Malam tadi aku memimpikan Kuncoro. Dalam mimpi itu, saking tak tahannya keinginanku untuk bercinta dengannya, aku tidak malu harus menyatakan cinta lebih dulu. Namun tak kusangka, mantan bupati Indragaru itu menolak cintaku, bahkan setelah mengatakan penolakan mulutnya tertawa ngakak. Harusnya aku sakit hati, tapi yang kurasakan, baik di mimpi maupun di kenyataan setelah terbangun, sama sekali tidak ada perih di hatiku.
Aku hanya merasa kosong, seperti melayang. Mimpi itu begitu nyata, bahkan wajahnya yang tertawa hingga dahi berkerut, seolah masih membekas di hadapanku. Kurasa, ada sesuatu yang tidak pernah bisa kumengerti antara aku dan Kuncoro.
Aku, seorang pengusaha sukses, pemilik Grup Duta Alam, sebuah perusahaan besar di kota ini. Perusahaanku sudah merambah berbagai bidang, mulai dari pertambangan, konstruksi, hingga pengolahan sawit. Keberhasilan ini tidak hanya datang begitu saja. Ada banyak hal yang kupertaruhkan, termasuk pernikahanku yang gagal dua kali. Dua kali jatuh cinta, dua kali gagal pula.
Namun anehnya, kepada Kuncoro, semua pertahanan itu terasa tak berguna. Aku selalu menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya, pesona laki-laki berumur itu masih menebar kharisma yang tak kalah dari para pria yang lebih muda. Entah sejak kapan, aku mulai memperhatikan lelaki itu, memperhatikan garis tegas wajahnya, sorot matanya yang tajam namun teduh, atau caranya berbicara dengan penuh wibawa.
Kisah kami dimulai dua bulan lalu ketika aku menghubunginya untuk pertama kali. Sebagai mantan bupati, kekuasaannya di Indragaru memang sudah tak ada, tetapi pengaruhnya masih sangat kuat. Tak heran jika para pejabat baru yang datang ke sana sering kali memanfaatkan relasi dengan Kuncoro untuk menjaga stabilitas kekuasaan mereka. Dengan cara pandang yang taktis, aku memilih mendekatinya agar proyek penguasaan tanah perkebunan sawit seluas 37.095 hektare bisa berjalan lancar. Itu bukan area yang kecil. Aku perlu sosok sepertinya agar tidak terhalang berbagai prosedur yang rumit.
Selama beberapa pertemuan, semua berjalan lancar. Dengan caranya yang elegan, Kuncoro selalu mampu meluluhkan keraguan para pemilik tanah atau pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Bahkan beberapa kali dia menawarkan bantuan lebih dari yang kupikirkan. Karena itu, perhatian yang dia berikan padaku semakin membawaku dalam simpul yang pelik. Dia membuatku jatuh cinta, tapi hatiku tidak tenang.
Jika ada yang bisa kuungkapkan soal cinta ini, ia adalah sesuatu yang tidak direncanakan, namun begitu manis hingga aku ketakutan sendiri. Bayangan bahwa pria setampan dan sepintar Kuncoro bisa jatuh cinta padaku, mengingatkanku akan mimpi-mimpiku yang lain, mimpi yang selalu berlawanan dengan kenyataan.
Aku menyusun rencana untuk mengajaknya bertemu malam ini. Sambil menunggu, aku berlatih beberapa kali untuk mengisahkan mimpi itu padanya. Bukan untuk melihat reaksinya, tapi untuk memastikan ia tahu aku cukup berani mengutarakan isi hati. Meski caraku ini seakan bercanda, aku penasaran, apa yang akan dilakukannya?
Malam tiba, dan seperti biasanya kami bertemu di restoran terbesar di kota ini. Restoran dengan ruang privat yang terletak di balkon, memungkinkan kami menikmati pemandangan kota yang terhampar dalam kerlip lampu. Di bawah sinar lampu temaram, kami memesan anggur merah, dan di sela-sela obrolan tentang strategi pembebasan lahan, aku memberanikan diri menceritakan mimpi semalam.
Usai cerita, kami terjebak dalam diam yang canggung, berbeda dari kebiasaan kami. Kulihat sorot matanya menerawang. Sekilas tampak senyum simpul di wajahnya, yang dengan segera berubah menjadi tawa membahana.
“Kamu lucu sekali,” katanya sambil terkekeh. Tawanya terhenti ketika dia melihat aku menatapnya lekat-lekat, mungkin mencoba membaca apa yang tersembunyi dalam mataku. Matanya berkilat tajam, mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
“Ada apa?” tanyaku, menghilangkan kecanggungan.
Kuncoro berhenti tertawa. Dia mengamati wajahku, lalu mengembuskan napas panjang. “Maaf,” ujarnya lirih. “Aku bukan bermaksud menertawakanmu.”
Aku hanya mengangguk.
Dia melanjutkan, “Selama ini kamu sering bilang, bahkan selalu kamu katakan usai menceritakan mimpi-mimpimu, bahwa mimpi-mimpimu sering kali tidak terjadi dalam kenyataan. Benar, kan?”
“Ya, benar. Memang begitu biasanya,” sahutku.
“Jadi kamu sungguh-sungguh percaya itu?”
“Aku tidak mengerti,” jawabku jujur, menyadari betapa rumitnya perasaan ini.
Kuncoro tersenyum, lalu berkata dengan suara rendah, “Aku sudah lama hidup di dunia ini. Kau masih terlalu muda untuk memahami makna di balik mimpi. Ketika aku seusiamu, aku juga pernah berpikir seperti itu. Tapi, seiring waktu, aku mulai mengerti, bahwa mimpi tak selalu sekadar bunga tidur. Terkadang, mimpi bisa menjadi peringatan.”
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku terhenyak. Apakah ia ingin mengatakan bahwa mimpiku adalah cerminan dari perasaan sesungguhnya? Apakah Kuncoro menyadari perasaanku padanya?
“Kuncoro, maksudmu, apa kau tahu mengapa aku cerita soal mimpi ini padamu?” tanyaku dengan suara bergetar.
Dia memandangku lama, seolah ingin menelusuri seluruh isi hatiku. “Aku tahu,” ujarnya pelan. “Tapi, yang lebih penting, apa tujuan kita ada di sini? Tanah perkebunan itu, itulah yang menjadi urusan utama kita, bukan?”
Jawabannya terasa seperti tembok tebal yang tidak bisa kutembus. Sesuatu dalam hatiku hancur, meski aku tidak ingin menunjukkannya. Dia terlalu berharga bagiku, baik untuk bisnis maupun untuk cinta.
“Kalau begitu, bagaimana kesepakatan kita soal pembagian keuntungan?” tanyaku, berusaha mengalihkan perasaan yang kacau.
Kuncoro menarik napas panjang sebelum berkata, “Aku ingin fifty-fifty. Aku sudah bicara dengan beberapa tokoh kunci. Tanpa dukungan penuh dari mereka, tanah itu akan sulit diambil alih.”
Aku diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Baik. Fifty-fifty. Tapi ada syaratnya.”
“Apa pun asal bukan mengurangi jatahku, akan aku turuti.”
“Aku ingin mimpiku itu menjadi kenyataan, tapi dengan cara yang berbeda,” kataku mantap.
Tatapan Kuncoro yang biasanya dingin tiba-tiba berubah. Wajahnya serius, dia menyadari makna di balik ucapanku. Ia tertawa kecil, lalu mengambil tanganku. “Begini saja. Kita bicara soal bisnis dulu,” ujarnya, berusaha mengalihkan fokus kembali pada proyek, tapi bibirnya masih menyiratkan senyum penuh misteri.
Aku kembali ke rumah dengan pikiran kalut. Di satu sisi, bisnis ini begitu penting bagiku; di sisi lain, ada perasaan yang mungkin tak akan pernah tersampaikan. Namun malam itu, tak ada lagi mimpi. Hanya sepi yang menyelimuti malamku, seolah alam bawah sadarku tak ingin lagi memberiku harapan atau peringatan apa pun.
Esoknya, aku menerima kabar bahwa Kuncoro sudah bertemu dengan beberapa tokoh di Indragaru dan membuat kesepakatan untuk mendukung penguasaan tanah. Urusan berjalan lancar, dan seakan segalanya kembali pada jalur yang sudah direncanakan sejak awal.
Namun di balik kesuksesan itu, aku sadar satu hal. Mungkin Kuncoro benar. Mimpi terkadang bisa menjadi peringatan. Bukan sekadar tentang apa yang kuinginkan terjadi di dunia nyata, tetapi peringatan tentang betapa rapuhnya keinginan manusia, betapa kita hanya pelakon yang terjebak antara ambisi dan cinta.
Kuncoro mungkin tidak akan pernah menjadi milikku, tapi untuk saat ini, aku bisa tenang. Setidaknya, aku tahu aku sudah mencoba. Dan kadang, mencoba adalah bentuk cinta yang paling sejati, ketika kita tahu bahwa hasil akhirnya terkadang tidak terduga. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, waktu yang seharusnya kami mulai bisa menikmati keuntungan masing-masing, kami justru harus keluar masuk pengadilan karena terjerat kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare. Selain itu, aku juga ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang.***
BACA JUGA : Interview – Cerpen karya Endah Novitasari
Leave a Reply