Seabad silam, orang-orang di Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah membaca buku tipis berjudul The Prophet. Buku yang memuat tulisan-tulisan puitik gubahan Kahlil Gibran dalam bahasa Inggris dan Arab. Tak lama kemudian, buku ini diterjemahkan ke pelbagai bahasa sekaligus mengesahkan Kahlil Gibran sebagai pengarang dunia. Pada masa 1950-an, buku itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Sang Nabi. Berlanjut pada masa 1980-an dan 1990-an, sekian penerbit ikut mengeluarkan Sang Nabi dengan kualitas terjemahan berbeda dan persaingan penampilan buku.
Pada 2005, Sapardi Djoko Damono ikut menerjemahkan The Prophet. Ia memilih judul Almustafa, bukan Sang Nabi. Usaha ingin memberi citarasa berbeda kepada pembaca terbiasa mengetahui gubahan terkondang Gibran itu selalu diterjemahkan Sang Nabi. Edisi terjemahan Sapardi Djoko Damono memang memiliki keunggulan dibandingkan edisi-edisi terdahulu.
Memberi Sedikit Saja
Kita mengutip masalah sedekah: “Kemudian, ujar seorang kaya, bicaralah kepada kami tentang sedekah. Dan ia (Almustafa) berkata: Kau hanya memberi sedikit saja kalau kau memberikan milikmu. Hanya jika kau memberikan dirimulah, kau benar-benar telah memberi. Sebab, apa pula makna kekayaanmu kalau bukan sekadar barang-barang yang kaupunya dan kaujaga karena khawatir mungkin besok kau akan memerlukannya?”
Perkataan mengandung hikmah sedekah. Orang diajak tak terlalu memegangi harta tapi memerankan diri selalu memberi. Situasi itu sulit dimengerti orang bergelimang harta ingin meraih puncak-puncak duniawi.
Almustafa melanjutkan: “Ada yang memberikan sedikit dari milik mereka yang melimpah – dan agar diketahui dan dengan maksud tersembunyi sehingga pemberian itu tidak tulus. Dan, ada yang hartanya sedikit tapi memberikannya semua. Mereka inilah orang-orang yang percaya kepada kehidupan dan karunia kehidupan, dan pundi-pundinya tidak akan kosong.” Gibran sedang memasalahkan ketulusan dalam memberi atau bersedekah.
Serakahnomic
Kita merenungkan sedekah tapi pidato-pidato dalam peringatan Hari Kemerdekaan justru mengandung istilah serakah. Prabowo Subianto (15 Agustus 2025) berpidato dengan keras dan geram. Ia lantang mengucap: “Kami akan selamatkan rakyat. Kami pastikan rakyat Indonesia tidak menjadi korban ‘serakahnomic’, korban para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.” Pada saat berpidato, penguasa itu menggebrak mimbar. Kita seperti sedang melihat “teater” mendekati absurd.
Masalah serakah pun terucap oleh Puan Maharani selaku Ketua DPR RI. Ia mengikuti tanda seru diajukan Prabowo Subianto. Puan Maharani menganggap “serakahnomic” merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Ini persoalan serius yang harus kita hadapi bersama,” ucap Puan Maharani tanpa harus menggebrak meja.
Kita malah teringat peristiwa sebulan lalu berkaitan “serakahnomic.” Semua bermula di Solo dan Klaten (20 dan 21 Juli 2025). Prabowo berulang bicara tentang serakah. Ia berulang membicarakan Indonesia dan (ulah) pengusaha dalam raihan untung besar. Nafsu untung memicu serakah berakibat kehancuran negara dan kerugian jutaan orang. Lakon serakah tersaji sejak lama. Prabowo Subianto berani memberi sebutan “serakahnomic”. Presiden berani memberi “ancaman” kepada para pengusaha rakus atau serakah. “Tunggu tanggal mainnya,” ujar Prabowo Subianto. Kita menafsirkan ia bakal membuat peraturan atau memberi penghukuman atas “serakahnomic.”
Kaum serakah abai sedekah? Kita belum bisa membuat konklusi bila mengamati ulah kaum serakah seolah “dermawan” dalam agenda-agenda sosial, agama, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan. Di mata pemerintah dan publik, mereka tampak mengeluarkan duit besar. Kamera dan pemberitaan menjadikan aksi pemberian mereka terbukti “baik” atau “mulia”. Konon, memberi itu siasat dalam timbal-balik politik atau membesarkan pengaruh bisnis. Mereka bisa beridentitas ganda dalam menampilkan kebaikan melalui sedekah dan mengesahkan keserakahan.
Singgasana Kaum Serakah
Di Indonesia, kaum serakah justru biasa mendapat kehormatan, penghargaan, dan singgasana dalam politik. Mereka memiliki kekuatan besar dalam turut mengatur nasib Indonesia. Serakah tak sekadar dari pemenuhan nafsu mendapat untung terlalu besar. Serakah justru terlihat dari cara mengonsumsi dan memamerkan di hadapan publik.
George Ritzer (2004) mengingatkan: “Sedekah publik dilihat sebagai kendala ideologis (yang menjelaskan mitos pelayanan daripada satu pandangan tentang dunia – tempat segala hal dibeli dan dijual) dan semacam kontrol sosial.” Peringatan itu terjadi di “rezim kamera”. Kita mudah melihat pentas sedekah disorot kamera dan terbagikan di media sosial. Sedekah tak lagi ketulusan tapi perhitungan kemonceran, pendapatan, dan pengultusan. Sedekah jenis itu justru mengabarkan serakah secara diam-diam atau terbuka.
Pihak-pihak serakah kadang memamerkan segala capaian dan sukses dengan kemewahan: rumah, mobil, busana, jam tangan, dan lain-lain. Mereka tampak berani dalam selebrasi konsumsi. Serakah memang lumrah disempurnakan dengan nafsu konsumsi tiada batas.
Di buku berjudul Masyarakat Konsumsi (2004), kita membaca uraian rumit dan impresif dari Jean Baudrillard. Ia mengabarkan hal-hal besar tejadi pada umat manusia dalam perwujudan segala ingin melalui konsumsi. Kaum serakah berlimpah uang tentu memiliki derajat tertinggi dalam membenarkan nafsu konsumsi sampai akhir zaman.
Jean Baudrillard mengungkapkan: “Saat ini di sekitar kita terdapat semacam kenyataan luar biasa tentang konsumsi dan kelimpahruahan yang disusun oleh melimpahnya objek, jasa, barang-barang material yang selanjutnya membentuk sejenis mutasi fundamental dalam ekologi kemanusiaan.” Serakah itu “kemenangan” untuk dipertontonkan kepada ribuan atau jutaan orang. Kesanggupan untuk serakah dan “kegilaan” dalam konsumsi memungkinkan pemunculan kesombongan tertinggi.
Kita mengetahui keselarasan serakah dan konsumsi terjadi di Indonesia. Prabowo Subianto memang tak perlu mengutip pemikiran-pemikiran besar untuk memastikan sebutan “serakahnomic” dan tindakan-tindakan konsumsi mencengangkan saat jutaan orang dirundung sedih akibat susah cari uang dan pemunuhan kebutuhan pokok.
Pada saat mengecam dan ingin “menghukum” kaum serakah kesadaran atas berkah lupa tak disampaikan Prabowo Subianto atau menjadi perdebatan publik. Istilah tepenting memang serakah saat Prabowo Subianto ingin membenahi tata ekonomi dan sosial-politik di Indonesia. Serakah menimbulkan seribu masalah tak semua bisa dirampungkans secara hukum.
Risalah Berkah
Kini, kita menggeser ke masalah berkah agara serakah tak merajalela di Indonesia. Abu Umamah dalam buku berjudul Risalah Berkah (2019) menjelaskan berkah secara kebahasaan: “Tumbuh dan berkembang, kebahagiaan, langgeng dan tetap, keberuntungan, serta kebaikan yang banyak.” Di pergaulan hidup, kita biasa mendengar orang berujar mengenai berkah dalam rezeki dan pengembangan bisnis. Ada pula berkah berkaitan tata kehidupan dalam pijakan agama dan kedermawanan sosial.
Kita tak mempertentangkan serakah dan berkah. Di pelbagai kasus besar di Indonesia, kita sering mengetahui serakah itu bercap korupsi dengan kemunculan beragam sitaan berupa benda-benda mewah dan keberadaan sekian rumah. Konon, kaum serakah membantah berkah dengan pamer segala kepemilikan dan peristiwa di media sosial.
Publik perlahan curiga tentang pameran bersumber nafsu konsumsi dengan kemungkinkan-kemungkinan korupsi. Curiga kadang makin ruwet saat publik kepikiran tentang berkah dalam pengabaran orang-orang sukses di media sosial. Berkah mungkin (sedikit) terbukti dengan cara orang-orang berlimpah harta saat mendokumentasi aksi-aksi “bersedekah” meski tetap menimbulkan raihan keuntungan (komersialisasi dan monetisasi). Begitu.