Diamnya Unair adalah Gambaran Jelas Kalau Kampus ini Jauh dari Realita dan Dekat dengan Penguasa

Ilustrasi unair (www.pinterest.com)

Dalam banyak sekali tradisi intelektual, keberadaan akademisi atau orang-orang berintelek adalah untuk membangun kesadaran di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tak lain karena para intelektualis dinilai memiliki kemampuan lebih untuk melihat dan memandang realitas dengan sebenar-benarnya. Tak hanya itu, para akademisilah yang punya akses pengetahuan dalam rangka memperbesar kesadaran akan kondisi lingkungan sekitar.

Tak salah kiranya, jika akademisi maupun lembaga ilmiah punya andil untuk ikut bertanggung jawab saat terjadi hal-hal ganjil di negeri ini. Elemen-elemen intelektual perlu memahami bahwa dirinya adalah jembatan antara masyarakat dan penguasa. Maka dalam konsep ini, siapapun yang mengaku dirinya menaungi para intelektualis memiliki tuntutan besar yakni memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan.

Gayung bersambut, banyak kampus sudah mendeklarasikan posisinya untuk menjawab situasi yang terjadi saat ini. Tapi semua itu berbeda dengan langkah yang diambil oleh kampus Timur Jawa Dwipa. Universitas Airlangga atau biasa disebut Unair ini tak kunjung merespon apa yang sedang terjadi. Terakhir kali respon yang dikeluarkan oleh kampus, hanya menandai dan menegaskan perihal perkuliahan yang diselenggarakan secara daring. Artinya lembaga yang seharusnya menjembatani keresahan masyarakat luas justru tampak diam  dan terkesan mengalami represi. Setidaknya represi internal menjadi asumsi paling positif mengapa Unair memilih tidak bereaksi atas apa yang sedang terjadi.

Lembaga Akademisi Harus Reaktif Bukan Sekadar Responsif

Melihat situasi negara akhir-akhir ini, perlu menjadi catatan sekaligus pertanyaan yang penting apakah memilih diam dapat dibenarkan demi kepentingan jangka panjang?  Tidak seharusnya ruang akademik dimana kebebasan untuk berpikir, berekspresi, dan berkontemplasi atas realitas sosial justru memilih tidak reaktif pada situasi sosial yang membutuhkan peran otoritas akademis.

Dalam tulisan ini selain ngrasani juga saya seertakan beberapa catatan yang pernah terjadi. Misalnya ketika masa apartheid di Afrika Selatan yaitu ketika pemerintah yang dikuasai oleh kelompok kulit putih menerapkan sistem hukum dan kebijakan yang secara resmi memisahkan ras serta mendiskriminasi mayoritas penduduk kulit hitam. Sejumlah kampus di Afrika Selatan menjadi pusat perlawanan, salah satunya University of Cape Town (UCT). Akademisi dan mahasiswa berulang kali melakukan demonstrasi menentang kebijakan diskriminatif rasial, walau mendapat represi keras. UCT bahkan mengeluarkan pernyataan publik menolak apartheid, menegaskan bahwa universitas tidak bisa netral ketika keadilan diinjak. Kampus ini bahkan mendapat julukan Moscow on the Hill karena penentangannya yang berkelanjutan terhadap rezim apartheid.

Tak hanya itu, misalnya ketika Mahasiswa dan profesor Columbia memimpin aksi besar menolak keterlibatan AS di Vietnam War tahun 1968. Columbia University sebagai kampus dijadikan basis mobilisasi intelektual, dengan diskusi publik, publikasi pamflet, hingga pendudukan gedung. Meski banyak dosen dan mahasiswa ditangkap, aksi tersebut tetap dikenang sebagai titik balik tradisi akademik yang “speaking truth to power.”

Dalam contoh lainnya juga ketika gerakan Reformasi di Universitas Teheran pada 1999 dan 2009 di mana kampus menjadi pusat perlawanan terhadap represi pemerintah Iran, dengan mahasiswa dan dosen menuntut reformasi dengan turun ke jalan. Meskipun banyak yang ditangkap, gelombang protes ini berhasil menarik perhatian internasional dan memberikan tekanan pada rezim Iran, menegaskan bahwa kampus adalah ruang penting untuk menyuarakan aspirasi di tengah sistem yang represif.

Ingatan-ingatan tersebut menunjukkan satu hal: kampus selalu punya pilihan untuk berpihak. Diam bukanlah sikap netral, melainkan secara tidak langsung memperkuat status quo. Jika kampus justru menutup diri, tidak berani bersuara, dan sekadar mengejar reputasi birokratis atau ranking internasional, maka ia kehilangan jantung keberadaannya—yaitu menjadi penggerak kesadaran kritis masyarakat.

Dalam arti lainnya, contoh kasus di atas menunjukkan betapa kampus seharusnya tidak menjadi ruang yang responsif saja dengan mengeluarkan kebijakan yang dinilai aman. Maka dapat dipahami, Universitas Airlangga dalam hal ini justru terkesan tidak memiliki keberanian sikap untuk memahami prinsip bahwa dirinya adalah  benteng moral dan pusat artikulasi kepentingan masyarakat luas. Lantas apakah makna excellence with morality yang menjadi jargon kebanggaan kampus?

Bagaimana Jika Kampus Terus Memilih Diam?

Ketika kampus memilih untuk terus diam di tengah ketidakadilan maka wajar jika masyarakat sipil akan terus merasa ditinggalkan. Padahal, sejarah sudah membuktikan jika kampus telah menjadi ruang dimana suara rakyat mendapat tempat istimewanya. Begitu kampus bungkam, masyarakat kehilangan salah satu sekutu intelektual terpenting dalam memperjuangkan hak dan keadilan.

Diamnya kampus juga menggerus legitimasi moral para akademisi. Alih-alih menjadi intelektual organik yang berpihak pada kepentingan publik, akademisi justru direduksi menjadi teknokrat: sibuk menulis laporan, mengurus akreditasi, atau mengejar peringkat internasional, tanpa berani menantang kekuasaan yang menindas. Pada titik ini, keilmuan kehilangan rohnya sebagai alat emansipasi.

Justru yang jauh lebih berbahaya adalah ketika mahasiswanya sendiri kehilangan kepercayaan pada almamaternya sebagai ruang pembebasan. Universitas yang seharusnya melatih keberanian intelektual justru mengajarkan kepatuhan dan keheningan. Generasi muda yang mestinya ditempa untuk kritis, akhirnya belajar bahwa keselamatan pribadi dan karier lebih penting daripada keberanian bersuara. Jika pola ini berlanjut, kampus tidak hanya gagal menjalankan fungsi sosialnya, tetapi juga berisiko menjadi simbol kehampaan moral—megah secara infrastruktur, gemerlap di atas kertas, namun kosong makna di mata publik.

Penulis : Amanina Rasyid Wiyani

Editor : Imam Gazi Al Farizi

Baca Juga: Jangan Salah Paham: Pembakaran Fasilitas Umum Itu Ulah Oknum, Cuman Ingin Rakyat Pecah Belah

 

Avatar

Amanina Rasyid Wiyani

mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga tahun ketiga. Dapat disapa melalui akun instagram @rasyid.amanina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *