Solidaritas Itu Jangan sampai Jadi Banalitas: Suara Kami yang Tak Ikut Demo

Ilustrasi Solidaritas Jangan Sampai Jadi Banalitas (www.pinterest.com)

“Kenapa sih harus sampai Jogja segala? Ribut-ribut itu di Jakarta, kan?” seorang kawan menyangsikan. Ia turut menyimak bagaimana sebagian bangunan Polda DIY dilahap si jago merah sebelum kemudian Sri Sultan rawuh. Pembunuhan oleh anggota Polri terhadap Affan Kurniawan pada Kamis, 28 Agustus 2025 silam memang menyuntikkan duka mendalam. Pilu. Lara tak tertahankan. Kebangetan!

Wajah Demokrasi

Segenap anak bangsa segera merespon tragedi nahas tersebut. Affan-Affan baru bangkit dengan pelbagai demo lanjutan. Aksi “bakar-bakar” di banyak kantor polisi menjadi simbol solidaritas sekaligus tuntutan akan keadilan. Segala keresahan, rasa muak, kebencian, serta kemarahan terhadap wajah otoritarianisme di tubuh pemerintahan muda menyatu padu. Api menjadi simbol perlawanan dan keberanian rakyat.

Jika aspirasi mereka tak mampu menembus kuping pejabat, bila demokrasi dihadang oleh lengan aparat, maka biarlah panas api yang menyengat. Begitu mungkin pikiran yang terlintas di benak para pejuang keadilan. Namun sayangnya, aroma perlawanan itu agaknya lekas disisipi rasa kebencian. Banalitas menyembul di antara teriakan menuntut keadilan. Tengok saja, betapa Jogja yang tak tahu-menahu soal tragedi Affan mesti turut katutan pulut! Makassar pun berkobar dan lalu lenyap mengabu.

Gema Kebencian

Memang, tak ada yang memungkiri bahwa demonstrasi merupakan bagian dari wajah demokrasi. Anarkisme, mau bagaimanapun, sudah jadi konsekuensi sekunder dari pilihan kolektif untuk hidup dalam payung sistem dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, jurus gebyah uyah alias pukul rata bukanlah langkah tepat. Hari-hari ini, publik dihadapkan pada gema kebencian atas polisi. Seruan semacam “Polisi adalah musuh!” atau “Aparat Keparat!” juga “Polisi Pembunuh” memenuhi media sosial. Ramai pula beredarnya video mahasiswa mengolok anggota polisi yang masih muda sebagai ‘hanya lulusan SMA’, ‘tak tahu hukum’, bahkan tuduhan ‘masuk dengan sogokan’.

Tak terbayang bagaimana rasanya berada di posisi para kroco yang mungkin masih polos itu. Kesemuanya tak lagi merepresentasikan suara demokrasi. Penghinaan jelas wujud kebencian picik. Seakan, seluruh anggota kepolisian serupa bangkai yang penuh busuk dan borok. Dan kita seakan tahu semuanya! Benar bahwa kita terluka oleh kasus Ferdi Sambo. Kita muak dengan Teddy Minahasa. Terbaru, kita serasa sama-sama terlindas oleh tragedi Affan Kurniawan.

Tentu, masih banyak busuk-busuk lain yang mungkin belum terendus aromanya oleh hidung sipil. Pun, Amnesty International Indonesia juga mengungkap bahwa tren kekerasan oleh Polri sejak 2019 terus mengalami peningkatan.“Meskipun sudah dijamin oleh konstitusi, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 226 korban penyiksaan di Indonesia sejak Juli 2019,” terang Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.

Namun, sekali lagi, atas nama kemanusiaan yang sama-sama diperjuangkan, generalisasi kebencian terhadap Polri bukanlah solusi. Lagi pula, kita juga seyogianya peka pada kemungkinan perasaan yang dialami keluarga polisi. Anak-anak mereka bisa kena perundungan. Mereka boleh jadi kini merasa inferior nan malu berorang tua polisi.

Sudahkah kita cukup bertelinga pada suara yang tak membunyi itu? Kita punya Pak Purnomo si polisi baik yang hobi ngonten untuk membantu orang-orang dengan disabilitas psikososial (ODDP). Satu contoh ini mungkin terlampau sedikit. Sementara, buih aib polisi kadung mengombak di gisik samudera.

Bukan Buzzer

Seruan ini memang datang dari pihak yang tak ikut demo, tak turun ke jalan, juga tidak urun api untuk bakar-bakar. Tentu, seruannya tak selantang para bung dan puan yang langsung terjun di lapangan. Kendati begitu, ini bukanlah suara buzzer bayaran rezim. Sebagai sesama anak bangsa yang juga ingin melihat negara ini panjang umur, berkenanlah para pejuang di medan laga sedikit menahan diri. Tak buruk kiranya untuk sejenak mengingat “nasihat sabar” dari guru sekolah dulu.

Selagi api masih dilawan dengan api, kebakaran tak bakal mereda. Jikalau nyawa dituntut dengan pembunuhan, maka kehidupan sebentar lagi bakal bersayonara.

Tetap waras, solidaritas!

 

Baca Juga: Jangan Salah Paham: Pembakaran Fasilitas Umum Itu Ulah Oknum, Cuma Ingin Rakyat Pecah Belah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *