Bagi kita yang duduk di kampus biru Universitas Airlangga (UNAIR), rasanya seperti berada di film sejarah yang tak pernah selesai. Di setiap sudutnya mengingatkan pada legasi besar, Prabu Airlangga. Agaknya kita memilih lupa atau memang nggak tau siapa itu Airlangga.
Airlangga dan Legasi yang Terlupakan
Saat PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) diadakan, kita akan dikenalkan gedung dan fasilitas yang nantinya digunakan selama kuliah. Materi yang menunjang keancaran kuliah, dan sebagainya. Namun, akan sulit sekali menjumpai penjelasan tentang nama seorang raja yang dipinjam kampus ini. Penjelasan siapa itu Airlangga, Apa yang sudah Ia lakukan untuk negeri ini? Kenapa nama besar Airlangga dipilih untuk universitas terbesar di Indonesia Timur? Kenapa bukan nama raja lain, atau mungkin nama superhero favorit anak zaman now? Ah, itu mungkin pertanyaan yang hanya akan kita jawab saat sudah keluar dari kampus dan terkena sindrom lupa sejarah.
Airlangga, seorang pendiri sekaligus raja pertama dari Kerajaan Kahuripan yang dikenal luas dengan sikap arif dan bijaksana. Sayangnya, di kampus ini, nama besar itu lebih sering jadi obrolan saat deadline tugas mendekat, ketimbang sebagai figur yang membentuk identitas dan semangat universitas. Ironisnya, kampus ini malah tak menyentuh esensi sejati dari nilai-nilai yang ditinggalkan Airlangga. Kalau cuma tahu namanya, ya itu belum cukup. Harusnya ada upaya lebih untuk mengenalkan Airlangga dengan lebih mendalam, biar tidak sekadar “nama besar di papan nama universitas.”
Ketika Simbolisme Sejarah Ditertawakan
Saya mencoba berbagi pengalaman saya sendiri. Tepatnya pada saat diklat dosen, saya menamai kelompok dengan nama “Jolotundo,” simbol dari Airlangga dan bagian dari representasi Air Amerta. Saat itu saya malah ditertawakan. Ya, ditertawakan! Bayangkan, sebuah nama yang mengandung makna mendalam tentang kejernihan ilmu pengetahuan dan kehidupan, dipandang sebelah mata oleh mereka yang lebih suka menyebutnya tempat makan mie ayam yang terkenal. Bukan salah mereka juga, mungkin mereka lebih paham dengan nama keren seperti “Mie Ayam Pak Man” ketimbang simbol sejarah. Pengalaman lainnya, saya sendiri pernah “membaiat” dua mahasiswa saya menjadi Ksatria Airlangga tepat di petirtaan yang kini kolamnya sudah kosong dari ikan-ikan itu.
Begitulah, simbolisme sejarah yang ada dalam diri Airlangga—seperti Jolotundo dan Air Amerta—sering kali gagal diterima oleh banyak orang. Padahal, ini adalah cara untuk menggali makna lebih dalam. Makna dari sebuah nama dan simbol yang mewakili kemakmuran dan kejernihan ilmu pengetahuan. Sayangnya, konsep itu sepertinya kalah pamor dengan meme-meme lucu di media sosial yang lebih cepat viral. Jangan-jangan kita hanya mencoba denial dari klenik bahwa Jolotundo hanyalah sarana pemandian bagi para sinden yang hendak tampil maksimal di pegelaran wayang. Padahal simbol dan kode yang ada pada Jolotundo menyiratkan jauh dari apa yang kita bayangkan tentang makna kehidupan yang terus mengalir.
Gedung dan Nama yang Terlupakan
Lanjutkan perjalanan kita ke Gedung baru milik Fakultas Hukum, yang meskipun membanggakan tapi realitas pemahaman terhadap namanya cukup menyedihkan: Gedung AG Pringgodigdo. Nama yang cukup megah, namun sayang, hampir tidak ada yang tahu siapa nama itu. Bahkan, banyak yang mengira “AG” itu adalah plat nomor kendaraan dari Kediri dan sekitarnya. Pehh… Mungkin, jika kita menyebutkan “AG Pringgodigdo” berarti “Seseorang bernama Pringgodigdo merupakan pemilik kendaraan berplat AG, yang selain Kediri juga ada Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, dan Blitar” ketimbang mengingat sejarah tokoh yang diwakili oleh nama tersebut.
Ternyata, AG atau Abdul Gaffar Pringgodigdo bukanlah jalan tol atau kode daerah, melainkan seorang tokoh penting yang berjuang untuk negara. Ia adalah Menteri Sekretaris Negara Pertama Indonesia, pernah menjadi Menteri Kehakiman, dan tentu saja Dekan Pertama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Airlangga, sekaligus Presiden (Rektor) pertama dari Kampus yang katanya di Timur Jawa Dwipa ini. Saat menjabat menjadi rektor pun, beliau ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk membesarkan nama Universitas Hassanudin sebagai rektor pertama pula.
Makamnya terletak di Bulu, Rembang. Letaknya bersebelahan dengan makam Pahlawan Nasional Emansipasi Wanita, Ibu Raden Ayu Kartini Djojo Adhiningrat. Tentu ini bukan hal yang bisa dianggap remeh, tetapi kenyataannya kita lebih familiar dengan tokoh-tokoh lain yang lebih sering muncul di media sosial daripada mereka yang telah berjasa untuk negeri ini. Ini adalah salah satu contoh bagaimana kita, sebagai civitas akademika, sering kali gagal mendekodifikasi kode alam semesta yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Semuanya serba terlupakan dan terkubur oleh “fakta” yang tidak pernah kita pertanyakan.
Simbol UNAIR yang Salah Dipahami dan Ksatria Airlangga yang Terlupakan
Lambang UNAIR adalah contoh lain dari kekeliruan simbolik yang ada di kampus kita. Di banyak tempat, orang mengira bahwa lambang universitas ini adalah burung garuda. Padahal, itu adalah tunggangan dari Wishnu, dewa pemelihara alam semesta, yang sering dianggap menjelma dalam diri Airlangga sebagai simbol kemakmuran. Kalau menurut saya sih, jika ingin memperjelasnya, kita bisa bikin versi baru dari lambang ini: “Garuda Mukti yang Memegang Air Amerta.” Garuda Mukti atau disebut sebagai Garuda Mukha ini dapat dijumpai arcanya di Museum Mojopahit di Trowulan, Mojokerto. Saya lihat langsung ketika mengantar mahasiswa saya Praktik Kuliah Lapangan. Begitu, kan lebih jelas. Tapi siapa yang peduli dengan lambang sejarah, sementara kita lebih asyik mengunggah foto-foto kampus ke Instagram dengan hashtag #AirlanggaPride.
Salah satu bagian yang selalu membuat saya tertawa getir adalah lirik dari Hymne Airlangga yang menyebutkan “Ksatria Airlangga Kusuma Negara.” Ksatria? Apa maksudnya? Apakah mereka ini ksatria yang dilatih di sebuah kampus besar, atau hanya para mahasiswa yang berlomba-lomba menjadi “Ksatria Baja Hitam” di dunia maya? Sepertinya, kita lebih sering mendengar tentang heroisme dalam serial TV ketimbang menghayati semangat para ksatria sejati yang dihasilkan oleh legasi Airlangga.
Namun, apakah kita benar-benar memahami makna dari “ksatria” ini? Atau justru kita lebih banyak tertawa ketika mendengar nama-nama heroik tersebut? Yah, mungkin kita semua butuh waktu untuk menyelami kembali makna sejati dari “ksatria” dalam konteks yang lebih dalam, bukan hanya dalam rangkaian kata atau melodi lagu yang kita nyanyikan bersama-sama.
Alumni yang Terpisah dalam Golongan
Sebagai alumni, sering kali kita merasa terpinggirkan. Yang dianggap “sukses” adalah mereka yang bekerja di kantor kementerian atau perusahaan multinasional, sementara yang lain, yang bekerja di sektor lain, tidak pernah disebut. Bahkan, pertemuan alumni sering kali terkesan eksklusif, hanya untuk mereka yang berhasil memasuki “lingkaran sukses” itu. Stigma “alumni sukses” sering kali terbentuk dari pandangan sempit, yang menganggap bahwa kesuksesan hanya bisa diukur dengan pekerjaan yang diakui masyarakat luas, bukan kontribusi yang diberikan pada masyarakat kecil atau bidang-bidang lain.
Sayangnya, inilah kenyataannya—Universitas Airlangga, dengan segala kehebatannya, belum berhasil membangun jaringan alumni yang lebih inklusif dan mengundang semua pihak untuk berpartisipasi. Stigma ini, tentu saja, harus dibenahi oleh Rektor baru yang akan datang, yang juga harus melanjutkan legasi besar Rektor sebelumnya dalam hal pencapaian ranking yang tiada habisnya.
Tidak Hanya Sebatas Simbol
Jadi, pada akhirnya, Universitas Airlangga bukan hanya sebuah nama atau simbol. Ia adalah sebuah kisah yang seharusnya lebih dipahami, lebih dihargai, dan lebih dipelajari. Sayangnya, kita masih terlalu sibuk dengan pencapaian rangking dan obral gelar ke para pejabat tinggi di negeri ini yang bisa dibanggakan di depan teman-teman dari kampus lain. Mungkin, jika kita lebih mengenal siapa itu Airlangga, maka kita akan lebih sadar akan betapa besar potensi yang ada di universitas kita, lebih dari sekadar angka-angka dan prestasi yang terus dipertandingkan.
Penulis : Probo Darono Yakti
Editor : Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply