika dia sudah tertidur dan aku bisa pulang. Sementara, ibu kost segera memberiku kunci cadangan kamarnya, dan kemudian aku menuntunnya ke kamar.
Aku membaringkan tubuhnya ke kasur, lalu duduk di pinggir ranjangnya. Matanya masih saja sayu. Dia memandang langit-langit. Aku tidak bisa melihat pancaran cahaya dari matanya. Lebih tepatnya, aku tak dapat melihat gairah kehidupan darinya. Memang begitu, selalu. Ketika setelah kejadian seperti ini, dia selalu melamun. Bahkan tak menjawab pertanyaanku. Dia seolah terpesona dengan sesuatu, yang tidak bisa aku lihat. Dia memberikan sorotan matanya ke tatapan yang kosong. Sehingga, aku tak pernah bisa melihat cahaya dari matanya. Saat aku menutup matanya dengan kedua tanganku, dia hanya menurut. Tapi setelahnya, dia kembali lagi seperti itu: tak bergairah. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya lah menunggunya hingga dia tertidur.
Sembari menunggunya, aku melihat-lihat rak buku yang ada di kamarnya. Dia menyukai sejarah. Apalagi, soal mitologi Yunani. Aku melihat banyak buku yang membahas banyak hal tentang itu di rak bukunya. Aku mencoba mengambil satu buku di mejanya. Di sana ada beberapa buku yang menumpuk. Aku mengambil yang paling atas. Masih terbuka. Sepertinya, dia sedang membaca buku ini. Buku yang menceritakan tentang Dewa Thanatos, atau Dewa Kematian dalam mitologi Yunani.
Ada dua Dewa yang memiliki dampak dalam kehidupan manusia menurut kepercayaan mitologi Yunani. Yakni Eros, Dewa yang mengatur gairah kehidupan dan cinta. Dia juga adalah dewa yang membuat manusia bisa merasakan jatuh cinta. Lalu, Thanatos, Dewa yang mengatur keinginan manusia untuk mati. Thanatos adalah dewa kematian. Dia akan menjelma menjadi siapa saja, agar manusia merasakan keinginan untuk mati. Sementara aku tahu, saat ini Eros sedang memberiku kekuatan untuk jatuh cinta. Ya, jatuh cinta padanya. Itu lah sebabnya, aku tidak ingin dia mati. Aku ingin hidup bersamanya, jatuh cinta dengannya, bahagia bersamanya. Tapi, saat ini, dia sedang berada dalam genggaman sang Thanatos. Eros, tolong aku untuk mengusir Thanatos dari kehidupannya!
Setelah aku membaca buku, dia sudah memejamkan matanya. Dengkurnya terasa melegakanku. Sebab, setelah bangun nanti, dia akan kembali menjadi wanita yang aku kagumi lagi. Dia akan menjadi wanita yang ceria lagi. Dia akan menjadi wanita yang selalu tersenyum lagi. Aku menghela nafas panjang, lalu keluar dari kamarnya. Sesaat, ibu kostnya sudah menungguku di ruang tamu. Akhirnya aku menceritakan semua kejadiannya kepada ibu kost. Setelahnya, aku beranjak pulang.
Langit di malam hari begitu rapuh. Kadang-kadang, aku merasa kesepian ketika memandangi awan itu: terlihat muram tanpa adanya sinar rembulan. Sembari merokok, sesekali aku mengecek ponselku. Barang kali dia terbangun dan membalas pesanku. Aku akan segera menghiburnya, agar dia tak merasa kesepian. Meski aku sendiri sebenarnya juga kesepian. Tapi yang jelas, untuknya aku rela melakukan ini semua. Eros sudah membuatku jatuh cinta kepadanya. Aku harap, Eros menjelma dalam kehidupannya: lewat aku. Agar dia bisa merasa jatuh cinta dan tidak perlu merasa kesepian lagi.
Tapi, sesaat aku berpikir seperti itu, ponselku berbunyi. Pesan darinya. Perlu waktu untuk mencerna apa maksud dari pesan itu. Tapi, setelahnya dia mengirimkan lokasi.
“Aku lelah. Selamat tinggal.”
Lokasinya, tidak jauh dari rumahku. Dan aku tahu persis tempat itu: sebuah mall tempat pertama kali kami bertemu. Perasaanku mulai kacau. Tidak seperti biasanya, dia akan ceria kembali setelah aku menghiburnya dan membalas pesannya. Tapi sekarang, dia kambuh lagi. Karena lokasinya tidak jauh, aku memutuskan untuk berlari.
Aku menerka-nerka dalam perjalananku ke sana. Mengapa?. Setiap kali dia ingin bunuh diri, dia selalu menghubungiku. Seakan dia meminta tolong padaku. Dia tahu, bahwa aku tidak ingin dia mati. Dia tahu, bahwa aku menyukainya. Dia tahu, bahwa aku jatuh cinta kepadanya. Tapi, kenapa? Kenapa dia selalu meminta tolong padaku?. Padahal jika dia ingin melompat, atau meracuni dirinya sendiri, dia bisa saja melakukannya tanpa sepengetahuanku. Aku bahkan tidak akan bisa mencegahnya. Dan satu hal yang selalu aku benci: dia tidak pernah tersenyum padaku ketika ingin bunuh diri.
Meski dia seorang yang ceria di luarnya, aku tahu bahwa senyumannya selalu menyembunyikan hal lain. Seolah-olah dia tidak tulus. Aku tahu, dia menanggung beban yang berat. Aku ingin dia membagikan deritanya sebagian padaku. Setidaknya, agar dia tidak merasa terbebani sendiri. Aku ingin dia sadar bahwa aku selalu di sisinya. Aku yakin, jika dia mau melihatku, menatap mataku, menerimaku, kami bisa bahagia. Dia bisa bahagia. Sebab aku adalah orang yang paling peduli dengannya.
Kedelapan kalinya, ini terjadi. Dia berdiri di atas mall yang aku sendiri tidak tahu dia bisa lewat dari mana. Tapi yang jelas, aksesnya terbuka. Aku bisa dengan mudah masuk ke sana, menaiki tangga, dan menemuinya di atas gedung mall itu. Dia sudah berdiri, tepat di ujung pagar besi. Aku mendekatinya. Kali ini, dia membelakangiku. Dia memandang langit malam yang luas. Menghirup udara dengan leluasa. Tangannya merentang, seakan menikmati udara malam di malam ini.
“Apa yang kamu lakukan di situ? Cepat turun!,” teriakku.
Dia tidak menggubris. Aku berjalan mendekatinya, perlahan-lahan. Langkah demi langkah, aku terus bertanya, mengapa dia tidak segera lompat dari sana? Apa dia lagi-lagi menungguku untuk menyelamatkannya?. Lantas untuk apa jika akhirnya, dia akan mengulangi hal seperti ini lagi. Hanya selangkah jarakku dengannya, aku mengulurkan tanganku, berharap dia akan meraihnya.
“Aku lelah,” celetuknya, sambil menepis tanganku.
“Aku juga lelah!,” bentakku.
“Kamu selalu saja meneleponku ketika ingin bunuh diri. Seakan-akan meminta pertolongan kepadaku. Tapi, mengapa ketika aku sudah menyelamatkanmu, kamu tetap ingin bunuh diri? Apa aku tidak cukup baik untuk terus berada di sisimu selama ini?”
Dia membalikkan badannya. Tatapannya kosong. Lagi-lagi seperti itu.
“Kamu bahkan tak pernah melihatku. Tak pernah menatap mataku. Kamu selalu melihat apa yang hanya bisa kamu lihat. Bahkan tak pernah menganggapku ada, sama sekali!”
Amarahku memuncak. Dia hanya diam. Tak berkutik sama sekali. Tapi, tatapannya sama saja.
“Ketika kamu berbicara bahwa kamu lelah, aku justru lebih lelah!,” emosiku memuncak.
“Kamu selalu berkata seperti itu, kan? Jujur saja aku lebih lelah jika harus mencarimu ketika kamu berkata ingin bunuh diri. Aku harus meraih tanganmu, menemanimu, menghiburmu, sementara kamu saja tidak pernah menganggap aku ada.”
Kali ini, dia benar-benar mengabaikanku. Tidak ada senyuman di wajahnya. Dia menatap langit malam. Langit yang terbentang dalam kesunyian. Hanya ada kami berdua di sini. Dan dia, sama sekali tidak mendengarkanku.
“Cukup. Aku juga sudah lelah. Aku ingin mengakhiri semuanya.”
Untuk pertama kalinya, dia menatap mataku. Lalu, dia tersenyum. Senyuman yang sangat indah. Bahkan lebih indah dari senyuman yang biasa dia lakukan. Aku langsung menyadari, saat ini dia tersenyum dengan tulus. Hatiku luluh seketika. Emosiku mereda dengan cepat. Bagaikan tenggelam. Bagai perlahan menghilang. Dan aku juga menyadari satu hal: dia adalah Thanatos. Thanatos akan menjelma menjadi siapa saja, agar manusia menginginkan kematian. Dan aku menyadari bahwa dia adalah Thanatos. Selama ini aku pikir, Eros sudah membuatku jatuh cinta kepadanya. Aku sudah terobsesi padanya. Sehingga apapun akan kulakukan demi dia. Di mana pun dia mengatakan bahwa ingin bunuh diri, aku akan datang menjemputnya dan menolongnya. Tetapi, sebenarnya dia tidak ingin aku menolongnya. Dia sama sekali tidak ingin aku menolongnya. Namun sebaliknya, dia ingin aku ikut bersamanya.
Hari yang melelahkan. Senyumanku selama ini perlahan menghilang. Tetapi, kamu malah tersenyum kepadaku. Jujur saja, malam ini kamu sungguh indah. Matamu mulai memancarkan sorotan cahaya. Sedang saat ini, bayangan wajahmu sedang berputar-putar di kepalaku. Aku menangis. Air mataku tak mampu lagi ku bendung. Selama ini, kamu menantiku. Kamu bukannya tidak ingin bersamaku. Tapi, kamu tahu bahwa ada hal yang lebih baik agar kita terus bersama. Kamu sebenarnya memikirkan, tentang bagaimana cara agar kita bisa hidup selamanya. Orangtuamu terlalu posesif. Bahkan kamu tidak bisa hidup dengan tenang ketika bertemu mereka lagi.
Itu sebabnya, kamu mengajakku. Aku meraih tanganmu yang telah kamu ulurkan. Dengan senyuman indahmu itu, kamu menuntunku. Kamu menuntunku, berlari, merasakan hembusan angin getir yang menyejukkan itu. Dengan leluasa, kita merasakan tiap semilir angin yang melintasi angkasa. Jangan pernah melepaskan genggaman eratmu itu. Sebab, di malam ini, kita saling mendekap, bergenggaman, dan berdialog. Bersama malam yang abadi.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Leave a Reply