Jouska Marhun – Cerpen karya Muhammad Faisal Akbar

Jouska Marhun – Cerpen karya Muhammad Faisal Akbar

Ketika itu Marhun tengah melendeh lesu di bangku taman, yang terletak tak jauh dari perancah bambu yang menopang sebuah bangunan anyar milik pemerintah imbas dari kabinet baru yang membuncit. Pandangannya dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Ini adalah rutinitas yang Marhun lakukan nyaris sepekan terakhir. Di situ, sepulang kerja, Marhun biasa menghabiskan senja yang perlahan pecah, menyelisik kumpulan manusia yang risau berlalu-lalang.

Marhun melirik lanyard di batang lehernya yang pucat dan berpeluh akibat hawa lembap yang bergelayut. Sejurus kemudian, sebagaimana yang sudah-sudah, benda itu melompat dengan sendirinya, mengitari ubun-ubunnya sekian detik, berkelap-kelip laksana bintang di ufuk, sebelum mengingatkan soal hari-hari yang terlewati begitu saja, tanpa aba-aba. Marhun tak keliru, benda itu betul-betul membisikkan sederet kata dengan makna yang disajikan khusus untuknya.

Marhun baru tersadar, jam sudah menunjukkan pukul enam lewat dan gerbang perkantoran sudah dihinggapi manusia yang hendak bertolak menuju rumah. Sedangkan Marhun, yang menyepi di bangku taman tanpa menunaikan kewajibannya mencetak sidik jari di mesin absensi, justru terjebak dan bergelut dengan lanyard keparat itu lagi. Marhun mengumpat dalam diam, berusaha menyuruhnya untuk duduk tenang di pangkuan.

“Tidakkah kamu ingin berenang di halte?” benda itu berkata lirih, “di situ terdapat lautan anyir yang menggenang.”

“Caranya?” tanya Marhun singkat.

“Tidak usah berpura-pura bodoh.”

Marhun tak serta-merta menanggapi cacian itu. Namun, otaknya langsung setuju. Lautan itu juga ia lihat beberapa hari ini di stasiun transit bahkan di kolong jembatan yang terhampar di seberang kantornya. Marhun sadar, ia bisa dengan mudahnya menyelam di antara tiang penyangga dan pengeras suara, atau mengapung lunglai di atas kanopi besi. Tapi, kata Marhun pada benda berwarna biru itu, tubuhnya begitu letih hingga rasanya sukar digerakkan.

Langkah berikutnya, Marhun menangkap lanyard itu dengan satu entakan kuat di kaki, yang menyebabkan jambulnya berantakan, lalu menaruhnya di alas bangku kayu berpelitur, persis di sebelah buku East of Eden yang baru sepertiga terbaca dan sebungkus rokok yang masih terkemas rapi. Lanyard itu pulas dan Marhun iri mendengar dengkurannya, suatu hal yang ia dambakan sebulan terakhir.

Batang rokok pertama telah Marhun bakar. Di antara asap yang menguar, Marhun kembali mengenang perkenalannya dengan lanyard itu yang serbaganjil, mirip dengan polah tingkah yang terjadi di lingkungan sekitar. Tepat satu bulan dan tujuh hari lalu, Marhun berhasil mendapat pekerjaan di ibu kota setelah melalui wawancara kerja yang berbelit karena keterbatasan akses serta rentetan persyaratan yang masih membekas di ingatannya.

Pekerjaan itu, yang berlokasi di jantung kota dan selalu menuntut sebuah tab untuk ditenteng ke mana pun Marhun pergi, agaknya merupakan impian terbesar kebanyakan orang meski hanya diganjar gaji pas-pasan dengan beban kerja selangit. Sebulan belakangan, Marhun ditugaskan untuk mengurus gurita bisnis kliennya dengan menganalisis sepak terjang para kompetitor, kelas kakap maupun kelas teri, bermodalkan keterampilan dan latar belakangnya di bidang hukum. Dan dari situlah awal mula lanyard itu menggantung di dada Marhun.

Sebetulnya, itu bukanlah pekerjaan yang Marhun idam-idamkan dan justru menimbulkan perdebatan lain, yakni pola biner antara pemenuhan kebutuhan ekonomi atau kebutuhan akan makna yang lebih bersifat eksistensial. Kendatipun begitu, pekerjaan itu cukup untuk menyumpal mulut para tetangga dan sanak saudara yang saban hari selalu bergunjing soal pilihannya yang dinilai terlampau bebal.

“Lihat dia, sudah sarjana, tapi malah ke ladang.”

Itu sangat bertentangan dengan tekad Marhun yang kadung bulat, sebuah tekad yang menetas pertama kali saat ia mengetahui bahwa orang tuanya menjual sebagian hektar tanah untuk biaya pendidikannya di perguruan tinggi. Tujuan Marhun sebenarnya sederhana: lulus kuliah, pulang ke rumah, lalu menggarap ladang yang tersisa sekaligus menyediakan bantuan advokasi bagi para petani yang berkonflik dengan perusahaan yang kerap melakukan ekspansi, dan bukan sebaliknya.

Tapi apa daya. Marhun, yang seumur-umur dibesarkan dalam keluarga bersahaja yang dapat hidup mandiri dari sejumlah alat bajak dan petak tanah yang subur, membutuhkan pekerjaan itu demi menyokong sekolah keenam adiknya, pengobatan sang ayah di rumah sakit, melunasi utang di tengkulak yang sejak lama telah jatuh tempo, serta menambahi ongkos pernikahan para sepupu dan tetangga yang tak kunjung usai.

Marhun kembali mengulur pikirannya dengan batang rokok kedua. Selama lebih dari satu bulan, lanyard itu menjelma kawan setianya, menjadi tanda bahwa Marhun sudah patuh, dan dirinya tak sepenuhnya miliknya lagi. Maka, di sepanjang pekan yang melelahkan, benda tipis itu acapkali mendiktenya, memberi tahunya, bahkan mengomelinya. Sampai-sampai koleganya yang lebih senior turun tangan dengan menyumbang saran bijak demi kelancaran karier Marhun yang tergolong belia dan rentan.

“Anggap lanyard sialan itu seperti seorang ibu yang gusar pada anaknya,” kata mereka, “meski terus mencerocos, percayalah, ia sejatinya mengkhawatirkanmu.”

***

Di bangku taman itu, Marhun terus-menerus mempersoalkan wujud nyata dari waktu, sesuatu yang ia sebut kian terkikis oleh nyawanya sendiri. Belakangan ini, Marhun memang berulang kali melihat waktu yang memburu orang-orang itu, para manusia itu, termasuk dirinya. Tapi entah mengapa mereka tak memperhatikannya. Dan entah mengapa, hanya Marhun yang dapat memandangnya. Hatinya dipadati kegelisahan, berusaha untuk memperingatkan. Namun gagal.

“Mengapa mereka buta? Padahal, waktu ada di mana-mana, berpendaran di sekitar,” gumamnya.

Semakin Marhun menghayati eksistensinya, semakin Marhun yakin bahwa waktu adalah pembunuh khayali yang akan menyayatnya dengan sebilah pisau tumpul karatan. Peristiwa keji itu pun mulus seperti gugusan suasana yang lambat laun enyah dari memori. Ia pernah menatapnya, sang waktu, di seberang peron. Masih terbayang samar-samar olehnya wajah sang jagal yang menyeringai macam psikopat haus darah, seperti kelabang yang merayap dalam hening di atas papan reklame raksasa.

Itu adalah fenomena yang sangat janggal jika dibandingkan dengan yang ada di kampung Marhun yang asri, di sebuah desa yang beriringan dengan sungai panjang tempat dia biasa berendam dari siang hingga petang, yang menyebabkan separuh kulitnya matang. Marhun pun merindukan wangi alang-alang yang diterpa angin atau buah delima ranum yang ia makan selepas mengeringkan badan lalu bermain bola di lapangan berlumpur yang di sisi-sisinya ditumbuhi anyelir sebagai pembatas.

Malam telah singgah. Marhun lantas bergegas secepat kilat menuju warung kopi langganannya, satu-satunya tempat di mana dia tak menemukan mesin pembunuh itu. Arisna, nama warung kopi itu, beralamat cukup terpencil di pinggiran kota, hanya berjarak dua blok dari indekosnya yang tengik. Kondisinya rimbun sekaligus jorok, beratapkan seng dan dilumuri beraneka rupa coretan di dinding-dindingnya. Salah satu goresan favorit Marhun bertuliskan “Berantas Korupsi, Miskinkan Koruptor” yang juga santer terdengar di teve.

Mang Kigi, penjaga sekaligus pemilik Arisna, menyapa Marhun dengan santun. Di metropolitan ini, selain menjadi pesohor karena tampangnya yang rupawan, pria dari daerah pegunungan yang membuka bisnis kopi skala kecil merupakan hal lumrah. Perangainya penuh wibawa, dengan cambang halus di rahangnya yang kukuh. Nada bicaranya pun bergelombang, seolah-olah kerongkongannya memang dihuni ribuan biji kopi segar yang baru saja dipetik.

Tiap kali Marhun menyambangi Arisna, yang tampak di retinanya hanyalah ruang, dan tak ada waktu. Peraturannya jelas: Waktu dilarang masuk! Di Arisna, makhluk itu memang tak pernah tiba dan cukup untuk mengganti keberadaan desanya barang sesaat, menyulih kemurnian yang muskil diperoleh di kota ini. Marhun lantas melirik empat-lima orang yang tengah tersenyum sambil menyeruput kopinya dengan khidmat, layaknya camar yang mengudara di busut dekat balai desa.

Duduk di samping etalase yang disesaki mi instan, telur, dan berlapis-lapis roti, Marhun akhirnya menikmati hidupnya yang serbamarah sebulan belakangan. Ia bisa sedikit mengambil napas. Hal itulah yang mungkin membuatnya merasakan ketenangan. Ah, bukankah hidup itu hanyalah pencarian akan ketenangan? Bukankah nama lain rezeki adalah ketenangan?

“Di sini, di Arisna, waktu tidak akan merongrongmu,” ujar Mang Kigi seraya mengaduk teh manis hangat di hadapannya.

Kisah mengesankan Mang Kigi semasa hidupnya sontak terngiang di pangkal telinga Marhun. Semacam prosa yang indah. Tak bisa disangkal, Marhun sangat bersukacita ketika mendengar cerita-cerita yang tak melibatkan waktu di dalamnya. Atau bisa jadi Marhun merasa iri. Iri dengan orang-orang yang mampu mengendalikan dan sanggup berbalik menikam makhluk bengis itu.

“Tahukah kamu, apa yang membuat bahasa ibu kita, bahasa nasional kita, berbeda dari yang lain?” tanya Mang Kigi.

Marhun menyeruput kopinya sembari mengerutkan dahi.

“Pikir baik-baik, bahasa kita ini tidak menggunakan kata kerja yang menyertakan waktu di dalamnya,” papar Mang Kigi, “kata pulang, misalnya, akan menjadi seperti itu saat kamu melakukannya kemarin, saat ini, maupun besok.”

Mang Kigi menegaskan bahwa nenek moyang Marhun bukanlah orang-orang yang takut akan waktu. Para leluhurnya ditakdirkan untuk mengolah waktu menjadi bawahannya, menjadi budaknya yang paling loyal, hingga datang satu masa di mana keturunannya dipaksa untuk bersaing antarsesama, memproduksi standar-standar, dan tunduk pada sang waktu.

“Sepakat atau tidak, berleha-leha adalah budaya yang mengalami distorsi makna,” Mang Kigi menyambung kalimatnya, “akibatnya, orang-orang yang melakukannya langsung dicap musuh pembangunan dan kontraproduktif.”

Ada jeda. Denting gelas bersahutan dari berbagai penjuru Arisna. Mang Kigi kemudian mencuraikan perilaku dan kesadaran kolektif bangsa ini. Kata dia, tabiat manusia di negeri ini tak berakar dari sikap buru-buru, ditengarai dari pola hidupnya yang menuntut kualitas dan bukan kuantitas; menyingkirkan gulma, mengaliri air agar lahan gembur dan lunak, menenggala dengan jeli, memilih bibit bermutu, melakukan penyemaian, merawat dan melindunginya dari hama, sampai akhirnya panen. Dan seluruh proses itu tentu tak dapat diusik oleh sang waktu.

“Mereka, para leluhur kita, terbiasa menyelingi aktivitas dengan mengobrol satu sama lain, berkontemplasi, berpikir soal apa-apa yang ada di luar mereka.”

Marhun mengangguk ringan lantas berandai-andai, benarkah bahwa satu-satunya hal di tempat ini yang mustahil dibeli ialah waktu? Di kota ini, yang konon merupakan singgasana dari modernitas, ia mengelih segelintir orang yang berupaya menaklukkan makhluk kejam itu dengan beragam metode: menggunakan patwal untuk menerobos kemacetan, memakai asisten untuk merampungkan berkas pekerjaan yang menggunung, hingga menyogok pejabat demi kesinambungan megaproyek.

Namun demikian, berdasarkan yang Marhun saksikan pula, yang mereka terima tak lebih dari sekadar kehampaan bernama kematian. Ujung-ujungnya, makhluk itu akan melumat mereka sampai jadi serpihan. Akalnya tiba-tiba beterbangan ke segala arah, tak tahu tujuan. Tak lama berselang, Marhun berkelit dari isi sumsumnya, mencoba menghindar dari sengkarut yang menyeruak.

“Kita tidak bisa menampik eksistensi waktu,” kata Mang Kigi, “kita sendiri yang mesti menjinakkannya.”

Sesudahnya, Marhun kembali menoleh ke lanyard di saku kemeja. Benda pipih itu sekonyong-konyong melejit lalu mengambang di atas panci bubur yang hangat, menarik perhatian Marhun dengan ocehannya yang terdengar seperti solilokui filsuf tua di atas bukit temaram. Setelah itu, ia menyeret lengan Marhun keluar dari Arisna, menuju persimpangan jalan yang diliputi kegelisahan. Marhun sontak melemparkan pandangan ke sekeliling.

“Di kota ini, kita tidak dibayar untuk hal-hal yang kita sukai. Camkan ini: menjadi lugu akan menghancurkanmu berkeping-keping,” ucapan lanyard mungil itu seketika membebat telinganya, “di kota ini, waktu diubah menjadi materi.”

Lanyard itu menyinambungkan sabdanya, bertutur bahwa kota adalah kampung halaman dari rasa sepi. Di tempat yang kian membusuk ini, lanjutnya sebagaimana yang sudah-sudah, kesepian lahir dari rahim keramaian, menjadikan manusia senantiasa waspada terhadap sang waktu dan menepi dari dirinya sendiri lantas tersesat dalam labirin. Namun bila beruntung, walau kesempatannya hanya sebesar bija kuark sekalipun, manusia bisa merangsek keluar sebelum ajal menjemput.

“Kita tidak lagi bernapas di pekarangan rumah dan kamu harus belajar hidup menuruti sang waktu. Di sini, waktu bersemayam di antara mitos dan kenyataan.”

Marhun mengiyakan untuk yang ke-22.102.024 kalinya. Pergulatannya belum rampung.

Penulis: Muhammad Faisal Akbar

Muhammad Faisal Akbar

One response to “Jouska Marhun – Cerpen karya Muhammad Faisal Akbar”

  1. […] Baca Juga : Jouska Marhun – Cerpen karya Muhammad Faisal Akbar […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *