Baru-baru ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang unik namun sarat akan makna. Fenomena maraknya pengibaran bendera bajak laut ala One Piece di berbagai tempat viral di media sosial. Sebagian orang menganggap ini sekadar tren budaya populer. Namun tidak sedikit yang melihatnya sebagai bentuk simbolik dari kritik sosial.
Perlu diketahui One Piece sendiri adalah serial manga dan anime asal Jepang karya Eiichiro Oda yang telah mendunia sejak akhir 1990 an. Ia bercerita tentang petualangan bajak laut muda bernama Monkey D. Luffy dan krunya dalam mencari harta karun legendaris bernama “One Piece”. Namun lebih dari sekadar kisah petualangan di lautan, One Piece menyimpan pesan yang kuat tentang keberanian melawan ketidakadilan, tentang kesetiaan dan mimpi, serta tentang melawan tatanan dunia yang korup dan menindas.
Penggemar serial One Piece khususnya di Indonesia terbilang cukup tinggi. Bukan tanpa alasan, karena memang ceritanya dianggap menarik dan mengajarkan nilai-nilai positif. Yang lebih menarik lagi adalah momen Peringatan Kemerdekaan Indonesia tahun ini diselingi dengan pengibaran bendera One Piece. Bendera tersebut dipasang dibawah bendera merah putih atau berdiri sendiri. Yang jauh lebih bikin mengenyeritkan dahi adalah respon terhadap fenomena ini. Beberapa aktor politik dan pejabat publik merespons dengan sinis, bahkan keras. Ada yang menyebut pengibaran bendera tersebut sebagai tindakan makar, bentuk ketidakpatuhan terhadap negara hingga simbol anti-nasionalisme. Dalam realitas demokrasi, simbol-simbol menjadi media dalam menyuarakan aspirasi.
Mengapa Pemerintah merasa Terancam?
Pertanyaan sederhana ini membawa kita pada pemikiran Murray Edelman, seorang ilmuwan politik yang menekankan pentingnya simbol dalam proses politik. Dalam karyanya The Symbolic Uses of Politics (1964), Edelman berpendapat bahwa politik tidak semata-mata berisi keputusan rasional dan teknokratis, melainkan juga
dipenuhi simbol-simbol yang berfungsi membentuk persepsi, membujuk emosi, dan menjaga legitimasi kekuasaan.
Sederhananya, simbol politik adalah alat utama dalam membentuk opini publik. Ia mengatakan bahwa “kebanyakan orang memahami realitas politik bukan dari kebijakan substansial, tetapi dari simbol-simbol yang diciptakan oleh para elite”. Dengan maksud, simbol memiliki kuasa untuk menciptakan ketenangan ataukepanikan, harapan atau ketakutan, tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa.
Bagaimana Seharusnya Membaca Simbol “Bendera Bajak Laut” yang dikibarkan masyarakat?
Dalam narasi One Piece, bajak laut bukan sekadar petualang laut. Mereka semacam karakter yang menolak tunduk pada sistem yang korup dan otoriter. Mereka simbol keberanian, kebebasan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Maka tak heran jika simbol ini kemudian digunakan oleh masyarakat sebagai bentuk sindiran dan kritik terhadap realitas sosial-politik yang mereka hadapi hari ini.
Sayangnya, negara memilih untuk menanggapi dengan kekakuan bahkan terkesan konyol. Simbol diperlakukan secara literal, bukan simbolik. Kritik dibaca sebagai ancaman. Edelman mengatakan, “ketakutan terhadap simbol yang ‘menyimpang’ sering kali malah menunjukkan kelemahan negara dalam mengelola makna dan legitimasi”. Negara yang percaya diri dengan kebijakannya tak akan gentar oleh selembar kain yang dikibarkan dengan pesan satire.
Respons berlebihan dari pemerintah terhadap simbol fiksi dapat dijelaskan dengan konsep Moral Panic yang dikemukakan oleh Stanley Cohen (1972). Moral panic terjadi ketika kelompok berkuasa melihat gejala sosial tertentu meskipun tidak berbahaya secara objektif sebagai ancaman terhadap tatanan moral atau politik. Bendera One Piece, dalam hal ini, menjadi folk devil atau “kambing hitam simbolik” yang diasosiasikan dengan niat subversif, padahal maknanya jauh lebih kultural dan kritik sosial.
Di sisi lain, pendekatan atau respon pemerintah yang lebay justru membuat masyarakat menjadi semakin tidak percaya, dan menanyakan makna ekspresi kebebasan berdemokrasi. Pendekatan represif terhadap simbol yang dalam hal ini bendera One Piece justru tidak tepat. Terlebih jika simbol dipaksakan dengan makna tunggal (nasionalisme versi tunggal), maka sama saja menghianati makna demokrasi itu sendiri, padahal hanya urusan remeh.
Bagaimana Kebijakan Publik Berperan Untuk Kebajikan Masyarakat
Dalam konteks ini, peran kebijakan publik menjadi sangat krusial. Negara bukan sekadar pelindung simbol-simbol formal seperti bendera dan lambang negara, tetapi juga penjaga iklim demokrasi yang sehat. Kebijakan publik yang bijak bukanlah kebijakan yang cepat menuduh dan menghukum sesuatu. Arti kebijakan itu seharusnya mampu menangkap makna di balik ekspresi simbolik masyarakat terutama ekspresi yang muncul dari keresahan, kekecewaan, atau kritik.
Jika mencoba melihat dari perspektif kebijakan publik, pengabaian terhadap ekspresi simbolik masyarakat mencerminkan kegagalan menangkap sinyal sosial. Ada beberapa saran yang agaknya perlu dilakukan oleh para aktor penyelenggara negara, misalnya dengan membaca simbol sebagai kritik, bukan ancaman, sehingga respons yang muncul bersifat edukatif, bukan koersif. Selanjutnya berupaya untuk mengembangkan kebijakan partisipatif yang memberi ruang bagi masyarakat menyuarakan aspirasinya, termasuk melalui simbol-simbol budaya populer.
Terakhir, menjalankan pendekatan naratif yang lebih inklusif, agar tidak terjadi monopoli makna atas simbol nasional.
Kalau memang negara ingin menjaga kehormatan simbol resminya, sudah seharusnya tidak bisa memaksakan penghormatan melalui ketakutan semata. Buktikan bahwa simbol-simbol itu benar-benar merepresentasikan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Mengkriminalisasi simbol alternatif justru memperlihatkan bahwa simbol resmi telah kehilangan resonansinya di hati rakyat. Kebijakan pemerintah harus berimplikasi pada kebajikan masyarakat, sehingga penyikapan fenomena dapat disikapi dengan bijaksana.
Tabik…
Penulis : Muhammad Pengkuh Wedhono Jati
Editor : Imam Gazi Al
One thought on “Nggak Ada Yang Lebih Lucu dari Mengartikan Bendera One Piece Sebagai Sebuah Ancaman”