Adalah benar, manusia punya luka masing-masing—dan puisi-puisi dalam Museum Trauma adalah undangan untuk menatap luka itu tanpa mengalihkan pandang. Mari rilis dan rayakan: sebab menyintas adalah bentuk paling jujur dari perayaan.
Museum Trauma I: Patung
Berhentilah di depan patung ini
sebelum kau langkahkan tafsir.
Ia berdiri tanpa wajah
karena dunia tak sudi mengingat
wajah-wajah yang telah dicabik sunyi.
Lukanya bukan pahatan
namun warisan dari malam,
yang menelanjanginya perlahan,
meninggalkannya
di bawah cahaya lampu pameran.
Pahanya retak
bukan estetika,
itu rekam jejak tangan-tangan
yang menamakan diri cinta,
namun hanya tahu cara memilik
tanpa pernah bertanya: “boleh?”
Bibirnya dibungkam semen.
Ia ingin berteriak
bahkan marmer pun menolak
menjadi suara,
bagi cerita yang terlalu kotor untuk dipercaya.
Kini ia dipuja, difoto, disalin,
oleh mata yang tak pernah luka.
Dan trauma pun akhirnya,
diabadikan
agar bisa dilihat, tapi tak pernah disentuh.
(2025)
Museum Trauma II: Lukisan
Tergantung ia di dinding sunyi,
Sebuah tubuh dilukis paksa,
Oleh mata-mata yang tak mengerti,
Betapa berat menjadi bingkai cela.
Warna-warna dipaksa lebur:
Kulit yang “terlalu gelap”,
Paha yang “tak tahu malu”,
Dada yang dinilai sebelum disentuh.
Label kecil tertempel di bawah kanvas:
“Perlu direvisi sesuai selera umum.”
Seolah tubuh bisa diperbaiki,
Seperti lukisan yang terlalu jujur.
Dan para pengunjung datang,
Menatapnya sejenak,
Menyebutnya “tidak ideal,”
Lalu pergi,
Meninggalkan cermin,
Yang semakin membenci dirinya sendiri.
Museum Trauma III: Diorama
Dalam kotak kaca tersusun manis:
Sebuah ruang tamu bersofa lembut,
Seorang ayah memegang koran,
Dan ibu membeku,
Dengan lebam di balik kerah daster.
Tak ada suara. Tak ada peluit.
Hanya lampu kecil menyala redup,
Di sudut meja makan,
Di mana doa-doa malam,
Tak pernah menjelma sarapan.
Museum Trauma IV: Ruang Kosong
Apa ini?
Kosong?
Tidak ada apa-apa,
Kecuali sunyi yang berdiri tegak
Seperti penjaga tanpa wajah.
Di lantainya,
Terlihat jejak kaki
Yang berhenti di tengah ruangan—
Mungkin milik seseorang
Yang pernah ingin hidup, lalu batal.
Dindingnya bersih.
Tapi bau kehilangan masih mengambang
Seperti nama
Yang tak sempat diberi
Pada anak yang tak lahir.
Jangan salahkan ruangan ini
Bila kau menangis tanpa sebab.
Ia tidak menghantuimu.
Ia hanya mengingatkan
Bahwa ada duka
Yang tak bisa dipajang.
Museum Trauma V: Cermin
Di ruang terakhir, cermin menjulang
Seperti altar sunyi.
Kau berdiri di depannya
Dan segala yang kau sembunyikan
Tiba-tiba punya bayangan.
Tak ada pantulan wajah,
Hanya kenangan yang meleleh
Dari pupil ke pipi.
Lantai perlahan basah
Oleh luka yang kau warisi diam-diam.
Trauma bukan lukisan abstrak
Yang bisa digantungkan
Dan dilihat tanpa rasa.
Ia berdiri bersamamu
Meski kau terus bilang telah lupa.