Mendambakan Hidup Slow Living di Desa Bendoasri Rejoso

Mendambakan Hidup Slow Living di Desa Bendoasri Rejoso

Pekan terakhir di tahun 2024 menyisakan kenangan yang cukup mengesankan. Maklumnya orang-orang akan memetakan: apa tujuan atau goals yang harus tercapai di tahun 2025 nanti. Namun, saya berbeda. Semenjak mengunjungi Desa Bendoasri yang ada di Kecamatan Rejoso, Nganjuk ini, saya lantas mendambakan kehidupan slow living saat tua nanti di sana. 

Tepatnya pada hari Jumat, (27/12/2024) saya bersama kawan saya dari Gresik berangkat ke Bendoasri. Saya mendapat kabar bahwa beberapa mahasiswa Unair tengah melaksanakan program pengabdian masyarakat di sana. Karena itulah, saya menikmati masa libur saya untuk menjelajah desa paling utara di Nganjuk itu. Berbatasan dengan Kecamatan Saradan, Madiun.

Jalan makadam jadi penghubung Desa Bendoasri Rejoso

Panas terik cukup menyengat di siang itu. Butuh waktu sekitar satu sampai dua jam saya hingga bisa sampai ke Desa Bendoasri. Rute yang akan dilewati pun, saya belum tahu pasti. Yang jelas, pastinya tidak lebih baik dari jalan paving yang ada di depan rumah saya. 

Setelah satu jam berkendara, saya akhirnya sampai di perbatasan desa. Tapi perjalanan terhenti sejenak. Saya cukup bimbang apakah rute yang dilalui ini benar. Sebab sedari awal perjalanan, saya hanya mengandalkan google maps untuk sampai di titik itu. Tidak ada sinyal pula membuat saya ragu. 

Setelah memastikan plang yang tertulis “Bendoasri: 2KM” saya akhirnya agak bisa bernafas lega. Dalam artian, jalan ini sudah benar. Namun, jarak yang tertulis membuat saya berpikir ulang: apa saya akan benar-benar menyusuri jalan makadam tepat di depan mata ini dengan jarak dua kilometer?

Jalan makadam jadi penghubung Desa Bendoasri (Nyangkem.id/Ridhoi)
Jalan makadam jadi penghubung Desa Bendoasri (Nyangkem.id/Ridhoi)

Dengan yakin dan berdoa, semoga saja motor saya ini tidak mengalami hal serius. Saya dan kawan-kawan saya melanjutkan perjalanan. Rupanya, jalan makadam hanya beberapa meter saja. Sisanya, jalanan tanah yang agak becek akibat hujan semalam. Dua jam waktu tempuh, akhirnya sampai di Desa Bendoasri. 

Menikmati slow living di Desa Bendoasri, desa paling ujung di Rejoso Nganjuk

Bermalam di Desa Bendoasri cukup mengasyikkan. Meski tak ada jaringan internet, tapi saya benar-benar menikmati suasana yang ndeso banget. Sebab di desa ini hanya dikelilingi oleh hutan belantara yang cukup lebat. Sisanya, kebun dan sawah milik warga desa.

Saat itu, agenda panitia pengabdian adalah penutupan. Saya amati, hampir semua warga desa sudah mencapai di titik Financial Freedom. Saya ragu ketika mengamati rumah-rumah warga yang banyak memiliki mobil. Padahal, desa itu adalah desa paling ujung di Kecamatan Rejoso. Perlu menempuh sejauh 22 kilometer hingga bisa sampai di pusat Kota Nganjuk. 

Yang jelas, warga Desa Bendoasri sepertinya sudah cukup puas dengan kehidupan yang slow living di sana. Seperti yang dikatakan oleh salah satu warga desa yang saya temui. Di pagi hari, ketika saya berjalan-jalan menikmati udara, saya mampir ke salah satu rumah warga. 

“Di desa ini, meski pencahariannya hanya sebatas petani, tapi kebanyakan sudah punya mobil,” ujar pria paruh baya yang saya temui itu. 

Porang jadi salah satu penyokong ekonomi terbesar di Desa Bendoasri

Sembari menikmati secangkir kopi yang disuguhkan, saya mencoba mengobrol lebih dalam dengan pria itu. Rupanya, porang adalah salah satu penyokong ekonomi paling besar di Desa Bendoasri ini. 

Dalam setahun ketika panen, porang akan jadi incaran pabrik-pabrik. Jadi bahkan hasil panen itu sudah laku terjual sebelum hasilnya dipanen. Desa itu jadi salah satu desa pemasok porang terbaik, dari wilayah lereng Gunung Pandan itu.

“Kalau sekali panen, gampangnya hasil bersih udah bisa dipakai buat beli mobil, Mas,” ungkap pria itu. 

Saya tidak begitu tahu soal porang ini. Sebab di desa saya, warganya hanya menanam padi dan jagung. Tapi ternyata di Desa Bendoasri ini juga menanam padi dan jagung saat musim hujan. Jadi, warga desanya masih punya hasil tambahan yang bisa dijual atau untuk kebutuhan sehari-hari. 

“Seringnya kalau beras, sebagian dikonsumsi sendiri. Dikirim ke anak-anak yang merantau,” tambahnya. 

Desa Bendoasri adalah desa pelarian pada zaman kolonial

Pria itu juga bercerita sedikit soal sejarah dari Desa Bendoasri ini. Yang saya tangkap dari ceritanya, desa ini dulunya adalah markas persembunyian pribumi dari kejaran koloni Belanda. 

Kebanyakan warga desa yang sudah menginjak remaja akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan. Atau ada pula yang menetap. Tapi, mereka yang sudah dewasa atau masuk ke usia senja, akan menghabiskan masa tuanya di Desa Bendoasri ini.

Saya berpikir jika keseharian di ladang atau berkebun sebenarnya tidak cukup buruk. Jauh dari kota, dan tinggal di desa terpencil. Tak merasakan secepat apa orang-orang menjalani hidup dan bekerja. Berbanding terbalik saat saya merantau di Surabaya. Rasanya, kehidupan di Desa Bendoasri ini jauh lebih baik. Apalagi untuk menghabiskan masa tua nanti. 

Penulis: Muhammad Ridhoi

BACA JUGA: Masa Silam yang Mengendap di Terminal Anjuk Ladang

Muhammad Ridhoi

One response to “Mendambakan Hidup Slow Living di Desa Bendoasri Rejoso”

  1. […] BACA JUGA: Mendambakan Hidup Slow Living di Desa Bendoasri Rejoso […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *