Rindu. Itu yang saya rasakan ketika berada di Terminal Anjuk Ladang, sebuah terminal di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Senin (23/9/2024) siang WIB, langit agak mendung ketika saya menunggu bus ke arah Surabaya. Saya berjalan di trotoar depan terminal, lalu duduk di depan tulisan “Terminal Anjuk Ladang” yang cukup mencolok.
Kebetulan waktu itu saya diantar oleh seorang teman. Sembari mengamati bus yang berlalu-lalang, saya mencoba mengumpulkan kenangan-kenangan yang mengendap di Terminal Anjuk Ladang ini.
Terminal Anjuk Ladang tidak hanya tentang bus dan orang yang pulang atau hendak dalam perjalanan. Pemandangan lain yang tersaji di Terminal Anjuk Ladang: tukang becak yang tidur di kursi becaknya, ojek pangkalan yang sedang melamun dengan sebatang rokok terselip di jarinya, pedagang asongan yang menjajakan air mineral dari bus ke bus.
Pandangan teman saya tertuju pada bocah-bocah kampung yang sedang bermain di antara bus-bus yang ngetem menunggu penumpang.
“Wah, aku jadi teringat cilikanku (masa kecilku) pernah kayak gitu,” celetuk teman saya.
Menebus Waktu dari Keletihan Jakarta
Sebagai warga Nganjuk, saya tentu punya sederet kenangan di Terminal Anjuk Ladang. Namun, tulisan ini bukan tentang saya. Sebab, Terminal Anjuk Ladang juga membekas di ingatan banyak orang.
Misalnya Saiful (52). Ia sebenarnya asli Jombang. Namun, pada 1996 ia menikah dengan perempuan asal Nganjuk. Sejak saat itulah ia menetap di Nganjuk hingga sekarang.
Pada 2008, karena kebutuhan ekonomi ia memilih merantau di Jakarta. Alhasil, ia harus sering bolak-balik dari Nganjuk-Jakarta atau Nganjuk-Jombang demi menebus waktu bersama keluarganya.
“Setiap ada hajatan, selalu milih naik bus. Soalnya untuk bawa barang banyak, motor nggak muat,” ungkapnya saat saya wawancarai, Minggu (6/10/2024).
Saat ini Saiful memang sudah tidak merantau lagi di Jakarta. Namun, moda transportasi umum, seperti bus, masih menjadi pilihan utama dan prioritasnya. Pilihan utamanya untuk menempuh perjalanan jauh. Pasalnya selain tidak berisiko, juga lebih efisien untuk membawa barang bawaan banyak.
1980: Ketika Semua Berawal
Dari beberapa sumber sejarah, Terminal Anjuk Ladang sebenarnya sudah ada sejak 1980-an. Masa itu, lokasinya masih di Jl. PB Sudirman, berdekatan dengan Stasiun Nganjuk dan Pasar Mangundikaran.
Lalu, kira-kira pada 2004, Terminal Anjuk Ladang itu digeser ke Jl. Gatot Subroto, Ringinanom, bersebelahan dengan Polres Nganjuk. Sementara bekas bangunan terminal lama, sekarang menjadi sentra kuliner malam di Kabupaten yang berjuluk Kota Angin itu.
Terminal Anjuk Ladang konon diambil dari nama Prasasti (Anjuk Ladang), yakni sebuah prasasti yang berkaitan erat dengan sejarah Kabupaten Nganjuk.
Terminal ini merupakan terminal bus tipe B, bus trayek AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) dan AKAP (Antar Kota Antar Provinsi). Di sebelahnya, ada juga terminal tipe C yang melayani angkutan antarkecamatan.
Di sudut lain terminal, ternyata masih ada pangkalan Mobil Penumpang Umum (MPU) yang masih bertahan, meski makin hari makin sepi penumpang. MPU tersebut mulanya beroperasi di 34 rute. Sialnya, 31 rute lainnya terpaksa ditutup. Sehingga saat ini hanya menyisakan tiga rute saja yang melayani rute Nganjuk-Sawahan, Nganjuk-Wilangan, dan Nganjuk-Kertosono.
Unit MPU yang bertahan pun hanya kurang dari 30. Padahal, sewaktu kecil saya menyaksikan ada lebih dari 30 unit MPU yang berlalu lalang di jalanan Nganjuk.
Menempuh Rute ‘Wilayah Tak Terjamah’
Pada dasarnya, MPU-MPU tersebut melayani rute ke daerah-daerah pelosok di Nganjuk. Maka ketika banyak rute telah mati, sempat ada kebingungan untuk menuju rute-rute pelosok tersebut.
Sampai akhirnya Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Nganjuk bekerja sama dengan PT Damri menghadirkan angkutan pelayanan perintis, per awal Februari 2024 lalu.
Rois (57), menjadi salah satu penumpang yang beberapa kali menggunakan Bus Damri tersebut. Ia berasal dari Kecamatan Jatikalen, berjarak 35 kilometer dari pusat kota Nganjuk. Bisa dibilang desanya terhitung pelosok.
Oleh karena itu, keberadaan Bus Damri sangat membantunya untuk menempuh jalan pulang manakala ia sedang berada di pusat Kota Nganjuk..
“Pertama kali naik Bus Damri. Fasilitasnya nyaman karena bus baru. Selain itu juga murah, cuma Rp7 ribu. Jadi irit pengeluaran,” bebernya pada saya.
Meskipun baru dua bus yang beroperasi, ia berharap pemerintah Kabupaten Nganjuk menambah lagi unit Damri untuk melayani warga Nganjuk yang wilayahnya tak terjamah angkutan umum.
Perihal Saya yang Tak Bisa Berpaling dari Bus
Tak terasa sudah 30 menit saya melamun: mengumpulkan serpihan kenangan masa silam di Terminal Anjuk Ladang. Bus Eka–bus yang saya tunggu untuk ke Surabaya– sudah memasuki Terminal Anjuk Ladang.
“Surabaya, Mas?,” tanya kernet Bus Eka itu membuyarkan lamunan saya. Saya sontak mengangguk, lantas bergegas naik ke dalam bus. Menyibak hujan yang mulai turun.
Saya selalu merasa lebih nyaman kalau naik bus. Saya tak tahu pasti bagaimana mulanya. Tapi kursi bus selalu memberi saya kenyamanan yang sulit saya jelaskan. Seperti halnya rasa kemanusiaan saya selalu bertumbuh, ketika bertemu dengan orang-orang yang memberikan ceritanya dalam sepanjang perjalanan saya.
Penulis: Muhammad Ridhoi
BACA JUGA: Warteg Aero Bangkit, Penyelamat Mahasiswa Melarat Unair Surabaya
Leave a Reply