Seharusnya, menjelang HUT Kemerdekaan RI menjadi hal yang sakral, bahkan bagi industri film. Namun, jagat maya saat ini sedang ramai memperbincangkan soal animasi terbaru yang berjudul Merah Putih One For All garapan Perfiki Kreasindo itu. Animasi yang bisa saya katakan “ngawur”.
Kabarnya pula, animasi ini didanai oleh Kemenparekraf. Saya langsung heran saat mendengar kabar itu. Sebab saat saya menonton trailernya, saya gagal paham. Animasi ini jauh dari standar animasi yang sudah pernah dibuat oleh animator lokal, seperti Adit Sopo Jarwo, maupun Jumbo, yang pernah mengangkat nama peranimasian di Indonesia.
Merah Putih One For All adalah aib bagi animasi karya anak bangsa
Saya bisa katakan, bahwa animasi ini adalah aib. Karena setelah film Jumbo beberapa waktu lalu booming, eh, malah hadir animasi sampah ini. Saya tahu, niatnya pemerintah ingin meramaikan HUT RI secara meriah dengan menghadirkan film animasi karya anak bangsa. Tapi, mbok yo jangan ngawur juga.
Merah Putih One For All ini kelihatan kalau bikinnya mendadak. Udah grafiknya burik, ditambah plot cerita yang disuguhkan juga nggak logis.
Menceritakan tentang anak-anak di sebuah desa yang pergi mencari bendera Merah Putih. Bendera itu hilang, tiga hari sebelum upacara 17 Agustus. Anehnya, mereka disuruh mencari di hutan belantara yang notabene itu sama sekali nggak masuk akal.
Kenapa nggak beli lagi aja? Logisnya kan begitu. Malah nyuruh bocil-bocil pergi cari ke hutan yang banyak binatang buasnya, tanpa pendamping orang dewasa pula. Jujur saja, malah masuk akal kalau yang bikin cerita itu adalah AI.
Kok pas momennya dengan isu bendera One Piece?
Anehnya lagi, di tengah pemerintah sedang panik gara-gara bendera One Piece, eh, kita disuguhkan tontonan ini. Apakah mereka (baca: pemerintah) ingin kita membandingkan animasi One Piece dengan animasi Merah Putih itu? Jauh, lah, boy.
Oda nulis One Piece selama bertahun-tahun. Grafisnya pun jauh lebih bagus. Menurut saya, animasi lokal yang bisa menyaingi itu, ya, Battle of Surabaya. Kelihatan niatnya. Walau pake dana independen, tapi dia bisa menyuguhkan animasi dengan grafis mantap dan bisa bersaing di global. Ceritanya pun jauh lebih berbobot ketimbang Merah Putih One For All.
Nggak ada, scene gudang desa jadi gudang kartel yang isinya senjata AK-47, suara burung berubah jadi suara monyet. Sumpah, Kemenparekraf nggak ngomongin apa gimana, sih?
Puncak komedi: Merah Putih One For All tayang di bioskop
Tentunya, ini adalah puncak komedi yang saya dengar di bulan ini. Animasi Merah Putih bakal tayang di bioskop. Wah, ngeri juga, ya?
Saya yakin, nggak ada bioskop yang mau ngangkat film itu, kalau bukan titipan dari pemerintah. Ya, gimana lagi, wong katanya pakai dana suntikan dari Kemenparekraf. Masa iya mau nggak tayang. Kesannya malah sebatas Laporan Pertanggungjawaban aja. Ibarat, “selesai nggak selesai, kumpulkan.”
Yang jelas, saya penasaran dengan budget yang dihabiskan dalam proyek animasi ini. Sebab, dalam dunia animasi: makin gede budgetnya, makin bagus grafiknya. Itu adalah syarat fardhu. Tapi, kalau udah ‘disunat’, ya nggak kaget juga. Toh, dalam dunia IT dan Kreatif, menyunat dana seperti itu adalah hal mudah kalau berdelik di balik kata, “kreativitas itu mahal.”
Toh, barangkali memang ini murni keinginan pemerintah demi memupuk persatuan dan kesatuan bangsa? Tapi lewat menghujat animasi ini.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Alvindest Martial