Antara Mulut dan Bahasa Indonesia

Ilustrasi Politik Mulut dan Bahasa Indonesia (www.pinterest.com)

Pada suatu masa, protes atau demonstrasi di hadapan kekuasaan dianggap melawan, mengganggu, atau merusak revolusi. Orang-orang terlalu gencar memberi kritik atau membuat bara perlawanan berarti “musuh” atau “kontra” bagi agenda revolusi (belum selesai). Situasi pelik memuncak dengan tuntutan pembubaran partai politik dan perombakan kabinet. Malapetaka 1965 menjadi ingatan tentang “melawan” dan “kejatuhan”, mewariskan sekian diksi atau istilah dalam kegiatan berpolitik di Indonesia.

Awal Kelahiran Berbagai Diksi

Sebut saja saat Soeharto berkuasa. Ia rupanya tak selalu sanggup membuat jinak dan tertib ratusan juta orang. Pada babak-babak penting, demonstrasi atau unjuk rasa terjadi menimbulkan resah. Penguasa menanggulangi secara serius. Kekerasan pun bisa berlaku. Pihak-pihak menggugat atau melawan dianggap tak mematuhi konstitusi. Mereka berada di kubu melawan Pancasila.

Dulu, orang-orang tak searus dengan misi-misi penguasa akan dengan mudah dianggap “komunis”, “antek asing”, “inkonstitusional”, atau “tidak pancasilais”. Pada masa Orde Baru, perlawanan-perlawanan dilakukan berbekal kesadaran bakal mendapat hukuman-hukuman berat. Pada 1998, puncak kemarahan dan perlawanan itu yakni penurunan Soeharto. Presiden terlalu lama berkuasa menjadi tema terbesar. Kejatuhan rezim Orde Baru pun meninggalkan beragam istilah atau kata turut “menguatkan” bahasa Indonesia sebagai bahasa politik.

Politik yang Menghancurkan Bahasa

Pada 1977, Mochtar Lubis secara lembut melakukan ledekan atas lakon kekuasaan Soeharto. Ia mengatakan: “Saya berdoa sekuat tenaga semoga kita akan berhasil membina manusia Pancasila menjelang tahun 2000. Jika ini tercapai maka Indonesia pasti akan jadi sorga dan kita semua akan hidup penuh nikmat dan bahagia.”

Mochtar Lubis itu jurnalis dan pengarang novel. Perkataan itu sedikit meramal tapi susah terwujud. Rezim Soeharto berakhir tapi pembentukan “manusia Pancasila” belum terwujud. Indonesia setelah 1998 masih linglung dan ramai sengketa-sengketa (ideologi) menggagalkan sorga.

Pada masa 1970-an, Mochtar Lubis sudah membuat seruan agar kehidupan berbangsa dan bernegara berpijak bahasa Indonesia, tak sekadar selesai dengan Pancasila. Ia mengamati kisruh politik dan kebohongan birokrasi terjadi di Indonesia berdampak kegagalan negara sejahtera.

Pada tahun-tahun setelah pemberlakuan EYD dan tata bahasa baku bahasa Indonesia, ia mengajak: “Kita perlu belajar memakai bahasa Indonesia secara lebih murni, lebih tepat dalam hubungan kata dengan makna, yang mengandung pengertian kita harus belajar menyesuaikan perbuatan kita dengan perkataan kita.” Dulu, ia belum bermaksud membuat ramalan politik atau mengimpikan bahasa Indonesia mampu mendukung perwujudan Indonesia sebagai sorga. Ia justru tetap harus kecewa mengetahui bahasa Indonesia dalam politik di Indonesia abad XXI menjadi berantakan.

Politik dan Mulut

Kita mengetahui keapesan bahasa Indonesia melalui mulut-mulut para tokoh di lembaga legislatif dan eksekutif. Semula, mereka berjanji memuliakan, memajukan, memakmurkan, dan membahagiakan Indonesia sebelum hajatan demokrasi: 2024. Pada saat sudah terpilih, omongan-omongan mereka mencampur sekian bahasa menimbulkan keonaran. Mereka masih bisa berbahasa Indonesia tapi belum cakap menggunakan dalam politik. Politik-mulut pun berdatangan dari eksekutif berakibat jutaan orang mungkin sedih atas nasib demokrasi dalam pengucapan kata-kata sembarangan.

Situasi politik di Indonesia masih ruwet. Bahasa Indonesia digunakan para elite dan demonstran pun ikut ruwet. Kita ke pinggiran dulu untuk membuka buku berjudul Djiwa Bahasa (1954) susunan Gazali dan Zuber Usman. Di situ, ada pengajaran bagi kita melalui kalimat: “Sebab tadjam mulutnja, banjak orang jang gusar.” Kita mengingat selama Agustus, ada tokoh-tokoh menggunakan mulut untuk mengeluarkan kata-kata bikin gusar dan marah. Mereka gagal dalam politik-mulut. Kita menemukan kalimat berbeda: “Puas perang mulut, keduanja bertengkar.” Hari-hari buruk di Indonesia dimulai dari mulut-mulut. Para tokoh salah pilih kata atau sengaja memilih kata untuk mencipta penghinaan berakibat bara kemarahan di pelbagai kota.

Sekian hari setelah gegeran, penguasa dan elite tetap gagal dalam berbahasa Indonesia. Kita melihat mereka dalam rekaman di ruang-ruang terpilih. Prabowo Subianto berbicara di depan kamera tapi mengandaikan berada di hadapan jutaan orang, 29 Agustus 2025. Duduk dan mengungkapkan kata-kata berlatar gambar Jenderal Soedirman berukuran besar. Pada kesempatan berbeda saat berkumpul bersama para ketua umum partai politik, ia mengucapkan kata-kata ingin menertibkan situasi Indonesia, 31 Agustus 2025.

Kita mengingat sosok penguasa itu sempat menggunakan diksi “makar” dan “terorisme”. Saat bersamaan kita belum mendapatkan bahasa Indonesia dalam pamrih meredakan gegeran. Kita pun belum mendapat omongan-omongan mengenai Pancasila agar jutaan orang insaf. Peristiwa lanjutan tampak saat sosok penting dalam Partai Demokrat memberi perintah agar para kader menjaga lisan. Ia mengingatkan mulut dan politik.

Bahasa Indonesia yang Sedang Terluka

Demonstrasi sekian hari lalu memunculkan orasi dan tulisan-tulisan di tembok mengenai beragam masalah. Bahasa Indonesia makin terdengar dan terbaca “aneh” dan “keras”. Pada saat membaca berita di pelbagai media cetak dan komentar-komentar di media sosial, kita makin mengerti bahasa Indonesia “terluka” dan mengalami “penghancuran”. Bahasa Indonesia digunakan sembarangan ikut memberi sokongan atas situasi rumit.

Kita mendingan membaca puisi gubahan Afrizal Malna (2005) berjudul “rendra diares: lubang bahasa”. Puisi mengingatkan Rendra dalam berpuisi dan berteater berhadapan dengan kekuasaan. Ia pun menggerakkan bahasa Indonesia dalam misi keindonesiaan dan kritik sosial-kultural.

Afrizal Malna mengenang Rendra sambil mengingatkan (bahasa) Indonesia. Afrizal Malna menulis: pesta kata-kata telah usai saat tuan-tuan telah melihat/ api berkobar dalam kamar anak-anak tuan. apinya/ berwarna kelabu, terbuat dari mata hamlet. pesta/ kata-kata telah usai, dari sebuah kalimat panjang/ yang telah melilit lidah kita semua. perasaan/ dan kembang api tidak lagi bisa menghibur tamu/ yang masih berdatangan. hati kita telah/ menjadi batu, tuan-tuan. Puisi agak sulit bila dibacakan dalam demosntrasi. Larik-larik puisi bukan pilihan untuk dicoret di dinding selama demonstrasi atau kerusuhan.

Kini, kita kangen Rendra, Emha Ainun Nadjib, Wiji Thukul, Joko Pinurbo, dan para pengarang pernah menggerakkan bahasa Indonesia dalam perlawanan. Mereka pun berbahasa dan berpuisi demi kemuliaan Indonesia. Pengisahan Indonesia melalui puisi-puisi itu terbaca dengan risiko tafsir dan rujukan rekaman zaman. Dampak berbeda saat kata-kata tergunakan oleh mulut para tokoh dalam parlemen dan kabinet telah menggegerkan Indonesia. Begitu.

 

Baca Juga: Solidaritas Itu Jangan sampai Jadi Banalitas: Suara Kami yang Tak Ikut Demo

Avatar

Bandung Mawardi

Pedagang buku bekas, FB Kabut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *