Surabaya, dikenal dengan julukan kota pahlawan. Julukan yang tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya fakta menyatakan salah satu pertempuran terhebat sepanjang sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia terjadi di kota ini. Selain itu, Surabaya juga menjadi saksi pergerakan dan perjuangan menuju kemerdakaan. Terdapat banyak jejak-jejak tokoh bangsa yang dapat dinapak tilasi di sepanjang Kota ini. Satu diantaranya adalah Sang pahlawan maestro musik pencipta lagu kebangsaan, W.R Soepratman.
Dari Rumah Menjadi Museum
Pada pertengahan tahun 2023, saya berkesempatan untuk “bertamu” ke Musem W.R Soepratman. Museum yang beralamatkan di Jalan Mangga No.21, Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya. Beroperasi setiap hari Selasa hingga Minggu pada pukul 09.00 WIB sampai 15.00 WIB. Untuk
tarif tiket tidak dipungut biaya alias gratis, cukup
mengisi registrasi online. Kita sudah dapat melenggang bebas menjelajahi seisi sudut museum.
Museum ini diresmikan pada tanggal 10 November 2018 oleh Pemerintah Kota Surabaya. Dulunya tempat ini merupakan rumah dari kakak W.R Soepratman yang bernama Roekiyem Soepratijah. Dulunya juga sempat ditinggali W.R Soepratman tepatnya di tahun 1937 hingga pada akhirnya meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938.
Alunan Perjalan Hidup Sang Maestro
Dari Museum tersebut saya diajak lebih mengenal siapakah sosok pahlawan yang bersenjatakan biola ini. Di halaman depan saya sudah disambut dengan patung W.R Soepratman setinggi kurang lebih 3 meter yang sedang memainkan biola. Lalu ketika masuk ke dalam kita akan ditunjukan sejarah kehidupannya dari lahir, masa muda hingga bagaimana sepak terjang perjuangannya, sampai akhirnya wafat dalam kesendirian dengan ditemani biola kesayangannya.
Dari museum tersebut dapat diketahui beliau lahir di Jatinegara, pada 9 Maret 1903. Lantas keahlian bermusiknya ia peroleh dari kakak iparnya yang bernama Van Eldik yang merupakan seorang belanda. Oleh kakak iparnya inilah Soepratman kecil dengan tekun diajari memainkan biola. Van Eldik juga menambahkan nama “Rudolf” sebagai nama tengah Soepratman guna men
gakuinya sebagai anak kandungnya agar bisa bersekolah di Europeesche Lagere School atau ELS. Meskipun pada akhirnya ketahuan bahwa Soepratman bukanlah anak kandung dari van Eldik sehingga gagal sekolah di ELS dan karena itu pula Soepratmandi sekolahkan di Tweede Inlandsce School sembari kursus bahasa Belanda. Pada masa remaja ini pula WR Soepratman mengasah bakat bermusiknya dengan tergabung dalam grup musik café.
Di museum ini juga diungkap bahwa W.R Soepratman sempat menjadi jurnalis disalah satu surat kabar bernama Sin Po (surat kabar harian milik orang Tionghoa). Di keredaksian harian ini dirinya mendapatkan tugas untuk meliput aktivitas berbagai organisasi pergerakan pemuda di batavia. Karena aktivitas meliputnya dan persinggungannya dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan menjadikan W.R Soepratman semakin tenggelam dalam ide-ide kebangsaan Sampai akhirnya jiwa nasionalismenya mulai bergejolak.
Hasrat nasionalismenya semakin tak terbendung semenjak dirinya hadir di kongres pemuda I. Atas dorongan itu pula WR Soepratman meciptakan sebuah gubahan berjudul “Indonesia” yang pada akhirnya menjadi “Indonesia Raya”. Lagu tersebut dikumandangakan pada saat gelaran kongres Pemuda II. WR Soepratman yang saat itu datang sebagai wartawan mendapatkan izin dari pimpinan kongres untuk memperdengarkan lagu ciptaanya.
Pada salah satu bilik museum ditampilkan potret pusara dari WR Soepratman. Dari sana kita dapat memahami bahwa Surabaya menjadi titik akhir perjuangan dari pahlawan dengan senjata pena dan biola ini. WR Soepratman yang telah mengabdikan dirinya untuk bangsa dan berjuang keras melawan sakitnya pada akhirnya harus berpulang pada Rabu Wage, 17 Agustus 1938 pukul 12 malam tanpa merasakan kemerdekaan yang dicita-citakannya. Jasadnya dimakamkan di TPU Kapas Jalan Segaran Wetan, Surabaya.
Jejak-Jejak Memori W.R Soepratman
Terdapat beragam koleksi di museum yang berkaitan dengan diri seorang Soepratman. Terdapat pula copy dari surat kabar harian Sin Po tempat dirinya dulu menjadi seorang jurnalis. Tak hanya itu ada juga salinan dari partitur lagu Indonesia raya beserta liriknya lengkap tiga stanza yang diterbatkan oleh surat kabar harian Sin Po, serta replika dari biola yang dulu sering digunakan oleh W.R Soepratman. Biola yang asli saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Dengan ini tentu kita dapat dengan mudahnya tahu bagaimana seluk beluk tentang Sang Maestro Lagu Kebangsaan. Tak salah, jika museum W.R Soepratman ini dapat dijadikan salah satu destinasi wisata Sejarah, terlebih saat kita mengunjungi kota pahlawan. Jasadnya mungkin telah tiada tapi jasanya masih kita rasakan hingga kini. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Penulis : Gema Rohullah Khumaini
Editor : Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply