senin, selasa, jakarta
akhir-akhir ini
jakarta sedang asyik
menjilati tangisnya yang gerimis.
seperti seseorang
yang merasa asing
di tubuhnya sendiri.
ia tak udah-udah
menjadi sosok menyebalkan
saat sedang flu begini
mirip remot tv
yang selalu hilang
saat dicari.
belum lagi soal macet
jalanan jelek
becek
dan orang-orang kelaparan
yang harapannya dirampas polisi dan negara.
–
menyulam hidup di dalam persegi tiga kali tiga
terjebak dalam ruangan persegi tiga kali tiga
tanpa penyejuk udara dan jendela
terletak di gang kumuh pinggiran jakarta.
aku terpaksa menyulam hidup
dengan nafas tersendat-sendat
seperti penderita asma
ketika tidak membawa ventolin
di saku celana.
hari ke hari aku harus terbiasa
untuk melompat dari
kelaparan
kemacetan
kemiskinan
yang berulang kali menamparku
tanpa aba-aba.
harapan yang asalnya sebanyak
antrian mobil saat magrib
di tb simatupang
tetapi, lama-lama itu semua
direnggut paksa
oleh
tuntutan dan utang
yang menumpuk bagaikan
gedung-gedung tinggi di sudirman
serta
ocehan-ocehan tetangga
yang membangunkan ku
dari lamunan.
—
tuts tuts semu
seperti keyboard laptop, ditekan selama tujuh belas jam sehari dan dilakukan berulang kali hingga pudar warnanya, begitu juga yang dirasakan oleh buruh-buruh ibukota. dari pagi hingga dini, mereka pontang-panting membawa kecemasan akut karena nasibnya tak menentu menuju semaput.
mereka dapat dipecat ketika lagi menahan kantuk
dan sumpek di jaklingko.
belum lagi ada kerjaan tambahan
yang menggerogoti kehidupannya.
serta upah bulanannya hanya cukup
untuk membeli nasi telor di burjo.
parahnya
ia harus memahat senyum
dan anggukan di mukanya setiap hari
meskipun harinya sedang biru.
jika dilihat, memang tragis nasib yang harus dialami buruh-buruh tersebut. dirinya terjebak di kota yang membosankan, dengan hobi memberikan surga semu kepada orang-orang yang tubuhnya dililit rantai menuju mati yang abu.
—
adu balap nasib
serba cepat
itulah ciri khas
ibukota
yang mulai mengganggu
diriku
karena terbiasa melambat.
namun, lambat laun
aku jadi terbiasa
akan hal itu
karena mulai timbul
gejala-gejala
seperti ketakutan
melihat etalase nasib
sehari-hari.
ketika tidak muncul
gulali
ataupun sekedar
permen kaki
dalam kehidupan sehari-hari.
kecemasan mulai muncul
karena khawatir
akan dilumat oleh billboard
di sepanjang jalan sudirman.
tak hanya itu
kegetiran dan kegelisahan
turut menyelimuti ku
karena takut
jika esok hari
menjadi tumpukan tisu
bekas mengelap sepatu.
—