Foto Komunitas BMTH Surabaya

Potret Komunitas BMTH Surabaya: Dari Teman Ngonser Musik, Jadi Komunitas yang Asik

Bring Me The Horizon adalah sebuah band yang mendobrak batasan zona nyaman. Musik mereka selalu bertransformasi dari satu album ke album yang lain. Dari deathcore ke metalcore. Lalu menjelajah elektronik pop industrial hingga balada eksperimental. Bagi sebagian penggemar garis keras, mungkin perubahan ini mengecewakan. Namun bagi yang lainnya, ini justru menjadi bukti bahwa grup band rock asal inggris ini tak hanya mencoba relevan dengan zaman. Mereka juga berani menawarkan segala bentuk kreativitas. Terlebih dalam hal bermusik.

Pendengar musik BMTH bisa saja mencapai ratusan juta di seluruh dunia. Uniknya, ada sekelompok orang yang memutuskan untuk tak sekadar jadi pendengarnya saja. Mereka juga saling berbagi, merangkul satu sama lain dalam sebuah komunitas bernama BMTH Surabaya. Di kota sebesar Surabaya, ruang untuk pendengar musik keras memang tidak selalu tersedia. Konsernya pun juga bisa dihitung jari.

Maka dari itu, kehadiran komunitas seperti BMTH Surabaya bagaikan oase tersendiri. Sebuah ruang alternatif tempat di mana para penggemar BMTH dapat diwadahi. Termasuk Susilo (23), seorang mahasiswa yang awalnya hanya iseng ingin kenal band favoritnya, tetapi justru menemukan circle yang tak ia duga sebelumnya. Dalam sebuah obrolan ringan pada hari Kamis (17/07/2025), Susilo mengisahkan bagaimana ia mengenal grup band BMTH dan perjumpaannya dengan komunitas BMTH Surabaya.

Titik Awal Kecintaan pada BMTH

Perkenalan Susilo dengan band Bring Me The Horizon dimulai pada masa awal kuliahnya. Ia tidak serta-merta mengenal semua lagu, semua personel, atau sejarah band tersebut. Tetapi semuanya berubah ketika ia pertama kali mendengar lagu “Drown”. Lagu itu menjadi pintu masuk yang membawanya menelusuri satu per satu katalog album BMTH. Mulai album Count Your Blessings, hingga album teranyar Post Human: Nex Gen.

Menurut Susilo, hal yang membuatnya bertahan sebagai pendengar BMTH bukan hanya musiknya yang terus berevolusi. Tapi juga konsistensi band ini dalam menyampaikan pesannya melalui berbagai elemen. “Dari logo, cover album, konsep panggung konser, sampai style fashion para personelnya. Semua perubahan itu bawa pesan tersendiri,” ungkap Susilo.

Kecintaan itu berlanjut hingga ke ranah akademis. Di saat mahasiswa lain sibuk mencari topik skripsi yang “aman”, Susilo mantap menjadikan grup band BMTH sebagai objek penelitiannya. “Waktu itu ke-trigger sama perkataan dosenku. Dosenku pernah ngasih saran buat bikin penelitian yang dekat dengan dirimu. Karena aku seneng BMTH, yoweslah aku ambil objek BMTH ae. Nggak nyangka ternyata bisa sepusing ini,” kenangnya.

Minder Gabung BMTH Surabaya Karena Paling Junior

Segalanya berubah ketika suatu hari di bulan Mei 2025, Susilo melihat postingan Instagram Story yang menandai akun @bmth_surabaya. Perasaan kepo mendorongnya membuka profil tersebut, melihat satu demi satu postingan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah link. Rupanya link tersebut mengarahkannya pada grup WhatsApp komunitas BMTH Surabaya. “Awalnya iseng lah aku. Pikirku nggak ada salahnya buat join grup. Aku di sana pun cuma sekedar jadi sider (silent reader) aja,” ujar Susilo.

Saat pertama kali bergabung, grup WhatsApp tersebut berisikan sekitar 100 anggota. Ia tidak mengenal satu pun dari mereka. Meskipun demikian, Susilo mendapat pesan sambutan hangat dari para anggota komunitas. Ia yang kala itu masih ragu, langsung merasa diterima dengan baik. Susilo mengaku sempat minder sebab mayoritas anggota ternyata berumur lebih tua dari dirinya. Ada yang sudah bekerja, dan ada pula yang sudah memiliki anak.

“Aku sempat ngerasa minder, karena disana aku yang paling junior dibanding yang lain. Meski ada sih yang masih SMA. Takut nggak bisa ngikutin obrolannya aja,” ucap Susilo dengan nada pelan.

Tapi kekhawatiran itu segera sirna. Para anggota komunitas selalu menegaskan bahwa semua anggota adalah sama. Grup WhatsApp tersebut pun rupanya bukan hanya sekadar jadi forum diskusi musik BMTH semata. Melainkan banyak hal-hal random yang jadi topik pembahasan seru. Ada yang curhat, ngejokes, atau ngobrolin sesuatu yang receh. Dari pembahasan tentang konser, anak kembar sang vokalis–Oliver Sykes, sampai band-band lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan band BMTH.

Kesan Nongkrong Pertama dengan BMTH Surabaya 

Titik balik kedekatan Susilo dengan komunitas BMTH Surabaya terjadi saat ia pertama kali ikut nongkrong bersama. Saat itu, ia mendadak di-mention oleh salah satu anggota komunitas untuk datang ke tempat ngopi yang cozy di Surabaya. Rasa ragu dan bimbang menghampiri dirinya. Lantaran ia tidak kenal anggota komunitas tersebut secara langsung. Namun, demi rasa ingin kenal lebih jauh, ia nekat datang.

Sesampainya di lokasi, rupanya tempat itu sudah cukup ramai. Dengan sedikit canggung, Susilo menghampiri seseorang yang mengenakan kaos BMTH kala itu. “Ternyata kok beneran, dia salah satu anggota (komunitas) juga,” kata Susilo sambil tertawa. Dari sanalah semua mencair. Susilo yang awalnya mengaku introvert, langsung disambut dengan keramahtamahan para anggota komunitas tersebut.

Setelah pertemuan pertama itu, Susilo pun menjadi rutin di-mention tiap kali ada ajakan nongkrong berikutnya. Ia bahkan pernah menonton konser grup band Saosin di Surabaya, bersama para anggota komunitas BMTH Surabaya lainnya. Meskipun terdengar unik, cukup membuktikan bahwa mereka tak sekadar fans BMTH, tetapi juga pencinta musik secara luas.

Dari Teman Ngonser Musik, Jadi Komunitas yang Asik

Menariknya, komunitas BMTH Surabaya ini tidak dibentuk karena ingin tampil keren atau eksklusif. Awalnya, hanya sekumpulan orang yang ingin cari teman nonton konser BMTH di Jakarta, pada pertengahan tahun 2024. Terinspirasi oleh komunitas BMTH daerah lain, seperti halnya BMTH Bandung. Sekumpulan orang ini akhirnya membentuk komunitas regional Surabaya bernama BMTH Surabaya.

Kini, komunitas BMTH Surabaya berisikan 133 anggota dan akan terus bertambah. Anggotanya pun datang dari berbagai latar belakang. Tidak hanya dari wilayah Surabaya saja, ada yang dari Mojokerto, hingga dari Bumi Pasundan. Dan uniknya, salah seorang wanita–yang juga anggota komunitas–mengaku juga penggemar musik kpop dan pop melankolis. Kendati demikian, tak ada seorang pun yang mengolok-olok ataupun mengucilkannya. Hal ini menggambarkan betapa komunitas BMTH Surabaya sangat menjunjung tinggi nilai keberagaman.

Susilo juga menceritakan ada satu anggota komunitas yang merupakan seorang desainer. Dengan tangan terampilnya, ia mendesain sebuah kaos jersey fanmade. Kemudian karyanya dipakai oleh salah seorang gitaris band idola. Hal ini tentunya jadi sebuah kebanggaan yang tak ternilai, bagi diri sang desainer, juga bagi komunitas BMTH Surabaya itu sendiri.

Tak hanya itu, komunitas BMTH Surabaya juga beberapa kali mengadakan giveaway. Tanpa pungutan biaya, tanpa ada patungan wajib. Semua inisiatif dilakukan atas dasar kesenangan dan kebanggaan. “Bener-bener pure buat seneng-seneng bareng,” ungkap Susilo. Meski Susilo terhitung belum lama bergabung komunitas ini, ia mengaku betah dan belum ada alasan untuk meninggalkan BMTH Surabaya.

BMTH Surabaya: Bukti Musik Bisa Mempersatukan

Komunitas BMTH Surabaya bukan sekadar tempat untuk mengultuskan satu band saja. Ia adalah contoh kecil tentang bagaimana fandom bisa menjadi ruang aman. Tentang bagaimana sekelompok orang asing, bisa menjadi teman nongkrong dan ngonser yang asyik. Berkecimpung dalam obrolan yang tak hanya seputar keren-kerenan belaka.

Dalam dunia yang semakin terpecah oleh algoritma, ruang-ruang semacam ini punya nilai penting tersendiri. Bukan karena mereka yang paling tahu sejarah band ini dari zaman baheula. Tetapi karena mereka membuat orang lain merasa diterima. Bahkan untuk orang yang baru pertama kali merasakan rasanya bergabung dalam sebuah komunitas seperti Susilo.

Mungkin, band BMTH sendiri tidak tahu bahwa band mereka telah melahirkan komunitas kecil ini. Sebuah komunitas yang jauh di sudut timur Pulau Jawa. Namun bagi para anggotanya, komunitas BMTH Surabaya adalah bukti bahwa musik bisa menyatukan banyak hal. Usia, latar belakang, pekerjaan, bahkan selera musik masing-masing. Disatukan dalam satu wadah yang bertabur keseruan dan kehangatan.

Karena sejatinya, musik tidak pernah benar-benar selesai di atas panggung konser semata. Ia akan terus hidup dan bertumbuh. Di obrolan grup WhatsApp, di beranda coffee shop, di sela kemacetan jalan, atau di balik earphone yang mati sebelah. Di sanalah musik akan menemukan tempatnya sendiri dalam ruang-ruang yang paling jujur.

 

Penulis: Alvindest Martial
Editor: Muhammad Ridhoi

 

Baca Juga: Nggak Semua yang Viral Itu Valid: Sebuah Pengakuan Dosa Seorang Buzzer atau kolom reportase lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *