Stop Salah Paham: Pembakaran Fasilitas Umum Itu Ulah Oknum, Ingin Rakyat Pecah Belah
Gerah sekali rasanya, massa aksi – terutama mahasiswa dan buruh – menjadi sasaran fitnah dan hujatan oleh para netizen karena rusaknya beberapa fasilitas umum. Di Jakarta puluhan fasilitas umum porak poranda tak tersisa. Puncaknya adalah pembakaran Gedung Negara Grahadi di Surabaya yang terjadi pada Sabtu (30/8) malam.
Tak berselang lama, tepatnya pagi harinya, Minggu (31/8) berbagai pemberitaan tentang terbakarnya Grahadi diwarnai caci maki, hujatan, dan kecaman yang ditujukan pada massa aksi. Netizen geram karena Grahadi adalah salah satu cagar budaya yang tidak seharusnya menjadi sasaran demo. Tulisan ini berupaya menjelaskan dengan bahasa yang sederhana tentang pembakaran fasum (fasilitas umum) yang banyak disalahpahami masyarakat. Mari dibaca dengan kepala dingin dan pelan-pelan
Perusakan fasilitas umum bukan ulah massa aksi
Bukan mahasiswa, bukan sipil. Pertama soal pembakaran Grahadi. Yang perlu diketahui adalah bahwa setiap aksi demo ada batas jam malam. Bahkan sebelum pukul 6 sore, massa sudah mulai membubarkan diri. Adapun Grahadi terbakar pada malam hari, saat massa sudah mundur dan area steril.
Kedua, jika kita melihat video yang tersebar di media sosial, titik pusat pembakaran berada di dalam gedung. Pertanyaannya, siapa yang bisa akses masuk sampai ke sana? Sipil tidak mungkin. Sipil hanya bisa demo dari luar.
Ketiga, Grahadi tersusun atas beton dan struktur bangunannya kuat. Membakar Grahadi tidak cukup hanya dengan korek api dan bensin. Diperlukan kekuatan masif dan perlengkapan yang memadai untuk bisa menghasilkan api sebesar itu dalam waktu singkat. Lagi-lagi sipil tidak memenuhi kriteria dan syarat-syarat ini. Massa aksi cuma bawa badan, tidak sekalipun bawa senjata maupun bahan-bahan berbahaya.
Melihat provokator bekerja
Minggu (31/8) petang, mulai banyak beredar unggahan yang mengungkap pelaku pembakaran dan perusakan fasilitas umum, baik di Jakarta maupun Surabaya. Pelakunya adalah oknum. Kita tidak menyebut aparat, ya. Ada yang menyamar dengan memakai jaket ojol, baju serba hitam, lengkap dengan penutup muka. Banyak pula yang mulai terungkap identitasnya.
Mereka menyusup untuk membakar, merusak fasum, dan memprovokasi rakyat. Ini jelas upaya adu domba. Hasilnya, rakyat yang tidak ikut demo menjadi geram terhadap massa demo. Mereka menganggap demo hanya sebuah kegiatan onar yang di dalamnya berisi kegiatan merusak fasilitas umum. Alhasil aksi demo tidak mendapat dukungan dari sesama rakyat.
Adanya kerusuhan ini juga bikin polisi menghalalkan dan melegalkan “tembak di tempat” bagi massa aksi yang mereka “anggap” anarkis. Entah dengan peluru karet atau bahkan gas air mata. Padahal kalau dilihat yang sudah-sudah, yang anarkis sebenarnya siapa? Efeknya, semuanya semakin terpukul mundur. Pada intinya, pola kerusuhan di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya seperti terorganisir. Ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh kita, rakyat biasa. Ini pasti mereka yang punya kekuatan. Rakyat juga mengecam segala bentuk perusakan dan penjarahan yang merugikan
Tetap fokus, yang kita tuntut itu pejabat !!
Massa demo ataupun rakyat dalam hal ini tidak akan menyerang sesamanya. Terlebih mahasiswa sebagai kaum terpelajar tidak serta merta menyusun strategi untuk membakar bangunan cagar budaya. Warga sipil apalagi, tidak ada alasan apapun untuk mereka merusak fasilitas umum. Sasaran kita adalah vertikal, bukanlah horizontal. Vertikal adalah mereka para pejabat yang sewenang-wenang mengambil kebijakan. Horizontal adalah mereka tetanggamu, saudaramu, dan semua rakyat negeri ini.
Ayo saling rangkul, warga jaga warga, sipil jaga sipil. Jangan mudah terprovokasi dan terpancing narasi yang memecah belah kita. Rakyat tidak punya persenjataan super, rakyat hanya punya rakyat untuk saling menggandeng.
Penulis : Arizqa Novi Ramadhani
Editor : Imam Gazi Al Farizi