Subir selalu percaya, kebijaksanaan besar terkadang datang dari hal-hal sederhana yang sering diabaikan. Seperti halnya kisah apel yang jatuh tegak lurus dari pohonnya di hadapan Isaac Newton, yang kemudian melahirkan hukum gravitasi. Namun, kisah ini bukan tentang Isaac Newton atau apel, melainkan tentang keingintahuan Subir terhadap seorang anak berusia lima tahun yang tampak sangat keras kepala dan tidak pernah mau mengubah pendiriannya, meskipun telah diberi tahu fakta yang berbeda.
Subir memiliki hipotesis yang ia uji, seorang anak bisa tumbuh menjadi cerdas bukan hanya dengan diperdengarkan musik instrumental klasik, tetapi juga jika mereka dibiasakan untuk melihat gambar tertentu, misalnya seekor gajah tertutup kain lebar yang terinspirasi dari novel klasik Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry. Subir berulang kali membaca buku itu, namun tetap merasa bingung dengan maknanya. Banyak yang mengatakan, untuk memahami novel tersebut, seseorang harus mampu menjadi anak kecil lagi. Tanpa hal tersebut, pesan novel itu akan sulit dipahami.
Karena itu, Subir memulai eksperimennya. Ia melibatkan duapuluh anak berusia lima tahun dalam sebuah studi yang berlangsung selama dua tahun. Anak-anak itu secara rutin diperlihatkan gambar gajah yang tertutup kain lebar. Subir ingin tahu bagaimana mereka menafsirkan seiring bertambahnya usia.
Hasilnya ternyata bervariasi. Ketika anak-anak mencapai usia tujuh tahun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengidentifikasi gambar tersebut sebagai seekor gajah. Jawaban mereka beragam. Subir pun sampai pada kesimpulan bahwa setiap anak memiliki caranya sendiri dalam memandang dunia dan setiap penafsiran mereka unik.
Namun, di antara semua anak yang ia amati, ada satu anak yang menarik perhatiannya secara khusus, anak laki-laki itu bernama Taska. Jawaban-jawaban Taska cenderung minor dan tidak konvensional. Setiap semester, jawaban Taska selalu berbeda, membuat Subir semakin penasaran. Pada semester pertama, Taska menjawab “gunung”. Pada semester kedua, jawabannya berubah menjadi “batu”. Semester ketiga, ia menyebut “teko”, dan pada semester keempat, ia menjawab “karung berisi kucing”.
Subir sangat ingin memahami pola pemikiran Taska. Setiap kali ia mencoba mendekati Taska untuk mewawancarainya, anak itu selalu menjawab dengan penjelasan yang panjang lebar, berbentuk cerita, yang sifatnya tidak langsung berupa jawaban spesifik. Penjelasan Taska menyerupai tulisan jurnal, hingga Subir memutuskan untuk menunggu hingga anak itu berusia tujuh tahun untuk kembali bertanya secara langsung arti dari keempat jawaban tersebut.
Pada usia tujuh tahun, Taska akhirnya bersedia menjelaskan jawabannya kepada Subir. Namun, tampaknya perkiraan Subir meleset, karena penjelasan Taska tetap disampaikan dalam bentuk cerita yang panjang. Subir mendengarkan dengan sabar selama setengah hari penuh, dan ia berusaha mencatatnya dalam bentuk ringkasan.
Gunung: “Guru kami sering menunjukkan gambar gunung. Selalu ada dua puncak dalam gambar itu, dan setiap kali melihatnya, aku ingat betapa hangatnya badanku ketika aku berada di sana, seperti saat aku berada di pangkuan ibu.”
Batu: “Setiap hari aku harus berjalan sejauh satu kilometer untuk pergi ke sekolah. Jalanan itu tidak diaspal, penuh dengan batu-batu sungai yang tertata rapi. Kata ibu, jalan itu membuat kakiku lebih kuat.”
Teko: “Setelah aku berhenti menyusu, ibu selalu memberiku minum dari teko. Air di dalam teko itu terasa sangat segar, seperti udara pagi hari. Setiap kali haus, aku selalu ingat teko itu.”
Karung berisi kucing: “Pertama kali aku mendengar ungkapan ini dari ibu, bahwa katanya aku tidak boleh jajan sembarangan, karena membeli makanan yang tidak jelas asal-usulnya seperti membeli kucing dalam karung.”
Setelah mendengar penjelasan Taska, Subir merenung. Jawaban-jawaban Taska memang unik, dan terdengar menggelitik, Subir belajar untuk mengerti pola pikir anak itu, sesuatu yang selama ini sebenarnya ia cari. Cara untuk memahami kembali dunia melalui sudut pandang anak-anak mulai terbuka di hadapannya.
Namun, di tengah perenungan itu, Subir menyadari sesuatu yang aneh. Ada hal yang tidak beres dengan cara Taska berbicara. Anak itu tampak terlalu dewasa untuk usianya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa begitu matang, begitu penuh kesadaran akan dunia sekitarnya. Seakan-akan Taska telah hidup jauh lebih lama daripada yang ia tahu.
Suatu hari, ketika Subir sedang membaca kembali novel Le Petit Prince, ia kembali memikirkan percakapannya dengan Taska. Setelah itu ada kegelisahan yang menyelimuti pikirannya. Bagaimana mungkin seorang anak berusia tujuh tahun bisa memiliki pemikiran yang begitu dalam, filosofis, dan sangat matang?
Merasa tidak tenang, Subir memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang latar belakang Taska. Ia mulai menghubungi pihak sekolah dan orangtua Taska. Apa yang ditemukan Subir sangat mengejutkan.
Taska, ternyata, bukanlah anak kecil seperti yang ia kira. Anak itu sebenarnya adalah bagian dari sebuah eksperimen rahasia yang melibatkan penggunaan teknologi canggih untuk mempercepat perkembangan kognitif anak. Program tersebut berusaha menciptakan anak-anak yang mampu berpikir seperti orang dewasa sejak usia dini, dengan harapan bahwa mereka bisa menjadi pemikir dan inovator yang luar biasa di masa depan.
Subir terkejut bukan main. Ternyata apa yang pernah terpikir olehnya tidak salah. Semua pertanyaan yang selama ini muncul di benaknya mulai terjawab. Keanehan dalam jawaban-jawaban Taska, termasuk cara bicaranya yang begitu dewasa kini terasa seperti menjadi masuk akal. Taska adalah produk dari eksperimen yang melibatkan manipulasi otak dan pembelajaran cepat hingga membuatnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jauh melebihi usianya.
Namun, di balik penemuannya, Subir merasa terguncang. Eksperimen semacam itu, meskipun memiliki tujuan yang ambisius, tampak begitu tidak manusiawi. Ia bertanya-tanya, apakah anak-anak seperti Taska benar-benar bahagia? Apakah mereka masih memiliki kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara alami, ataukah mereka hanya produk dari manipulasi ilmiah?
Subir merasa bersalah. Ia menyadari bahwa selama ini ia berusaha memahami dunia anak-anak dengan cara yang salah. Alih-alih mencoba merasakan kembali dunia melalui mata anak-anak, ia justru terjebak dalam ambisi untuk memaksakan pemikirannya sendiri kepada mereka. Ia telah melupakan esensi dari dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan kebebasan.
Dengan perasaan yang campur aduk, Subir menutup bukunya. Ia menyadari bahwa kadang-kadang, hal-hal yang tampak sederhana seperti gambar gajah dalam kain atau cerita tentang karung berisi kucing, bisa menyimpan makna yang jauh lebih dalam jika dilihat melalui sudut pandang yang tulus dan tidak terburu-buru.
Subir menatap langit-langit kamarnya, merasakan beban yang begitu berat di dadanya. Pikirnya, mungkin untuk benar-benar memahami dunia anak-anak, kita harus membiarkan mereka tumbuh dengan cara mereka sendiri, tanpa terlalu banyak campur tangan.
Satu minggu setelah menemukan fakta tentang Taska, Subir memutuskan untuk berhenti dari penelitian yang selama ini ia jalankan. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya lagi mengejar jawaban atas sesuatu yang seharusnya dibiarkan tumbuh dengan sendirinya.
Namun, sebelum meninggalkan semuanya, Subir memutuskan untuk mengunjungi Taska sekali lagi. Ia ingin mendengar langsung dari anak itu, bagaimana perasaannya setelah menjalani eksperimen tersebut. Ketika Subir duduk di hadapan Taska, anak itu tersenyum padanya. Namun, senyum itu tidak seperti senyum anak-anak. Ada sesuatu yang kosong di balik matanya.
“Apa yang kau pikirkan, Taska?” tanya Subir perlahan.
Taska kembali menatapnya dengan mata yang kali itu tampak lebih tua dari usianya. “Aku hanya berpikir, apakah aku benar-benar hidup, atau hanya konsep yang dibentuk orang lain?”
Subir terdiam. Dalam sekejap, ia menyadari Taska tidak hanya kehilangan masa kecil, bahkan telah kehilangan diri seutuhnya. Dalam hati Subir berkata, sesampainya di rumah nanti, ia merasa perlu mambaca lagi Le Petit Prince ***
Leave a Reply