Kamar Ganti Nomor 0 – Cerpen Adnan Guntur

Kamar Ganti Nomor 0 – Cerpen Adnan Guntur

Aku tinggal di antara gumpalan debu bedak, wig terbakar, dan sisa-sisa cahaya yang tak lagi percaya pada panggung. Tidak ada pintu di kamar ganti ini. Hanya tirai merah tua yang sudah kehilangan fungsi warnanya. Tirai itu menggantung seperti bahasa yang dilupakan.

Di dinding, cermin besar telah pecah, tetapi potongan-potongannya tetap menempel, seolah enggan melepaskan wajah-wajah yang pernah berdiri di depannya. Aku lihat diriku sendiri—berkeping-keping.

Tubuhku telah menua. Tapi bukan karena usia. Ia menua karena pengulangan. Setiap malam aku membuka kotak make-up, menyapukan alas bedak pada pipi yang sudah tidak mengenal kulit. Lipstik patah yang kugunakan bukan lagi untuk mewarnai, tapi untuk mengingat siapa aku tadi malam.

“Aku Falstaff malam ini,” kataku satu malam, lalu tertawa. Tapi tidak ada penonton. Hanya rak mantel yang menggigil dan manekin tanpa kepala yang terus mengarah padaku.

Suatu hari, sepatu tap mulai berbicara. Ia mengetukkan dirinya di lantai, menyampaikan protesnya karena aku tidak pernah mengajaknya menari lagi. Di lain hari, kursi rias memintaku duduk lebih pelan. Ia merasa sudah cukup menderita menopang tubuh aktor-aktor yang memaksakan ekspresi.

Tiap benda menyimpan cerita. Benda-benda di sini bukan properti. Mereka saksi hidup. Mereka aktor cadangan.

Lemari tua berisik, menyimpan jas yang pernah dipakai seseorang yang terlalu percaya pada peran raja. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi jas itu masih harum parfum teater. Aromanya seperti kata-kata yang gagal dihafalkan.

Kamar ganti nomor 0 bukan bagian dari denah teater. Ia berada di celah antara panggung dan kenangan. Aku tidak ingat bagaimana aku tiba di sini. Mungkin karena aku terlalu dalam memahami tokoh-tokohku. Atau karena aku menolak kembali menjadi diriku sendiri.

Stanislavski bilang: “If you carry out your role truthfully, the role will carry you.”

Tapi tidak pernah disebut: akan dibawa ke mana?

Kadang aku dengar langkah kaki di koridor. Tapi suara itu seperti datang dari ingatan orang lain. Ada suara panggilan, ada nama-nama yang disebut. Tapi tak satu pun adalah namaku.

Aku pernah jadi Macbeth. Pernah jadi Estragon. Aku pernah jadi tokoh tanpa nama yang hanya tertulis sebagai “Lelaki di Sudut Kiri”. Tapi yang paling sering, aku jadi diriku yang pura-pura menjadi seseorang.

Dinding kamar ganti ini penuh coretan:

“Jangan lupa menangis di adegan kedua.”

Yang kedua, “Jangan menoleh ke kanan setelah monolog.”

“Jangan jatuh cinta pada lawan mainmu—lagi.”

Ada tanggal-tanggal. Tapi semuanya disilang. Waktu di sini hanyalah perulangan. Kalender yang tiap hari menyatakan hari yang sama: “Pementasan dimulai sebentar lagi.”

Suatu malam, aku temukan sehelai kertas naskah. Hanya satu halaman. Tulisannya samar, bekas terbakar di pinggir. Isinya:

> AKTOR:

Siapa aku malam ini?

TIRAI:

Tidak penting.

AKTOR:

Tapi aku butuh motivasi.

TIRAI:

Kami semua terbakar karena itu.

AKTOR:

Lalu untuk siapa aku bicara?

TIRAI:

Untuk dirimu yang tak pernah selesai.

 

Aku menyalin naskah itu berkali-kali. Lalu kukoyak. Lalu kutulis ulang. Lama-lama, aku hafal. Bahkan ketika tidur, bibirku menggumamkan dialog itu. Kadang saat bangun, aku menemukan suara itu masih terdengar dari balik dinding.

Aku mulai percaya bahwa kamar ini bukan ruang, tapi tubuh tokoh yang gagal menyelesaikan adegannya. Dan aku adalah denyut nadi yang tersesat.

Pernah ada perempuan datang. Mengenakan gaun hitam. Wajahnya kabur, seperti dilukis di atas uap kaca. Ia tidak bicara. Ia hanya menunjuk ke arah cermin pecah itu.

Di sana, aku lihat bayangan diriku… berusia dua puluh delapan. Waktu aku memainkan tokoh pertama dalam hidupku: Petruchio. Ia tertawa. Belum mengenal luka di antara sorotan lampu. Ia belum tahu bahwa setiap tepuk tangan akan membawa lubang baru di tubuhnya.

Aku ingin bicara pada dia, tapi perempuan itu sudah hilang. Dan pantulan itu memudar. Cermin kembali menjadi benda mati.

Tapi aku tidak bisa lagi tidur di kamar ini. Karena setiap kali memejamkan mata, tubuh-tubuh peran lamaku berdiri di sudut ruangan. Mereka tak bicara. Hanya berdiri. Menatap.

Mereka ingin tubuhku kembali. Mereka bilang aku terlalu lama meminjam mereka.

Lampu gantung di langit-langit kini berkedip seperti jantung. Ada suara radio tua menggumamkan fragmen drama yang tak selesai.

Aku mulai mendengar tepuk tangan. Bukan karena aku tampil. Tapi karena aku berhasil bertahan.

Ada malam-malam di mana aku hanya duduk di depan cermin, menempelkan serpihan kaca ke wajah. Mencoba menyusun wajah dari ribuan karakter yang pernah kucoba. Tapi tidak satu pun pas.

 

Kadang aku menulis nama-nama di dinding dengan lipstik:

> OTHELLO

WILLY LOMAN

TAMURA

AYAH DI MUSIM GUGUR

SI PENUNGGU DI AKHIR ADEGAN

 

Lalu aku bertanya pada kursi kosong di belakangku, “Yang mana aku?”

Dan kursi menjawab: “Yang tidak tertulis.”

Ada seorang teknisi datang. Rambutnya terbakar. Ia membawa jam tangan rusak dan berkata, “Waktumu habis sepuluh tahun lalu.”

Aku tanya: “Lalu kenapa aku masih di sini?”

Ia jawab: “Karena kamu terus menyebut namamu sebagai nama tokoh.”

Ia tinggalkan aku bersama setrika tua dan skrip kosong. Aku mengisi skrip itu dengan kata-kata dari benda-benda. Kalimat dari mantel. Monolog dari lampu gantung. Fragmen dialog dari debu.

Lama-lama, ceritanya terbentuk. Cerita tentang seorang aktor yang hidup di kamar ganti yang sudah tidak ada. Yang tubuhnya hanya bisa mengingat peran, bukan asalnya.

Aku sadar, mungkin aku bukan lagi manusia. Tapi ingatan dari teater yang terbakar.

Aku adalah ruang tunggu yang menolak melupakan panggung.

Aku mencoba keluar. Tapi lorong di luar kamar ganti selalu kembali ke sini. Seperti panggung yang menolak tutup tirai. Kadang aku melihat cahaya dari lubang kecil di dinding. Tapi cahaya itu bukan siang, bukan malam. Hanya kedipan dari penonton yang tidak pernah tidur.

Aku berteriak. Tapi suara yang keluar bukan suara manusia. Melainkan barisan naskah yang terbakar perlahan.

“Perankan ini!” kata sebuah suara. Aku tidak tahu dari mana.

Aku mencoba kembali menjadi diriku. Tapi siapa aku sebelum menjadi tokoh-tokoh itu? Aku tidak ingat. Tidak ada peran untuk “diri sendiri” di dalam naskah.

Hari ini, aku memakai jas dari tahun 1982. Wig dari pertunjukan Hamlet yang gagal. Aku berdiri di depan cermin yang telah kuberi nama: “Penonton Terakhir.”

Aku bicara:

“Selamat malam. Hari ini, aku akan memainkan… seseorang yang pernah percaya pada panggung.”

Tepuk tangan terdengar. Tapi bukan dari luar. Dari dalam tubuhku.

 

Aku membungkuk.

Menangis.

Aku tersenyum.

Aku runtuh.

 

Lampu padam.

Lalu menyala kembali.

Aku masih di sini.

 

Pertunjukan belum selesai.

 

Baca Juga : Satu Sentimeter dari Luka – Cerpen Yuditeha atau kolom sastra lainnya

Adnan Guntur

One response to “Kamar Ganti Nomor 0 – Cerpen Adnan Guntur”

  1. […] Juga : Kamar Ganti Nomor 0 – Cerpen Adnan Guntur atau kolom cerpen […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *