Berabad-abad silam, seorang filsuf kenamaan asal Jerman, Karl Marx, menyadarkan masyarakat tentang betapa buruknya tatanan kehidupan yang disetir oleh kaum pemilik modal. Ia melihat bahwa mereka yang di atas semakin ke atas, dan mereka yang di bawah semakin tertimbun tanah. Penindasan model baru itu tak boleh dibiarkan, pikirnya. Berangkat dari itu munculah sebuah ide untuk menumbangkan kebobrokan itu dan menciptakan kembali
sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung kesetaraan, yakni revolusi.
Akan tetapi, dunia bergerak begitu cepatnya. Rasa-rasanya baru kemarin ideologi itu diberantas tanpa sisa oleh rezim Orde Baru. Lain dulu lain sekarang. Saat ini pertentangan kelas justru terjadi dalam diri manusia sendiri. Di satu sisi, manusia menjadi kapitalis yang memerintah dirinya sendiri, sedangkan di sisi yang lain mereka juga sedang menjadi buruh yang tertindas oleh dirinya sendiri.
Meminjam istilah Byung Chul Han, saat ini manusia tengah memasuki era Burnout Society (masyarakat yang kelelahan). Era dimana manusia dibuat lelah, bukan karena eksploitasi dari bos atau ditumpuk oleh tugas-tugas dosen, melainkan karena disetir oleh sebuah “kekuatan” yang berasal dari diri sendiri. Manusia semakin lama semakin kehilangan pijarnya, baik untuk menerangi diri sendiri apalagi orang lain.
Manusia yang Tertekan Oleh Target-Target yang Dibuatnya Sendiri
Menurut Byung Chul Han, kehidupan manusia telah bergeser dari Disclipinary Society menuju Achievement Society. Ya singkatnya, Disclipinary Society menyatakan bahwa kehidupan masyarakat dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Contoh simpelnya seperti yang sudah ditulis di atas: pegawai yang diatur bosnya atau mahasiswa yang disuruh meyelesaikan deadline tugas ini-itu dari dosennya.
Sedangkan, Achievement Society adalah kebalikannya. Mereka sudah terlepas dari kekangan aturan atau norma dari luar dirinya. Malahan, yang mengatur mereka adalah diri mereka sendiri. Kata achievement merujuk kepada pencapaian, yang mana manusia hidup dalam sebuah misi untuk mendapat pencapaian-pencapaian yang sudah mereka targetkan. Seorang pekerja dibuat tereksploitasi oleh pekerjaannya karena target dari dirinya sendiri bahwa tahun ini harus bisa naik jabatan. Seorang mahasiswa dibuat depresi oleh proyeksinya sendiri bahwa semester ini harus bisa ikut ini itu atau harus dapat IPK segini.
Lebih lanjut, Chul Han mengumpamakan Achievement Society sebagai startup, media sosial, dan gym. Ketiga simbol itu berkaitan dengan tuntutan untuk mendapat pencapaian-pencapaian yang berasal dari keinginan sendiri. Hal itu
mengalami pergeseran dari yang pernah dikatakan Michael Foucault dalam teori kekuasaannya. Menurut Foucault, Dsiclipinary Society dikendalikan oleh institusi-institusi tertutup, seperti penjara, sekolah, atau rumah sakit. Ketiganya adalah kekuatan dari luar yang bisa menekan manusia, baik jiwa maupun raga. Pada akhirnya, manusia modern akan hidup dalam tekanan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Tekanan itu adalah tekanan untuk selalu produktif, untuk harus bisa ini atau bisa itu, sampai berhasil mendapat pengakuan dari orang lain. Setiap orang
saat ini bisa menjadi tuan sekaligus budak. Ia yang memberi target, dirinya pula yang tertindas karena target itu. Dengan kata lain, perjuangan kelas berubah menjadi perjuangan batin melawan diri sendiri.
Urip Iku Urup: Sebuah Senjata Agar Hidup Terus Menyala
Jauh sebelum Byung Chul Han mengenalkan istilah Burn Out Society, seorang putra Nusantara telah mengenalkan sebuah antitesis untuk menghadapinya. Dia adalah Raden Syahid atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga, salah satu dari tokoh penyebar agama Islam paling sukses di tanah Jawa yang diklasifikasikan sebagai Wali Sanga.
Salah satu ajarannya yang paling terkenal, bahkan pernah dipakai untuk judul buku oleh sejarawan asal Inggris Peter Carey, adalah “urip iku urup”. Istilah yang berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti “hidup itu menyala”. Kata “menyala” memang telah mengalami perluasan makna sejak menjadi tren beberapa tahun yang lalu. Namun, yang jelas, menyala yang dimaksud adalah menyala seperti halnya pada api atau senter yang menerangi sekitarnya.
Urip iku urup semacam model manusia yang harus bisa menerangi sekitarnya. Sederhananya, bisa bermanfaat bagi orang lain. Semakin menyala, maka semakin luas jangkauan yang bisa diterangi dan semakin banyak orang yang bisa mendapat kebaikan. Tapi, perlu diingat jika tak ada satupun benda yang bisa menerangi benda lain sebelum benda itu sendiri menyala. Nyala tersebut asalnya dari diri kita sendiri. Sebut saja lilin. Tak ada satupun lilin yang bisa menerangi ruangan jika lilin itu tidak ada apinya. Artinya, bermanfaat bagi orang lain adalah hal yang baik, tetapi yang paling fundamental ialah bermanfaatlah dahulu kepada jiwa dan raga yang kau punya.
Nyalakan dulu Api dalam dirimu
Penjelasan Burnout Society seperti yang saya jelaskan sebelumnya bisa jadi sebuah respon atas ketidakmampuan kita “menyalakan” diri sendiri terlebih dahulu. Bayangkan jika diri kita terkungkung oleh target-terget yang ingin kita capai. Terlalu banyak target membuat pekerjaan-pekerjaan kita amburadul nggak karuan. Pada akhirnya, target-target yang ingin kita capai hanya menjadi sebuah utopia, impian yang tak bisa digapai. Jangankan bermanfaat bagi orang lain, bermanfaat bagi diri sendiri pun tidak bisa. Yang harus diingat adalah hidup tidak melulu untuk menjadi yang terbaik atau menuruti gengsi. Hidup juga tidak hanya terbatas pada media sosial yang maya karena kita juga
memiliki dunia yang benar-benar nyata dan benar-benar setiap hari ada di depan mata.
Secukupnya saja, dan jadilah versi terbaik bagi diri sendiri dan sekitarnya. Ingat, hidup adalah kesempatan untuk menyala sebelum benar-benar padam di kemudian hari.
*Tulisan ini berangkat dari pembacaan penulis akan Teori Michael Foucault serta rutin mendengarkan Ngaji Filsafat asuhan Pak Faiz.
Penulis : Muhammad Muflihun
Editor : Imam Gazi Al
One thought on “Hidup yang Terlalu Capek Ini, Mungkin Karena Kita Lupa Menyalakan Api Dalam Diri Sendiri”