Museum Trauma dan Puisi Lainnya Karya Sayyid Muhammad

Ilustrasi Puisi Museum Trauma (www.pinterest.com)

Adalah benar, manusia punya luka masing-masing—dan puisi-puisi dalam Museum Trauma adalah undangan untuk menatap luka itu tanpa mengalihkan pandang. Mari rilis dan rayakan: sebab menyintas adalah bentuk paling jujur dari perayaan.

 

Museum Trauma I: Patung

Berhentilah di depan patung ini

sebelum kau langkahkan tafsir.

Ia berdiri tanpa wajah

karena dunia tak sudi mengingat

wajah-wajah yang telah dicabik sunyi.

 

Lukanya bukan pahatan

namun warisan dari malam,

yang menelanjanginya perlahan,

meninggalkannya

di bawah cahaya lampu pameran.

 

Pahanya retak

bukan estetika,

itu rekam jejak tangan-tangan

yang menamakan diri cinta,

namun hanya tahu cara memilik

tanpa pernah bertanya: “boleh?”

 

Bibirnya dibungkam semen.

Ia ingin berteriak

bahkan marmer pun menolak

menjadi suara,

bagi cerita yang terlalu kotor untuk dipercaya.

 

Kini ia dipuja, difoto, disalin,

oleh mata yang tak pernah luka.

Dan trauma pun akhirnya,

diabadikan

agar bisa dilihat, tapi tak pernah disentuh.

 

(2025)

 

Museum Trauma II: Lukisan

Tergantung ia di dinding sunyi,

Sebuah tubuh dilukis paksa,

Oleh mata-mata yang tak mengerti,

Betapa berat menjadi bingkai cela.

 

Warna-warna dipaksa lebur:

Kulit yang “terlalu gelap”,

Paha yang “tak tahu malu”,

Dada yang dinilai sebelum disentuh.

 

Label kecil tertempel di bawah kanvas:

“Perlu direvisi sesuai selera umum.”

Seolah tubuh bisa diperbaiki,

Seperti lukisan yang terlalu jujur.

 

Dan para pengunjung datang,

Menatapnya sejenak,

Menyebutnya “tidak ideal,”

Lalu pergi,

Meninggalkan cermin,

Yang semakin membenci dirinya sendiri.

 

Museum Trauma III: Diorama

Dalam kotak kaca tersusun manis:

Sebuah ruang tamu bersofa lembut,

Seorang ayah memegang koran,

Dan ibu membeku,

Dengan lebam di balik kerah daster.

 

Tak ada suara. Tak ada peluit.

Hanya lampu kecil menyala redup,

Di sudut meja makan,

Di mana doa-doa malam,

Tak pernah menjelma sarapan.

 

Museum Trauma IV: Ruang Kosong

Apa ini?

Kosong?

Tidak ada apa-apa,

Kecuali sunyi yang berdiri tegak

Seperti penjaga tanpa wajah.

 

Di lantainya,

Terlihat jejak kaki

Yang berhenti di tengah ruangan—

Mungkin milik seseorang

Yang pernah ingin hidup, lalu batal.

 

Dindingnya bersih.

Tapi bau kehilangan masih mengambang

Seperti nama

Yang tak sempat diberi

Pada anak yang tak lahir.

 

Jangan salahkan ruangan ini

Bila kau menangis tanpa sebab.

Ia tidak menghantuimu.

Ia hanya mengingatkan

Bahwa ada duka

Yang tak bisa dipajang.

 

Museum Trauma V: Cermin

Di ruang terakhir, cermin menjulang

Seperti altar sunyi.

Kau berdiri di depannya

Dan segala yang kau sembunyikan

Tiba-tiba punya bayangan.

 

Tak ada pantulan wajah,

Hanya kenangan yang meleleh

Dari pupil ke pipi.

Lantai perlahan basah

Oleh luka yang kau warisi diam-diam.

 

Trauma bukan lukisan abstrak

Yang bisa digantungkan

Dan dilihat tanpa rasa.

Ia berdiri bersamamu

Meski kau terus bilang telah lupa.

 

Baca Juga: Hari-hari Sebagai Buah dan Puisi Lainnya Karya Wayan Esa Bhaskara 

Sayyid Muhamad Abdulloh Almustofa

Sayyid Muhamad Abdulloh Almustofa

Santri penuh waktu, mahasiswa separuh waktu, insyaallah warga negara Indonesia seumur hidup. Dapai dijumpai di Instagram @syd9_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *