Karosel
Waktu begitu menggeliat. Pagi ke pagi
malam ke malam. Gambarmu begitu
lekat seperti lumut. Rimbun
menggerogoti serabut neuron di otakku.
Mencumbu teguk anggur dengan mesra.
semata kebuntuan,
mengingat canda candu
tertanam liang dalam ingat yang lekat
Kasur lusuh membisik sendu. Alunan ilusi
dan delusi begitu bingar, merongrong kenang
memutar piringan musik begitu lawas.
Dengan durasi yang tak berkesudahan.
mengenaimu yang lihai menari di ujung
saraf kranialku, menjelma skizofrenia,
menyulam diri membentuk paranoia.
aku, terjebak pada karosel yang membikin
kepingan wajahmu pada malam
di mana aku ditikam berkali-kali
oleh waktu yang selalu kutabung
untuk mengingat bibirmu.
dan di sini. Aku.
di balik kamar sesak
dengan rindu yang tak mampu
membangun pusaranya
sendiri.
Mataram, 2025
Â
Kau Jenggala
Untuk Radisti
dalam detak jantung yang menjelma
kicau-kicau burung. Bertengger pada ranting
cemara yang renta, kabut menutup pandang mata.
Pada semburat wine jam 5 sore.
Tatap adalah tanda kesunyian paling sepi.
Melengking meminta tolong.
Perihal cinta yang menyesak
dadamu yang rimba.
Kau merebah pada belantara.
Mencoba mencukupkan doa,
Menghamba pada belukar kepalamu
yang berisik. Meminta untuk dibabat saja
rumput liar dalam jantungmu yang rimbun.
Kau menjelma rahim tanah yang terbakar.
Menjalar pada pohon-pohon tua.
Mengakar pada batu-batu.
Paling hitam, paling diam.
Kau adalah bisu yang bingar.
Mataram, 2025
Munajat
Pada malam menuju usianya yang renta
Suara-suara jangkrik bersahut
Bersamaan dengan katak-katak di sepetak sawah
Aku berbisik pada sajadah
Dalam sunyi yang begitu senyap
Tengadah tanganku
Basah bibirku
Menyebut hatiku
Semoga bintang-bintang
Mampu mengusir mendung
Pada pagiku yang berkabung
Mataram, 2025
Mata Pelajaran
Ibu tiap hari mengajariku menjahit luka
Bila kudapati ia dari luar pekarangan rumah
Katanya kelak kau akan terbiasa menjahit
Sesakmu saat dewasa
Ayah setia mengajariku untuk menghitung
beberapa aritmatika, sebab kata bapak
itu akan kau butuhkan ketika
menghitung hutang saat berkeluarga
Ayah sibuk memupuk diri di atas kemboja
Setelah ayah tumbuh dan berbunga
ibu sibuk mendiktekanku keikhlasan
Bercerita kisah-kisah heroik tentang ketulusan
Sebab katanya
ketika aku menyusul bapak
kau tak lagi perlu
melukis sendu di rautmu
Padahal
Kulihat tiap malam ibu selalu
menenun air matanya di ujung sunyi
Mataram, 2025
Balada Ketenangan
Untuk Husna
Alkisah seorang perempuan
Berjalan pada terik mentari yang basah
Bibir kelu, matanya berbinar
Seolah-olah ada cermin duka
Di antara rintik air matanya
Ia mencari-cari tenang
Dalam kepalanya yang belukar
Bertaruh di atas doa yang sesempatnya
Ia langitkan pada teduh pohon flamboyan
Di tengah kota
Ia tertatih
Menyeret-seret kakinya yang lebam
Terseok-seok ia dalam kesendirian
Dengan penuh keyakinan
Menemukan senyap
Pada dua pilihan
Nyeri dan sesak tak lagi mampu ia sisihkan
Memblender isi kepalanya
Lalu, ia buang bersamaan
Pada tempat yang tak mampu ia lihat
Tak mampu ia tarik
tak mampu ia tadah
Kini
Kabarnya ia masih berjalan menyeret-seret
kakinya yang lebam dengan sesak dan
isi kepala yang belukar
ia adalah mayat yang tak mampu
mengenal nisannya sendiri
Â
Mataram, 2025
Seorang Kawan
pada malam-malam
waktu luangnya seorang kawan
bersitegang dengan hari libur
yang susah berkompromi dengan
kepalanya yang tiap hari lembur
Tidurlah otak, besok kau akan
Berpikir keras
Pagi-pagi matanya lebam-lebam
Dipukul insomnia
Mataram, 2025