(I)
Suara gemercik air terus mengisi ember kamar mandi sebelah yang sudah penuh dari awal dengan tempo lambat adalah satu-satunya suara yang konsisten menemaniku sejak azan maghrib beberapa menit yang lalu. Yang inkonsisten adalah sayup-sayup zikir sebelum iqamah, suara knalpot kendaraan dari jalan di kejauhan yang sesekali dilalui suara knalpot brong, dan suara dedaunan bambu yang sesekali diterpa angin.
Perintahnya adalah: jangan sekali-kali kamu keluar dari kamar mandi, sampai zikir solat magrib selesai dibaca bersama-sama.
Tidak ada yang bisa kulakukan. Seluruh badanku sudah bersih, sudah kering, lengkap beserta pakaian yang sudah kukenakan. Sambil duduk bertumpu tumit kaki, aku hanya perlu menunggu suara iqamah, suara Kiai membaca Al-Fatihah, lalu membaca satu halaman Al-Qur’an di dua rakaat pertama, lalu sujud terakhir yang lama sekali, lalu salam.
Sayang sekali, sholawat sebelum iqamah ini terasa selama-lamanya. Tidak ada jam di dalam kamar mandi. Aku hanya berpijak pada suara gemercik air kamar mandi sebelah dengan tempo yang lambat sekali. Setiap dua tarikan nafas, bulir air itu baru pecah dan menyatu dengan sesamanya. Bayangkan, aku harus menunggu selama satu tarikan nafas dan satu hembusan nafas tanpa berpijak pada waktu. Bertanya-tanya, kapan kiyai akan mulai membaca Al-Fatihah dan kapan salamnya.
Bila keadaannya lebih santai, misalnya, anggaplah aku dikurung di dalam kamar mandi rumahku. Kukira solusinya akan jauh, jauh lebih mudah. Sebab keluargaku menggunakan toilet duduk, dan duduk di sana lebih nyaman, dan aku punya pilihan untuk tidur sambil menunggu. Namun sekarang bila aku tidur (jangan tanya caranya bagaimana), kemungkinan yang akan terjadi adalah senior akan menggedor-gedor pintu besi kamar mandi ini dan menemukanku dalam posisi yang tidak mengenakkan. Lalu mereka akan melaporkanku kepada pengurus pondok sebab kelalaianku meninggalkan shalat magrib berjamaah sebab mandi terlalu lama sampai ketiduran.
Sebenarnya kamar mandi ini tidak terlalu buruk. Secara fungsi, setidaknya. Gayungnya besar dan kokoh, muat menampung beberapa liter sekaligus agar penggunanya cepat mandi. Embernya juga besar, disiapkan untuk berjaga-jaga bila sesekali air ledeng mati sebelum magrib, dan orang-orang sudah keburu bau masam untuk beribadah bersama di masjid.
Ada gantungan baju dan handuk yang terbuat dari besi juga. Siap digantungi apapun yang dibawa santri masuk. Lantai dan dindingnya keramik yang mudah dibersihkan setiap minggu. Ruangnya pun muat untuk duduk selonjor sambil bersender ke dindingnya. Kebetulan saat ini hanya lampunya saja yang sudah mulai redup, kehilangan tenaganya.
Aku sendiri adalah santri pondok tahfidz tahun pertama, setara Pendidikan SMA. Lalu yang mengurungku adalah teman-teman sekamar yang usil.
Aku jadi jengkel.
Terakhir kali aku dikurung dan aku jengkel, aku memukul pintu besi ini sekuat tenaga dan sekencang-kencangnya, lalu datanglah senior dengan wajahnya yang terlipat. Ia menamparku keras-keras, telak di pipi setelah aku berhasil dikeluarkannya dari kamar mandi.
“Antum kalau mau jadi preman, keluar aja dari sini!” katanya. Kukira dia ada benarnya.
Atau bila aku berteriak nyaring-nyaring meminta tolong, dan yang datang kebetulan adalah senior baik hati yang kebetulan terlambat berangkat lalu aku selamat, sebelum subuh hari berikutnya kasurku akan basah dan menyeruak darinya bau pesing. Mereka mengencingiku dan menuduh aku ngompol sambil terbahak bersama seluruh penghuni kamar.
Aku ingat aku sekamar dengan anak kiyai. Rupanya standar dan tidak bagaimana-bagaimana. Tidak ada cahaya yang menyeruak keluar dari wajahnya, tidak ada keteduhan yang seperti diceritakan orang-orang juga. Sebutlah dia rajin di masjid, sering mengaji, selalu tahajud pertama, mengaku pernah mimpi bertemu Rosul, tak pernah lupa memperbarui wudhunya setiapkali kentut, ke kamar mandi dan sebagainya, selepas subuh beberapa hari lalu ketika kuperhatikan betul-betul, kukira sama sekali tidak ada kilauan di dalam wajahnya.
Pernah sekali dia bertanya, mengapa aku ceroboh sekali, seperti seolah-olah selalu sial saja.
“Eh, uh, anu, ya”
Lalu dia mengedipkan matanya beberapa kali, terheran-heran menunggu kalimatku yang tak kunjung keluar. Ketika aku ingin mengulang “anu” sekali lagi, sebagai pembuka sebelum kuceritakan padanya soal Arie, dan Ihsan, dan Rama, dan Mubarak yang sering mengusiliku, mengunciku di kamar mandi, mengencingi kasurku, menyembunyikan sandalku, mengambil cemilan simpananku, dia menghela nafas.
Mungkin aku lupa kalau aku sama sekali tidak memiliki buktinya?
Tiba-tiba justru dia membisikkan permintaan maaf yang sama sekali aku tak tahu maksudnya apa. Masa dia dalang kesialanku? Dia merengkuh bahuku lalu berdoa (dalam bisik-bisiknya) supaya aku dijaga oleh Allah, supaya semua urusanku dimudahkan, supaya aku selamat dunia akhirat.
Namanya Fauzan. Aku ingat namanya ketika Pak Kiai memanggilku ke kantor pondoknya, lalu menyebutkan bila Fauzan sudah bercerita mengenai keadaanku yang malang sekali. Bu Nyai lalu datang mengantarkan segelas air putih supaya aku lancar bercerita. Senyumnya hangat sekali. Seperti senyum ibuku.
Namun kepalang nasib, ketika aku pengin bercerita soal Arie, Ihsan, Rama, dan Mubarak, tanganku keburu dibasahi keringat, badanku panas dingin dan kepalaku berputar-putar. Tahu-tahu aku terbang dan semuanya menjadi gelap. Semua orang panik.
Tak lama setelah itu, Pak Kiai menelpon orangtuaku. Meminta mereka menjemputku sebab aku dianggap tak sanggup menjalani hidup seperti orang-orang biasa. Setelah shalat jum’at, sambil tertawa ringan, Pak Kiai berbincang dengan ayahku yang juga membalas tawa ringannya. Beliau bilang bahwa memang tidak semua orang harus masuk pondok untuk jadi orang baik, dan ayahku mengiyakannya.
Akhir pekan ini aku akan dijemput pulang. Beberapa barang-barangku yang hilang, bermunculan kembali di tempat asalnya. Tentu tidak dengan rupa yang persis baru. Tidak rusak habis juga. Tadi sore aku perhatikan Kembali, seperti memang dipakai secara semestinya saja. Mengapa aku merasa sakit sekali?
Kurasa tak lama lagi orang-orang di masjid akan selesai melaksanakan zikir bersama.
(II)
Sabtu, sehari sebelum penjemputanku.
Dalam kelompok perundung itu, Ihsan memiliki badan yang paling kecil, paling kurus, dan memiliki tawa yang paling kencang. Maka aku paling benci ketika harus terus-menerus menatap wajahnya yang bersih itu.
Mereka keterlaluan.
Sebelum subuh ketika kami semua segera bangun begitu suara Al-Quran dibacakan nyaring-nyaring dari pengeras suara masjid, yang terhubung juga dengan pengeras suara yang ada di dalam kamar kami, aku merasakan ada sesuatu yang begitu lembek dan lengket di belakang celana dalamku. Dan bau yang sangat menyengat.
“Woi, siapa yang cepirit nih, bau banget astaghfirullah!”
“Pfftt”
Aku mendengar Mubarak menahan tawa dari pojok ruangan, duduk di atas kasurnya. Ihsan yang berada di sebelah kasur Fauzan berteriak.
“Ahmad, Ahmad berak di celana kali ini!”
Ada banyak suara setelahnya. Ada yang mengeluhkan bau, ada yang ikut tertawa, ada yang tak ambil pusing dan cepat-cepat keluar dari kamar. Mataku terpusat pada mulut Ihsan yang terbuka dan terbahak-bahak.
Tanganku mengepal, aku meloncat dari atas kasur dengan nafas yang menderu.
Akan kupukul.
Akan kuhantam dan kupecahkan wajahnya hingga berkeping-keping.
Lagipula besok aku akan pergi dan tak akan pernah kembali ke pondok terkutuk ini lagi.
Kepalan tanganku mengayun dan sambil berteriak, sedikit menahan air mata, kulemparkan pukulan agar menghantam mulutnya yang menganga seperti monyet liar di Kalimantan itu.
Prang!
Pukulanku justru mengenai rangka ranjang. Ihsan menghindar ke belakang.
Aku meloncat.
Ingin sekali rasanya menerkam tubuh dan mencongkel matanya yang bergerak-gerak liar seperti cacing kepanasan yang kutemukan di lapangan kampung halamanku di musim kemarau lalu.
Tangannya kucengkram, wajahnya kucengkram.
Aku merasakan badanku ditarik-tarik dari belakang oleh entah siapa. Tapi aku tak mau begitu saja melepaskan kebencian ini.
Tidak boleh ada yang menyuruhku bersabar. Jari-jariku berupaya menyelinap masuk ke dalam celah di kelopak matanya.
Seketika sebuah benturan keras menghajar belakang kepalaku. Mubarak?
Jangan-jangan itu Rama. Sebab tangannya besar sekali.
Kali ini aku terhuyung dan membayangkan aku akan melawan gorila. Pertarungan robot melawan gorilla seperti di film-film.
Berdiri di atas kasur Ihsan, aku mengibaskan kepala dan menjernihkan pandangan.
Ada Rama, Arie, dan beberapa santri sekamar lain yang memandangku keheranan, marah, kalut, dan bercampuraduk.
“Maju kalian semua!”
Aku menghambur maju dengan seluruh tenaga yang kumiliki.
Melawan
melawan
melawan
melawan
melawan
melawan
melawan
Mereka tidak akan pernah paham. Bahkan Fauzan. Bahkan tuhannya Fauzan. Jangan bawa-bawa tuhan yang tidak membelaku kali ini. Yang tidak menyelamatkanku dari tatapan kecewa Bu Nyai dan seluruh penghuni pondok yang besok akan merayakan kepergian seorang santri yang terbata-bata bicara. Paling sering terlambat beribadah, yang sering absen setiap pengajian pagi. Yang sholatnya sering masbuk. Yang sering meminjam piring teman sekamar. Sering merepotkan orang-orang.
Mungkin Pak Kiai juga akan melupakanku. Meletakkanku di barisan nama yang tak begitu signifikan untuk diingat, sebab semua pengecut pada akhirnya akan sama saja.
(III)
Dengan wajah tertekuk, ayah dan Pak Kiai tertawa ketika mereka bercerita tentangku di kantin pondok. Seperti teman lama yang merindukan kabar masing-masing. Sebuah cerita yang terjadi di mana-mana. [ ]
Ceritanya bagus, tante harap itu bukan pengalaman pribadi abang ya. Mudahan abang selalu dalam lindungan Allah di manapun abang berasa😍