The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI

The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI

Opini publik merupakan senjata strategis dalam arena politik modern, sebagaimana diungkapkan dalam karya Edward Bernays, Crystallizing Public Opinion. Teknik persuasi dan retorika yang sistematis mampu mengkristalkan pandangan masyarakat, membentuk opini yang mendukung atau menolak suatu kebijakan. Dalam konteks revisi UU TNI, narasi dwifungsi yang tersembunyi bukan hanya soal penyusunan aturan, melainkan juga soal propaganda yang sengaja dibangun untuk memengaruhi persepsi publik. Perubahan diksi yang menggantikan istilah “setelah mengundurkan diri atau pensiun” dengan “prajurit aktif” telah memicu perdebatan sengit. Singkatnya, perang sunyi ini adalah pertarungan propaganda yang mengaburkan batas antara peran militer dan administrasi sipil.

Ambiguitas Dwifungsi yang Mengaburkan

Strategi komunikasi modern memanfaatkan simbol dan metafora untuk menyampaikan pesan secara halus namun efektif. Revisi UU TNI menggunakan retorika hukum yang menggabungkan referensi normatif dengan unsur emosional guna menciptakan narasi “dwifungsi” yang ambigu. Propaganda tersebut mengklaim bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan strategis lembaga sipil hanya sebatas langkah optimalisasi sumber daya militer. Namun, udang dibalik batu dari retorika itu adalah upaya mengaburkan prinsip pemisahan militer dan administrasi sipil. Lagi-lagi propaganda ini sukses membikin opini publik yang cenderung mendukung kebijakan meskipun terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam ranah hukum, legitimasi sebuah kebijakan tidak hanya diukur dari kekuatan retorisnya, tetapi juga dari kesesuaiannya dengan prinsip konstitusional. Revisi Pasal 47 UU TNI, yang kini mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan strategis di lembaga non-militer, telah menuai kritik bahwa kebijakan tersebut menyimpang dari norma supremasi sipil. Propaganda ini memadukan fakta normatif dengan teknik persuasi untuk menciptakan citra modernisasi. Namun, diubahnya diksi ini menimbulkan ambiguitas yang berpotensi mengaburkan batasan peran antara militer dan birokrasi sipil. Oleh karena itu, propaganda wacana ini harus dievaluasi secara kritis agar tidak mengorbankan prinsip tata kelola pemerintahan yang transparan.

Mencla-Mencle Soal Dwinfungsi TNI

Pemerintah bahu membahu untuk memproduksi anggapan bahwa revisi UU TNI tidak mengulangi praktik dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Salah satunya melalaui pernyataan Habiburokhman, ketua komisi III DPR RI. Menurutnya, prajurit TNI hanya boleh menduduki jabatan di lembaga yang memiliki relevansi dengan tugas pertahanan. Propaganda ini ingin menunjukkan bahwa kebijakan tersebut merupakan reformasi terukur, bukan sekadar pengulangan praktik masa lalu. Apakah benar begitu ? Lalu bagaimana dengan TNI yang mengurusi siber dan narkoba ? apakah kemudian itu ranah dari pertahanan. Rasanya kok omon-omon ini adalah bentuk dari strategi komunikasi untuk semakin menjustifikasi kebijakan yang kontroversial.

Dalam policy brief yang saya tulis, saya mencoba menyajikan perbandingan antara Pasal 47 UU TNI lama dan revisi tahun 2025. Dalam revisi terbaru, TNI dipersilahkan mengisi jabatan strategis yang lebih luas. Faktanya, para tentara diperbolehkan mengisi jabatan di lembaga Pengelola Perbatasan dan Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaga yang seharusnya bebas dari prajurit aktif. Secara politik dan hukum, perubahan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, propaganda yang terkandung dalam revisi ini perlu dikaji lebih mendalam agar tidak mengaburkan prinsip demokrasi.

Dari perspektif komunikasi massa, propaganda wacana yang disusun dalam revisi UU TNI menggunakan teknik pengulangan pesan yang konsisten. Setiap elemen retoris, mulai dari diksi hingga struktur kalimat, dirancang untuk menegaskan narasi modernisasi dan efisiensi yang menguntungkan. Teknik ini diadaptasi dari teori Bernays, yang tidak lain bertujuan menciptakan opini publik untuk mendukung kebijakan walaupun terdapat kontradiksi normatif. Terlebih bahwa ini semua telah dipadupadankan dengan referensi aturan hukum.

Dipermainkan Diksi

Retorika hukum yang ada di UU TNI sekarang, berupaya untuk menutupi ambiguitas melalui propaganda yang sistematis. Penggunaan istilah “prajurit aktif” secara konsisten bertujuan menciptakan kesan bahwa penempatan tersebut adalah gebrakan inovasi modern. Namun, lagi-lagi jika dimaknai lebih mendalam, retorika ini justrumengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan administrasi sipil. Strategi ini merupakan bagian dari propaganda wacana yang memprioritaskan legitimasi normatif daripada transparansi substantif. Oleh karena itu, evaluasi kritis terhadap retorika hukum menjadi kunci untuk mengungkap realitas di balik narasi yang disusun.

Dinamika politik juga memainkan peran penting dalam pertarungan wacana ini. Permainan diksi “prajurit aktif” adalah upaya untuk mengintegrasikan perwira TNI ke dalam jaringan kebijakan nasional. Propaganda politik ini menciptakan sinergi antara sektor militer dan lembaga pemerintahan yang sekaligus menimbulkan kekhawatiran adanya tumpang tindih kewenangan. Syahwat kekuasaan ini memperkuat posisi elit militer dalam pembuatan keputusan, meskipun secara normatif menentang prinsip supremasi sipil.

Dari segi sosiolingustik, bahasa yang digunakan dalam revisi UU TNI berperan sebagai alat propaganda untuk mengubah persepsi masyarakat. Misalanya dengan penggunaan istilah “prajurit aktif” dan “jabatan sipil” yang terus diulang. Retorika ini menciptakan wacana bahwa integrasi peran tersebut adalah bagian dari modernisasi dan efisiensi koordinasi nasional. Namun, pada hakikatnya, hal ini membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan dominasi militer dalam administrasi negara. Singkatnya, disadari atau tidak kita sedang di ninabobokan oleh wacana ini semua.

Perang Sunyi Wacana Dwifungsi TNI

“The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI” adalah tajuk dari tulisan ini. Keniscayaan antara pihak yang sepakat dan tidak sepakat merupakan bagian dari wacana ini semua. Kekuatan retoris dan referensi norma hukum berhasil mengkristalkan opini publik yang mendukung revisi UU TNI, meskipun terdapat kontradiksi mendasar dalam prinsip konstitusional. Penggunaan istilah “prajurit aktif” secara berulang telah mengaburkan batasan peran militer dan birokrasi sipil. Kekhawatiraan dominasi kekuasaan yang tidak seimbang. Oleh karena itu, evaluasi kritis dan pengawasan transparan harus terus ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan. Upaya itu setidaknya melalui perbaikan sudut pandang narasi dan mekanisme kontrol yang bertujuan mengembalikan kepercayaan publik.

Secara keseluruhan, pertempuran propaganda dalam wacana dwifungsi TNI merupakan “perang sunyi” yang terus berlangsung di ranah opini publik. Strategi komunikasi yang mengkristalkan narasi mendukung optimalisasi peran TNI di ruang sipil harus disikapi dengan hati-hati, mengingat potensi penyalahgunaan dan dominasi yang tersembunyi. Pandangan konsep dari Crystallizing Public Opinion dengan analisis normatif, politik, dan sosiolingustik memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana propaganda ini bekerja. Hasil menunjukkan bahwa meskipun pemerintah berupaya menampilkan kebijakan sebagai reformasi terukur, retorika yang digunakan justru menimbulkan kontradiksi fundamental. Oleh karena itu, dialog terbuka, pengawasan transparan, dan partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci untuk mengelola pertarungan wacana ini demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berintegritas.

Sebagai penutup, saya harus mengakui bahwa dalam sistem ketatanegaraan kita, perang sunyi propaganda wacana dwifungsi TNI telah menjadi keniscayaan yang sulit dihindari. Meskipun terdapat upaya-upaya retoris dan legal untuk mengukuhkan narasi modernisasi, realitasnya tetap menyiratkan dominasi kekuasaan militer yang perlahan mengikis prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Perubahan diksi dalam revisi Pasal 47 tidak hanya menciptakan ilusi reformasi, melainkan juga membuka celah bagi penyalahgunaan dan tumpang tindih peran yang tak terelakkan. Dalam bayang-bayang keputusasaan ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kepercayaan publik semakin tergerus oleh narasi-narasi yang dibangun atas dasar propaganda, sementara mekanisme pengawasan terus tertinggal dari ekspektasi ideal. Akhirnya, saya harus menyatakan dengan pesimisme penuh: meskipun retorika berusaha menata ulang tatanan pemerintahan, keniscayaan akan dominasi militer dalam ranah sipil tetap menjadi bayangan yang sulit diusir dari wajah demokrasi kita.

 

Penulis : Yohanes David Richard W

Editor : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga : Indonesia Cemas 2045: Kecerdasannya Buatan, Kebodohannya Asli!

Yohanes David Richard W

2 responses to “The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI”

  1. […] The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI […]

  2. […] Juga : The Silent War: Pertempuran Propaganda Wacana Dwifungsi TNI atau kolom esai […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *