Interview – Cerpen karya Endah Novitasari

Interview – Cerpen karya Endah Novitasari

Hari ini sedari Subuh aku sudah bersiap-siap. Semua persiapan matang telah aku lakukan demi memenuhi panggilan interview di sebuah gedung menjulang yang ada di pusat kota ini. Satu-satunya kemeja yang kupunya telah aku setrika licin, begitu pula dengan sepatu usangku telah kusulap menjadi lebih mengilap dari hasil polesan semir. Meski pakaian dan sepatuku ini tak sekaku dan semulus barang baru, tapi ini satu-satunya barang milikku yang tampak layak untuk aku kenakan dalam interview hari ini.

Interview akan dimulai pukul 09.00, tetapi aku sudah berangkat dua jam lebih awal, meski jarak tempuh ke lokasi hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tentu aku tak ingin terlambat karena aku sangat berharap banyak pada interview kali ini. Semua modal yang aku punya sudah aku keluarkan, bahkan aku pun sudah menghemat uang makan demi membeli pelicin pakaian dan semir sepatu. Aku pun sudah berjanji pada tetangga sebelah kamar kosku untuk membayar ongkos yang kupinjam hari ini karena persediaan uangku benar-benar telah habis.

Sudah dua bulan ini aku keluar masuk kantor untuk melamar pekerjaan, tetapi hasilnya masih nihil padahal aku sudah berjanji bahwa aku akan mengubah nasib keluargaku menjadi lebih baik, menjadi anak yang dapat dibanggakan untuk mengangkat derajat orang tua. Itulah yang aku katakan saat akan berangkat merantau ke ibu kota dua bulan lalu dengan hasil pinjaman ibu dan bapakku kepada tetangga di kampung.

“Ini modal buat kamu di kota ya, Le. Jangan lupa tahun depan pulang sudah jadi direktur dengan bawa mobil Mercy kaya punya anaknya Pakde Narto,” ucap ibuku dengan penuh harapan tinggi saat melepasku merantau kala itu.

Dulu aku pikir meraih kesuksesan dengan pergi merantau itu tidaklah sesusah ini. Aku sangat optimis karena melihat beberapa kawan sejawatku yang langsung sukses padahal baru setahun dua tahun merantau di kota. Ya, salah satunya Agam, anaknya Pakde Narto. Ia baru dua tahun merantau di kota, tapi pulang-pulang sudah bisa merenovasi rumah dan membawa mobil mewah yang setiap hari selalu dibanggakan oleh orang tuanya kepada para tetangga di kampung. Hal itulah yang membuat bapak dan ibuku rela mengutang ke sana ke mari hanya untuk memodaliku merantau di kota.

Sebelumnya aku memang hanya menjadi buruh serabutan yang ikut bekerja di sawah dan ladang para petani yang membutuhkan jasa. Dengan harapan yang begitu besar, aku pun mengikuti keinginan bapak dan ibuku untuk merantau agar bisa mengangkat derajat keluarga. Kini, aku benar-benar menggantungkan harapanku pada interview hari ini. Ya, aku sangat yakin dan percaya diri bahwa aku akan mendapat pekerjaan hari ini.

Setelah turun dari angkot, aku langsung lanjut berjalan mencari gedung tempatku interview. Sekitar 15 menit akhirnya kutemukan juga Gedung tinggi menjulang bertuliskan “Graha Widya Utama” tepat sesuai yang tertera pada iklan lowongan pekerjaan yang kudapat dari jejaring sosial. Aku berdiri tepat di depan gedung itu, banyak orang lalu lalang dengan pakaian rapi nan necis bak kaum perlente. Aku menatap kagum kepada orang-orang tersebut seraya berkata dalam hati, “Sebentar lagi aku akan menyusul kalian menjadi bagian orang penting di gedung ini,”

Semangat dan percaya diriku sangat kuat untuk lolos dalam interview hari ini. Aku sudah memulai persiapan matang sejak dua minggu lalu mempelajari cara jitu untuk lolos interview melalui buku yang aku dapatkan dari teman lamaku yang tak sengaja kutemui di kota ini dan ia telah sukses menjadi pekerja kantoran. Semua soal-soal psikotes, cara menjawab pertanyaan inteview, publick speaking yang benar, intonasi dan rima vokal yang tepat, mimik dan gesture tubuh yang meyakinkan, bahkan sampai negosiasi perihal gaji telah aku lahap habis melalui buku “Trik Jitu Lolos Interview” dan tutorial menghadapi interview yang bertebaran di media sosial.

Sebelum memasuki gedung, aku mematut diri dulu di depan pintu kaca gedung. “Wah, begitu rapi dan tak kalah dengan orang-orang berdasi yang lalu lalang tadi,” pikirku.

Mungkin saja penampilanku ini dapat menjadi nilai plus sebagai pertimbangan mereka meloloskanku seperti yang kubaca di buku bahwa penampilan menjadi penilaian pertama saat interview dan aku telah berusaha maksimal untuk itu.

Aku langsung menghampiri sekuriti yang berjaga di depan pintu masuk.

“Selamat pagi, Pak. Apa benar ini Gedung Graha Widya Utama? Apa benar ada interview hari ini?”

“Ya, benar, ini Gedung Graha Widya Utama. Kalau soal interview, hampir setiap hari selalu ada orang yang melamar karena banyak sekali kantor di gedung ini. Silakan langsung menuju lantai kantor yang tertera di lowongan pekerjaannya, Mas,”

“Oh, terima kasih, Pak,” jawabku sembari tersenyum.

Aku pun memastikan kembali letak kantor yang menerima lowongan kemarin. Ternyata berada di lantai 19.

Dengan penuh semangat, aku pun langsung menuju lift dan menekan angka 19.

Ting, angka 19 berubah menjadi merah. Tanda aku sudah sampai di lantai tersebut.

Dengan perasaan berdebar, aku melangkahkan kaki menuju kantor yang kuyakini hari ini akan menjadi bagian dari hidupku.

Aku terkejut ternyata telah banyak calon pelamar yang menunggu, rupanya tak hanya aku saja yang datang jauh lebih awal dari jadwal interview. Sembari menunggu, aku mencoba merapikan kembali penampilanku, menyisir rambut dengan jari-jariku, menoleh ke bawah apakah resletingku telah tertutup rapi, dan merapikan kerah kemejaku agar terlihat lebih rupawan. Sempurna. Aku semakin percaya diri meski banyak mata yang seolah menatapku remeh. Mungkin karena kemeja dan sepatuku tak sekaku dan semulus yang mereka pakai. Ah, biar saja, paling tidak ini adalah penampilan terbaik yang aku punya dan sudah kuusahakan.

Mendekati waktu yang dijadwalkan, ada seorang wanita muda berkaca mata dengan rok mini di atas lutut datang untuk mengabsen. Jumlah kami yang melamar total ada 30 orang dan aku berada pada urutan ke-27.

Ah, rasanya semakin berdebar dan gugup karena aku berada pada urutan belakang.

Satu per satu pelamar mulai dipanggil sesuai urutan. Aku merasa aneh karena interview berjalan singkat. Tiap peserta kurang lebih hanya memerlukan waktu 5 hingga 10 menit paling lama.

Mungkin saja baru menjawab pertanyaan awal sudah langsung gugur karena tak sesuai kriteria yang dicari. Aku mencoba mengingat-ingat kembali materi yang telah aku pelajari untuk lebih memantapkan interviw nanti.

“Peserta berikutnya, Alfianto Nugroho,” ujar wanita berkaca mata tadi.

Ya, itulah giliranku. Aku melangkah mantap dan mulai memasuki pintu ruangan. Tepat seperti yang tertulis dalam buku yang telah kupelajari bahwa kesan pertama harus meyakinkan. Dengan penuh rasa percaya diri kuketuk pintu dan ucapkan salam.

“Selamat pagi, Pak,” kujabat tangan seorang bapak-bapak berkaca mata dengan perut agak buncit yang telah duduk menyambutku di dalam.

“Pagi. Langsung saja, Mas Alfianto. Selamat Anda telah diterima dan sudah dapat bergabung di kantor kami,” ucap bapak itu sembari tersenyum.

“Loh, Pak, serius? Saya belum mulai tes dan wawancaranya?” tanyaku heran, tetapi ada rasa bahagia di dadaku.

“Oh, itu sudah tidak perlu lagi. Bagi yang sudah dipanggil hari ini artinya sudah lolos seleksi. Sekarang tinggal bicara mengenai jaminan dan administrasi saja,” ujar bapak tersebut sembari mengeluarkan sebuah kertas.

“Maksudnya bagaimana ya, Pak?”

“Di sini ada daftar administrasi yang harus Anda penuhi. Agar resmi menjadi anggota kami, Anda harus memenuhi andministrasi ini terlebih dahulu di muka hari ini juga,”

Bapak itu mengeluarkan secarik kertas yang berisi daftar anggaran sebagai anggota baru PT Karya Bangun dengan nominal Rp1.500.000.

Seketika semua teori yang telah aku pelajari lenyap seketika bersama seluruh imaji menjadi karyawan perlente di gedung menjulang ini.

“Maaf, Pak, saya tidak punya uang sepeser pun,” hanya kalimat itu yang mengakhiri interviewku hari ini dan dengan langkah terhuyung aku keluar ruangan.

“Peserta selanjutnya, Hermawan Winanto,”.

 

Penulis: Endah Novitasari

BACA JUGA: Medsos dan Puisi Lainnya Karya Muhammad Syahroni

Endah Novitasari

2 responses to “Interview – Cerpen karya Endah Novitasari”

  1. […] BACA JUGA : Interview – Cerpen karya Endah Novitasari […]

  2. […] BACA JUGA : Interview – Cerpen karya Endah Novitasari […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *