Secuil lakon Indonesia bisa dimengerti dengan puisi. Kita kadang menaruh puisi di tepian saat ingin membuat album ingatan Indonesia. Teks pidato ataupun berita terkadang menjadi rujukan penting bila ingin mengetahui kejadian-kejadian masa lalu. Di situ, ada kabar, penjelasan, impian, dan bualan. Kita begitu beruntung masih dapat membaca ratusan teks pidato terpenting Soekarno, dari masa ke masa. Kita masih mudah menemukan kliping berita di pelbagai koran, majalah, tabloid, dan jurnal.
Pada misi tak terlalu penting, kita bertemu puisi agar mendapat penggenapan atas kisah-kisah berlatar 1928, 1945, 1955, 1965, 2014, dan 2025. Sekian puisi ikut mengiringi pelbagai kejadian (bersejarah) atau sekadar menjadi dokumentasi semasa untuk tertinggal dan terlupakan. Puisi-puisi itu terpanggil bagi orang-orang ingin mengetahui “sisi lain” ketimbang selalu mengikuti arus (besar) pengisahan Indonesia.
Membaca Puisi dan Melihat Indonesia
Jika kita membaca “Syair Sang Lapar” gubahan F Rahardi (1975). Pada masa 1970-an, Soeharto tampil sebagai penguasa berwibawa seolah bakal menjadi penentu kemuliaan Indonesia. Ia telah membuktikan pengabadian dan pengorbanan untuk berkuasa. Di pidato-pidato resmi atau ucapan di depan para wartawan, Soeharto biasa mengimpikan Indonesia makmur, maju, dan kuat.
Indonesia tak sekadar kata-kata pilihan rezim untuk melunakkan jutaan orang. Soeharto tampak santun dan bijak dalam mengurusi Indonesia meski ada pihak-pihak curiga atas represi dan ilusi yang diadakan rezim Orde Baru. Penguasa itu merasa malang bila saja Indonesia itu miskin, bodoh, kolot, dan minder. Ia memerlukan pidato dan kebijakan-kebijakan menimbulkan seribu persen pujian demi Indonesia berbeda dari masa kolonial dan revolusi.
(1)
F Rahardi menulis Indonesia belum makmur, berbeda dari pidato-pidato mengecoh khas penguasa. Kita mengingat lagi Indonesia masa 1970-an: seorang tukang becak mendengkur/ di mulut gang/ seorang lonte yang melarat/ beraksi di dekat tikungan/ kuli-kuli yang hitam itu/ menggosok-gosokkan tangannya/ pada adukan semen/ mandor-mandor yang gendut itu/ bertolak pinggang di depan gudang/ langit gemuruh/ debu-debu terangkat ke atas/ suara-suara yang keras dan lantang itu/ padam/ bertindih-tindihan dengan suara truk/ bertumbuk-tumbukan dengan bunyi pabrik/ sang lapar dengan hati-hati sekali/ menyelinap/ dan masuk ke dalam kantong/ para pencari puntung/ sang lapar mendeham berkali-kali/ menggeliat lalu menguap/ dan mendengkur di bangku stanplat/ di los pasar bertingkat itu/ sang lapar cape/ dan perlu beristirahat/ sejenak/ di emper toko.
Kita membaca Indonesia belum sejahtera. Indonesia tampak tak indah. Indonesia itu bekerja dengan penghasilan kecil. Indonesia dalam kotor, lelah, kecut, lusuh, dan jorok. Pada masa 1970-an, Soeharto memiliki belasan menteri untuk bertanggung jawab dalam memajukan dan memuliakan Indoensia. Mereka biasa mendapat petunjuk dari penguasa. Pada suatu masa, mereka wajib berpedoman GBHN. Di puisi, kita menuduh presiden dan para menteri terlalu sibuk yang berakibat sulit mengatasi masalah-masalah ditanggung tukang becak, lonte, kuli, dan lain-lain. Mereka dalam lakon lapar saat Indonesia sedang dipidatokan mendapat tepuk tangan dan seribu pemberitaan.
(2)
Pada 1985, F Rahardi menggubah puisi berjudul “Jimat”. Ia mengerti pembangunan nasional makin mengandung dusta dan ragu. Soeharto tetap saja menjadi bagian dari pembangunan nasional sebagai “lagu paling merdu” dan para menteri tak bosan-bosan mengucap pembangunan nasional sebagai kebenaran bersumber takdir.
F Rahardi menggubah puisi terbaca sebagai dokumentasi bagi kita yang sedang berupaya mengingat masa lalu: Di masa pembangunan ini, jimat tetap pegang/ peranan/ Keris jadi komoditas laris, batu akik makin/ menarik/ Kuku macan dan taring beruang ramai/ diperdagangkan/ Kepala-kepala kerbau dipangkas dari lehernya/ dan ditanam saat peletakan batu pertama/ sebuah proyek bangunan/ Jimat memang tetap penting dan perlu dijaga/ kelestariannya/ Sebagai warisan budaya bangsa yang sangat/ berharga/ Jimat yang baik mahal harganya/ Batu akik sebesar telur kadal/ Asal keramat dan punya khasiat/ Harganya bisa sama dengan sebuah SD Inpres/ Keris karatan dari kuburan/ Kalau tuahnya besar/ Harganya bisa cukup untuk mengongkosi/ Lima orang naik haji. Puisi itu “komedi”. Indonesia dalam lakon pembangunan nasional mengabaikan rasionalitas. Indonesia dalam kekuasaan Soeharto masih memerlukan jimat-jimat agar segala pamrih dalam terwujud. Jimat-jimat itu tak terkandung dalam Pancasila atau UUD 1945.
(3)
Cuilan-cuilan Indonesia masa lalu terus terbaca dalam puisi-puisi gubahan F Rahardi. Pada abad XXI, jumlah pembaca ratusan puisi persembahan F Rahardi mungkin kaum tua saja. Orang sempat bertemu dan membaca puisi di buku berjudul Catatan Harian Sang Koruptor (1985) bakal mudah tertawa, marah, dan menangis. Puisi-puisi mendekatkan kita dengan Indonesia dalam cengkeraman orang-orang bernafsu kekuasaan dan uang.
Kita membaca puisi berjudul “Rapar Para Birokrat”. Puisi menguak ironi. F Rahardi menulis: (gedung/ graha birokratia plaza/ selasa)// selusin kambing jantan/ berderet/ nampang di/ atas kursi/ ruang sidang/ bopeng-bopengnya rapat tertutup jas/ lehernya erat dijerat dasi/ sepuluh truk rumput/ kubongkar dan kuabur/ di meja mereka/ kambing-kambing itu mengembik/ dan/ bergoyang kesenangan. Kita berimajinasi sidang orang-orang terhormat dan terpenting demi kemajuan Indonesia. Mereka mengaku penentu pembangunan nasional. Puisi itu membuka aib-aib dalam kerja-kerja kaum legislatif dan eksekutif di arus pembesaran Orde Baru.
(4)
Ingatan atas cuilan-cuilan Indonesia kita akhir dengan membaca puisi gubahan F Rahardi (1997) berjudul “Indonesiakah Kau”. Puisi dari masa lalu, bukan puisi bermaksud membekali kita membaca dan menilai Indonesia abad XXI. Puisi mengandung kritik keras dan ejekan telak: kau yang pidato-pidato tetapi/ bebek tetapi beo dan paruhmu/ berpeluru padahal rakyat yang cacing/ sekadar lumpur becek sekadar banjir/ dan hanyut dari comberan ke comberan/ Indonesiakah kau yang membangun dan/ terus membangun tetapi badak/ dan cula-culamu buldoser kadang-kadang/ panser padahal rakyat / tikus-tikus tidak lalat tidak kecoak… Kita diajak mengerti Indonesia sedang memburuk dan amburadul. Kita pun mengingat penguasa besar dan elite di Indonesia berada di babak akhir akibat segala salah, dusta, dan impian terlalu muluk.
Kita sekadar membaca puisi gubahan F Rahardi. Puisi lama menguak cuilan-cuilan Indonesia. Kita membaca sambil memainkan ingatan-ingatan. Pembaca berhak menanti puisi-puisi baru sambil mengikuti celotehan F Rahardi di media sosial. Ia masih hidup dan terus membuat pengisahan Indonesia, berbeda dari pidato-pidato penguasa, omongan-omongan kaum legislatif, dan bualan-bualan kaum modal. Begitu.