UGM Green Campus? Coba Naik Sepeda Dulu, Baru Kita Bicara

UGM Green Campus? Coba Naik Sepeda Dulu, Baru Kita Bicara

Label UGM sebagai kampus hijau adalah omong kosong. Menyandang peringkat ke-27 dunia dan ke-3 di Indonesia dalam UI Green Metric (pemeringkatan kampus hijau berstandar internasional) ternyata hanyalah bualan belaka. Pelabelan Green Campus itu sangat-sangat tidak kami (mahasiswa UGM) rasakan.

Memang, UGM itu hijau: banyak pohonnya, ada hutannya, bahkan punya lembah sendiri. Akan tetapi, jika kendaraan berbahan bakar konvensional masih menyerbu setiap kantong parkir yang semakin hari semakin sesak, berarti kampus hijau baru berhenti pada tanam-tanam doang, dong? Sedangkan, usaha kampus untuk mengimplementasikan konsep hijau ke dalam kehidupan sehari-hari sivitasnya masih nihil.

Penggunaan sepeda yang “seharusnya” dapat membantu mengurangi mobilitas kendaraan bermotor adalah salah satu indikator kenihilan itu. Potensi untuk berduel dengan kendaraan yang lebih besar, penerangan yang minim pada malam hari, hingga keberadaan yang tidak diakui oleh pihak kampus adalah beberapa masalah yang masih mendera para pengguna sepeda.

Rawan Adu Body dengan Pengguna Kendaraan Bermotor

Lajur sepeda di UGM itu seperti enggak niat dibuat (atau hanya buat paes-paes?). Bayangkan; dari Jalan Teknika di barat, Jalan Agro di timur, hingga Jalan Persatuan yang membelah klaster soshum dengan saintek, juga jalan-jalan lain yang ada di dalam dan yang memutari UGM; lajur sepeda yang tersedia hanya berupa cat berwarna kuning yang dibuat memanjang-terpisah seperti marka jalan.

Tentunya, tanda yang dibuat terihat samar-samar untuk menegaskan bahwa jalur ini untuk siapa dan yang itu untuk siapa. Padahal kita semua tahu, pengguna jalan raya bukan hanya pesepeda, tetapi juga kendaraan bermotor dengan body yang pastinya lebih ampuh.

Sehingga, jika Anda memutuskan bersepeda di Kawasan UGM, itu sama saja dengan mengajak adu body kendaraan-kendaraan bermotor, seperti sepeda motor, mobil, hingga bus. Selain itu, andaikan saja pengendara sepeda bertemu dengan pengendara sepeda motor yang sama-sama ugal-ugalan, pastinya dapat diperkirakan siapa yang sampai akhirat duluan.

Pengguna Sepeda Belum Diakui Oleh UGM

Jika Anda masuk ke UGM lewat bundaran Jalan Cik Di Tiro atau Jembatan Perawan, anda sudah pasti akan temukan sebuah rekayasa lalu lintas di sebelah pos PK4L. Di situ tertata traffic cone yang digunakan sebagai pembatas lajur antara pengguna kendaraan roda dua dan roda selain dua.

Yang menjadi masalah adalah rambu lalu lintas yang menunjukkan lajur untuk kendaraan roda dua hanya bergambar sepeda motor. Padahal, lajur yang dipakai di situ adalah lajur sepeda. Hal itu tentu memantik sebuah pertanyaan: apakah UGM belum mengakui pengguna sepeda? Atau, malah saat rambu lalu lintas itu dibeli, tokonya sedang kehabisan stok untuk rambu yang bergambar sepeda?

Singkatnya,  jika ada pesepeda melewati lajur tersebut berarti mereka telah melanggar ketentuan berlalu lintas. Akan tetapi, jika lewat lajur yang lebih luas di sampingnya, yang diperuntukkan untuk kendaraan selain roda dua, mereka juga masih melanggar. Lewat trotoar pun begitu, karena trotoar adalah ruang untuk pejalan kaki.

Ya, mungkin itulah nasib jika tidak diakui: maju kena, mundur kena, naik turun juga kena!

Penerangan Jalan yang Minim Pada Malam Hari

UGM itu eksklusif! Salah satu buktinya adalah lampu jalan yang hanya digunakan untuk menerangi area dalam kampus saja. Padahal, mahasiswanya tak mungkin tidur di dalam area UGM, kecuali hanya segelintir yang tinggal di asrama Bulaksumur atau jika UGM membangun kost di Lapangan Pancasila.

Akibatnya, mahasiswa yang  menggunakan sepeda dan harus pulang saat malam hari, harus rela berhadapan dengan gelap. Tengok saja jalan Agro sebelah timur dan Jalan Persatuan. Implikasi lanjutannya adalah potensi kejahatan yang lebih besar di area yang seperti itu. Dan, kita semua pasti tahu kalau kejahatan jalanan adalah salah satu hal yang paling membuat Jogja terkenal.

“UGM Kampus Hijau” Adalah Omong Kosong

Wahai mahasiswa UGM, jangan bangga dulu dengan sertifikasi kampus kalian di UI Green Metric. Justru, kalian harus mempertanyakan, “kok bisa UGM mendapatkannya?” Padahal, memanajemen penggunaan kendaraan berbahan bakar konvensional saja mereka tidak bisa.

Malahan, kalau saya amati, alasan UGM bisa sampai mendapatkan peringkat ke-27 tingkat dunia di UI Green Metric adalah karena beli, beli, dan beli segala sarana dan prasarana yang bisa menunjukkan “kehijauan” itu. Misalnya pembelian Trans Gadjah Mada, sebuah bus listrik yang “katanya” digunakan untuk mobilitas mahasiswa intra kampus. Padahal, “nyatanya” setiap hari bus itu selalu sepi penumpang dan mobilitas mahasiswa tetap dilakukan dengan pembakaran bensin.

Serupa tapi beda, sepeda kampus juga didera masalah yang sama. Sepedanya sudah beli, haltenya sudah ada, tapi sayangnya komitmen kampus yang masih belum ada. Ya, mungkin masih dalam rangka biar kelihatan hijau dan yang penting mendapat nama di kancah internasional. Kalau untuk mengelolanya, tentu pikir belakangan.

Akan tetapi, dengan adanya masalah ini, saya mengimbau Anda untuk tidak heran. Karena, perguruan tinggi masa kini yang seharusnya menjadi tempat untuk mengembangkan diri memang sudah bertransformasi menjadi alat neoliberalisasi. Tinggal kita tunggu saja perbaikan-perbaikan apa yang akan UGM lakukan untuk kedepannya!

 

Penulis : Muhammad Muflihun

Editor : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga : Arema FC dan Aremania, Masihkah Mewakili Suara Arek Malang? atau kolom esai lainnya

Muhamad Muflihun

One response to “UGM Green Campus? Coba Naik Sepeda Dulu, Baru Kita Bicara”

  1. […] Juga : UGM Green Campus? Coba Naik Sepeda Dulu, Baru Kita Bicara atau kolom esai […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *