Salah seorang teman saya pernah mengatakan bahwa Diego Milito merupakan pesepakbola yang berasal dari Brasil. Mendengar itu, saya menyanggah. Jelas-jelas ujung tombak Inter Milan itu berasal dari Argentina. Namun, usaha saya itu sia-sia. Ia bersikeras dengan pendiriannya bahwa Diego Milito itu orang Brasil, bukan Argentina. Awalnya, saya heran, kenapa ia begitu istiqomah dengan kesoktahuannya itu. Tapi semua itu terasa jelas ketika saya sadar bahwa ia senang betul dianggap âjagoâ oleh kawan-kawan yang lain, terlebih saat  sedang membahas sepak bola.
Kalian pasti sudah tidak asing dengan fenomena macam ini? Orang sok tahu rasanya hampir merata di berbagai penjuru dunia. Mereka, layaknya PNS, berdinas di mana-mana: tongkrongan, media sosial, bahkan di ranah yang lebih formal sekalipun. Yang paling sering dijumpai tentu di media sosial. Hampir setara dengan komentar bot judol,
komentar orang sok tahu menjamur tiada hentinya. Komentar seperti itu bisa Anda temui di berbagai tempat, mulai dari tayangan pertandingan sepak bola hingga debat politik dan akademik.
Mengapa Banyak Orang Sok Tahu?
Salah satu contoh nyata saya temui lewat cerita teman saya, sebut saja Amer (20). Ia merupakan seorang mahasiswa di kota Malang. Suatu hari, ia dengan bangga menyaksikan dosennya yang sedang dimintai tanggapan soal usul pemakzulan Gibran Rakabuming Raka oleh salah satu stasiun TV swasta. Tapi rasa bangganya itu pudar menjadi rasa jengkel sesaat setelah ia membuka kolom komentar di kanal YouTube mereka.
Sebagai seorang pakar, dosennya tentu tidak asal jawab dengan menyudutkan satu pihak tertentu, ia memberikan pandangan dengan sediplomatis mungkin. Namun, jawabannya justru menuai komentar negatif dari netizen. Tak ragu, bahkan ada yang menyematkan kata âbodohâ pada isi komentarnya.
Orang-orang sejenis itu agaknya memiliki hobi tersendiri untuk menghujat orang lain. Bahkan seringkali pengetahuan orang yang mereka hujani cacian itu lebih tinggi ketimbang diri mereka sendiri. Lalu, pertanyaannya: mengapa mereka gemar sekali mengumbar kesoktahuannya itu? Pakde Alfred Adler, seorang psikolog asal Austria, mengatakan, “Di balik setiap orang yang berperilaku seolah-olah dia lebih unggul daripada orang lain, kita dapat mencurigai adanya perasaan rendah diri yang membutuhkan upaya penyembunyian yang sangat khusus. Seolah-olah ia takut terlihat kecil dan harus berjalan dengan jari-jari kakinya untuk membuat dirinya tampak tinggi”.
Dugaan Pakde Adler, orang sok tahu kemungkinan besar kerap merasakan penolakan. Semisal ada seorang pria yang rentan kalah dalam urusan pekerjaan, percintaanâah, segala macam lah. Lalu, ketika ada ruang untuk sok tahu datang, maka pasti dianggapnya sebagai sebuah kesempatan. Sok tahu kerap menjebak. Orang yang baru membaca satu buku acap kali merasa bahwa dirinya setara dengan profesor di universitas ternama.
Sudah FOMO, Sok Tahu Pula
Terlebih jika dibenturkan dengan budaya FOMO (Fear Of Missing Out). Lengkap sudah. Konon, orang-orang FOMO tidak bisa melanjutkan hidup jika ketinggalan tren atau berita terkini, yang padahal mereka sendiri tak tahu esensi dari itu semua. Kalau orang sok tahu ini seperti pemabuk, maka FOMO adalah oplosan murahannya. Karena FOMO, orang merasa harus bicara dan mengikuti hal-hal yang sedang dibicarakan orang banyak. Sekalipun ia hanya membaca satu cuitan di X, tak ada kata lainâpokoknya harus nimbrung.
Ini yang coba dijelaskan oleh Pakde David Dunning dan Pakde Justin Kruger, peneliti psikologi di Cornell University. Mereka mengemukakan penelitian Efek Dunning-Kruger yang singkatnya mengungkapkan bahwa semakin bodoh seseorang, maka semakin yakin dirinya jauh dari kata tersebut.
Orang sok tahu terus nyerocos karena tidak adanya keahlian metakognisi dalam dirinya. Tidak adanya kemampuan untuk menyadari kesalahan dengan mengambil jarak, memperhatikan apa yang sedang ia lakukan, lalu menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu salah atau benar. Mereka hanya merasa âgatalâ dan ingin membuka seminar dadakan ketika ada satu topik yang ia rasa dirinya suka dan pahami betul. Padahal, seharusnya dirinya sendirilah yang dapat
mengukur sampai mana pemahaman atas topik tersebut, bukan asal main pidato saja.
Sok Tahu yang Merepotkan Banyak Orang
Apakah kalian sudah cukup muak? Sebentar, masih ada yang lebih parah. Orang sok tahu bukan hanya piawai dalam membuat orang jengkel, tapi juga lihai menyesatkan orangâyang kadang kali tak disadari oleh pelakunya. Misalnya, saat COVID-19 melanda, postingan berisi ajakan vaksin berseliweran. Tak jarang kita temui orang-orang yang entah siapa memberikan komentar dan membantah ajakan tersebut dengan beribu-ribu macam dalih. Keren? Tentu tidak. Vaksin itu bolak-balik mengalami uji coba laboratorium dan melewati meja-meja para pakar. Namun, orang-orang sok tahu dengan enteng mengatakan bahwa vaksin itu bohong.
Bahkan di lingkungan saya sendiri, masih banyak orang yang percaya pada anggapan-anggapan tersebut. Ketika
ditanya mengapa, tak ada alasan yang berlandaskan sainsâhanya âkatanyaâ dan âkatanya.â Inilah bukti bahwa kesoktahuan bukan hanya dapat merusak sebuah obrolan, tapi juga mampu menjerumuskan orang lain agar percaya pada anggapan tanpa landasan.
Apakah ini adalah hal baru? Oh, tentu tidak. Pada tahun 1999, bahkan para pakar di Amerika frustrasi pada orang-orang seperti ini. Mengutip dari The Onion, WASHINGTON, DCâMerasa frustrasi selama bertahun-tahun karena saran mereka disalahpahami, disalahartikan, atau diabaikan begitu saja. Lebih parahnya para pakar terkemuka Amerika di setiap bidang secara kolektif mengajukan pengunduran diri mereka. Kesoktahuan memang sudah menjadi masalah sejak dulu, bahkan bukan cuma mengganggu ketertiban media sosial dan tongkrongan, tapi sampai membuat pakar frustrasi dan memilih berhenti.
Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Wajar jika Om Tom Nichols dalam bukunya berjudul Matinya Kepakaran sangat jengkel dengan orang-orang sok tahu. Om Tom dengan gamblang mengatakan bahwa salah satu dalang di balik matinya kepakaran itu ya mereka-mereka ini. Sudah tidak tahu, tapi merasa tahu, dan malah bisa-bisa jadi tukang tipu. Hadeuh. Dari fakta-fakta yang sudah saya sebutkan, masihkah ada jejak yang mengatakan bahwa kesoktahuan itu gagah nan keren? Yang saya percaya saat ini, sifat sok tahu itu memalukan. Bila kita merasa keren, percayalah, di kemudian hari hal itu akan terasa memalukan ketika kita mengingatnya saat bengong di kamar mandi.
Sok tahu tidak ada keren-kerennya sama sekali. Sifat itu hanya pelindung karena kita takut mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa. Fenomena ini mengingatkan saya pada tulisan mendiang Rusdi Mathari. Dalam novelnya, ia menitipkan pesan pada sesosok laki-laki tua yang kerap disapa Cak Dlahom, “Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa bodoh. Padahal dua-duanya kamu tak punya.”
Penulis : Fathurrizqi Atmaja
Editor : Imam Gazi Al
terimakasih sudah membuka mata saya