Rekayasa Jilid Kedua – Cerpen Karya Yuditeha

Ilustrasi Rekayasa Jilid Dua (www.pinterest.com)

Sudah tidak menjadi rahasia rakyat membenci Wibisana. Sebagai Wakil Presiden, seharusnya ia adalah lambang keseimbangan, penenang badai, tangan kedua yang menopang negara. Tapi di negara ini, Wibisana malah lebih sering dipanggil dengan nama-nama yang aneh, Pak Panggung, Pak Tidur, Pak Kentut. Semuanya berakar dari keyakinan bersama bahwa Wibisana itu tolol, tak becus, dan hanya menghambur-hamburkan anggaran untuk hal-hal sepele seperti seminar tentang Keajaiban Bertapa dan Kepemimpinan Berbasis Petuah Kakek.

Bulan pertama ia menjabat, warga sudah mengeluh. Bulan ketiga, meme-meme mulai beredar, Wibisana digambarkan sebagai bayi besar yang tersesat di istana. Setahun berlalu, dan siapa pun yang mau sedikit waras akan sadar, di negeri ini, kebencian pada Wibisana sudah jadi olahraga nasional. Wibisana sendiri, entah bodoh atau memang terlalu sabar, tidak pernah membalas. Ia tersenyum di depan kamera, meresmikan gedung-gedung kosong, membagikan payung saat musim kemarau, dan berpidato tentang pentingnya menanam tanaman hias di tengah resesi ekonomi.

“Pak, sudah saatnya Bapak mengundurkan diri,” kata ketua Dewan Penyangga Demokrasi, dalam sebuah rapat yang sengaja bocor ke media.

Wibisana mengangguk perlahan. Tidak ada perlawanan, pidato heroik ataupun air mata. Seperti orang yang sudah lama tahu akan ditinggalkan, ia bahkan sempat tersenyum kecil, sebelum berkata, “Kalau itu bisa membuat negara ebih lega, saya bersedia.”

Esok harinya, semua stasiun televisi dan media sosial meledak dengan berita:

WIBISANA MENGUNDURKAN DIRI: AKHIR DARI ERA KEGAGALAN. Di sepanjang jalan protokol, orang-orang berpesta. Di desa-desa, warung kopi dipenuhi obrolan tentang “akhir dari kemaluan nasional”—begitu mereka menjuluki Wibisana.

Ada yang membuat kaus bertuliskan: Goodbye, Pak Kentut! Ada yang membagikan stiker: gambar sandal jepit diinjak-injak, dengan nama Wibisana di solnya. Wibisana? Ia hanya berkemas. Membawa koper cokelat tuanya, meninggalkan istana di malam hari, hanya ditemani dua ajudan tua yang sama tuanya dengan harapannya. Rumahnya di pinggiran kota yang sudah lama kosong, kembali berpenghuni. Ia bercocok tanam di halaman belakang. Menyapu. Membetulkan pagar. Memelihara seekor bebek yang diberi nama Si Menteri.

Kadang-kadang, ia berjalan ke pasar tradisional. Membeli tahu, tempe, dan sayur mayur sambil tersenyum kepada siapa pun yang lewat. Kadang ia duduk di bangku taman, memberi makan burung, menikmati sore. Setidaknya itulah rencananya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di pasar, ia dicemooh.

“Pak Mantan! Mau cari proyek di pasar, ya?”

“Pak Kentut, hati-hati, nanti anggaran tahunya membengkak!”

Di taman, anak-anak kecil melemparkan kerikil sambil tertawa, “Itu lho, Wakil Presiden yang hobinya tidur!”

Saat di warung kopi, wajahnya menjadi bahan tawa harian. Di radio lokal, ada acara khusus bertajuk Cerita Kocak Pak Wibi, yang isinya lelucon receh tentang betapa bodohnya dirinya. Tidak ada pelarian. Tidak ada jeda. Pensiun ternyata tidak menyelamatkannya dari menjadi badut nasional.

Suatu malam, saat bulan separuh menggantung di langit, Wibisana duduk di beranda rumahnya, menatap kosong ke arah jalanan. Si Menteri berkotek pelan di dekat kakinya. Dari kejauhan, datang seorang pemuda, langsing, mengenakan hoodie abu-abu, celana lusuh. Ia berhenti di depan pagar. “Pak…” Suaranya ragu.

Wibisana mengangkat kepala.

“Pak, saya mau minta maaf.”

Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Wibisana mengerjapkan mata. Pemuda itu melanjutkan, “Saya dulu ikut-ikutan menghina Bapak. Di medsos. Bikin meme Bapak jadi patung bambu. Tapi sekarang saya sadar. Kami yang bodoh. Bukan Bapak.”

Wibisana tidak mengatakan apa-apa. Angin malam mengaduk bau tanah basah dan kesunyian. Pemuda itu mendesah. “Kalau Bapak perlu bantuan, saya siap.” Lalu ia pergi. Seperti daun gugur, langkahnya tak bersuara.

Keesokan harinya, berita lokal memberitakan seorang pemuda ditangkap polisi karena melakukan upaya makar tingkat rendah, dengan tuduhan mencoba membujuk Wibisana mendirikan negara baru, Negara Mantan.

Tak butuh sehari untuk meme-meme baru bermunculan. Wibisana digambar mengenakan mahkota dari daun singkong, duduk di singgasana kardus dengan Caption: Raja Kentut punya Negara Sendiri.

Masyarakat kembali berpesta. Tawa bergemuruh lebih keras daripada pesta demokrasi lima tahun lalu. Wibisana? Ia kembali menyapu halaman rumah. Mengelus Si Menteri.
Menyirami tanaman hiasnya yang kerdil dan layu. Seseorang lewat depan rumahnya, berteriak, “Pak, jangan lupa deklarasi negaranya ya! Mau daftar jadi menteri kentut nih!”

Wibisana tersenyum. Ia mengangkat tangan, bukan untuk membalas, tapi sekadar menghalau nyamuk. Malam itu, langit memerah. Kilatan berita datang bertubi-tubi: Presiden yang dulu Wibisana dampingi tersandung skandal korupsi besar-besaran.

Negara gempar. Warga marah. Demo meledak. Di sebuah stasiun televisi kecil, seorang komentator berkata dengan wajah putus asa: “Seandainya dulu kita lebih percaya pada Wibisana.”

Suara komentator itu tak terdengar oleh Wibisana, yang duduk di ruang tamunya yang sederhana. Tanpa suara-suara gegap gempita, tanpa pejabat-pejabat yang sering mengelilinginya, tanpa gelombang kecaman dan sorakan yang menghantam dirinya. Kini hanya ada kebisuan yang meresap perlahan di dinding-dinding rumah kecilnya.

Wibisana mematikan televisi. Dengan tangan gemetar, ia meraih secangkir kopi yang sudah lama mendingin. Tanpa buru-buru, ia meneguk sedikit demi sedikit, seolah berharap rasa pahit itu bisa menghapuskan rasa kekecewaan yang menumpuk dalam hatinya.

Ia menatap jendela, memandangi jalanan yang sepi di luar. Tak ada demonstrasi. Tak ada cemoohan. Hanya ada keheningan yang terasa semakin menyesakkan. Orang-orang yang dulu mencacinya, kini mulai lupa akan eksistensinya, seiring berjalannya waktu. Seolah ia hanyalah bayang-bayang yang cepat hilang di tengah riuhnya kehidupan. Tak ada ruang baginya untuk dihormati lagi, bahkan setelah ia menyerahkan segalanya demi sebuah ketenangan.

Tetapi ketenangan yang ia damba tak kunjung datang. Setelah cemoohan hilang, kini ia merasa dihantui oleh kegelisahan yang tak terucapkan. Di luar sana, berita yang terus bergulir tentang Presiden Darmawan yang terjerat korupsi membuat rakyat kembali merindukan sosok yang bisa memimpin negara. Namun tak ada satu pun yang menyebutkan namanya, bahkan tak ada sekadar ucapan terima kasih. Tak ada apresiasi atas segala upayanya. Semua terlupakan begitu saja.

Dan yang paling membuat Wibisana saat dirinya sadar, ia sudah menyerah sebelum benar-benar diberi kesempatan. Mundur, karena hanya itu pilihan yang ia anggap tepat. Tapi yang ia terima hanyalah kesendirian.

Tak ada lagi yang datang ke rumahnya, kecuali kecemasan yang makin mencekam. Teman-temannya yang dulu mendekat karena posisi kini menjauh. Mereka, seperti biasa, hanya datang saat ada sesuatu yang bisa diambil, tidak lebih.

Pernah ia berpikir, mungkin ia bisa hidup tenang di luar sorotan politik, jauh dari segala pembicaraan, jauh dari segala penghinaan. Tapi kenyataan tidak memberi ruang itu. Wibisana tidak lebih dari sosok yang terlupakan begitu saja, dalam sejarah yang terlalu sibuk dengan perubahan cepat dan hiruk-pikuk yang tak pernah berhenti.

Seorang tetangga lewat di depan rumahnya, tanpa menyapa, tanpa melirik pun ke arah rumah yang pernah menjadi pusat perhatian. Wibisana menyadari bahwa ia hanyalah bagian dari masa lalu yang tak lagi dipedulikan.

Wibisana menatap foto-foto lama yang tersimpan di meja, foto-foto saat ia masih berbicara di podium, saat orang-orang dulu mengharapkannya. Foto-foto yang kini tampak seperti kenangan buram dari sebuah era yang sudah lama mati.

Di dalam dirinya, ia merasa begitu kosong. Lebih kosong dari dulu, saat segala sesuatu yang ia lakukan selalu disorot, bahkan dihina dan dicaci. Sekarang, seolah semua peran yang pernah ia jalani telah dibuang begitu saja, tanpa jejak.

Seandainya dulu, pikirnya, memandang bayangannya di kaca, seandainya dulu aku  tidak mundur. Tapi tidak apa, masih ada pemilihan akan datang. Aku akan membuat rekayasa jilid kedua, agar bisa kembali menjabat.***

 

Baca Juga: Tragedi Pengecut dalam Tiga Babak – Cerpen Karya Wildanne

Yuditeha

Yuditeha

Penulis yang tinggal di Karanganyar. Dapat ditemui di Instagram @yuditeha2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *