Kemanusiaan – Cerpen Karya Wildanne

Kemanusiaan – Cerpen Karya Wildanne

Banjarmasin, 2027.

Kota yang menantang untuk melawan hidup dan aturan-aturan, begitu komentar Pak Asmuni ketika mendengar ceritaku tentang bagaimana kami sebelum ini diam-diam merayakan cinta di Banjarmasin. Seperti bunga yang tumbuh dari kegelapan, seperti mimpi mengakar dan berbuah di sepanjang sungai keruh.

Namanya Abdi, seorang altruis sejati yang kurus, begitu rapuh fisiknya seperti batang kayu kering yang sudah ditatap nafsu oleh kakek-kakek pembawa korek dan bensin di pagi minggu untuk dibakar, tidak untuk membersihkan halaman rumah dari ranting-ranting, namun hanya sebagai upaya memberi kegiatan kepada waktu, agar kebosanan tak membunuhnya dengan sadis.

Bibirnya tipis, putih seperti tulang dan kurus tersisa tulang, ketika ia tersenyum, hanya tersisa kebahagiaan yang bisa kau lihat darinya, sebab segala yang ia miliki sejak lahir, telah ia persembahkan kepada semua orang yang ia cintai. Semua keringatnya, semua serat-serat ototnya, semua panca indranya hidup untuk manifestasi cinta kepada ayah dan ibu, kepada adik-adik, kepada teman-teman bermain, kepada guru, kepada pengemis yang bermukim di tempat sampah depan rumahnya.

“Kupersembahkan padamu, waktuku”, bisiknya.

Kami menikmati tawa sambil memilah-milah, tangan mana yang akan menyeberang meja dan mengantarkan mi, atau bakso ke masing-masing mulut kami. Siang begitu terik di Veteran hingga peluh seperti hujan di tubuhku.

Senin siang, kami merayakan ulang tahunnya yang ke-21 dengan warung bakmi yang pertama kali kami kunjungi. Berisikan enam meja untuk masing-masing empat kursi, kami satu-satunya pengunjung di jam menuju petang. Para buruh harus kembali bekerja, kembali termenung menatap layar: sebuah kesempatan emas bagi kami untuk bergurau sepuasnya.

“Seperti apa rasanya bebas?”

Abdi tersipu dan mengambil es tehnya cepat-cepat. “Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk”, desisnya.

Kami terbahak-bahak sampai tuntas makan siang. Abdi menyukai mi yang lembut, direndam kuah dengan nuansa bawang-kaldu-dan bahan-bahan yang kami tebak bayangkan sambil berjalan menuju siring. Melalui lalu lalang pengendara dengan plat yang semakin beragam.

“Bakso adalah cinta pertamaku,” celetukku.

“Tapi mas selalu mengeluh seperti sapi setiap kali merengek minta bakso di tengah malam!” balasnya

“Namanya cinta juga?”

“Ya itu namanya mengganggu tetangga kos.”

Aku melihat sekelebat mata ketika menyeberang jalan.

“Ngomong-ngomong, gimana kabar proyekmu?” balasku.

Abdi berdecak dan tiba-tiba murung.

“Dokumen-dokumenku tidak ditemukan, mas. Tukang servis komputer kemarin tak berkata banyak ketika aku memohon dengan upaya lebih. Bahkan teman-teman yang dulu mulai tertarik dengan penjelasanku, tak bisa lagi dihubungi.”

“Ada orang yang mengancam dirimu?”

“Mungkin seharusnya tamu-tamu kemarin kita jamu dan jawab lebih baik, mas. Aku dengar Indonesia tahun depan akan ada kerusuhan besar seperti tahun 98 dulu.”

“Tapi kan kita bukan orang cina—

“menjadi cina juga tak pernah jadi dosa.”

“dan, ah.. dosa, ya..”

Kami terdiam. Menikmati sepanjang siring dengan matahari yang tak sekacau-kacaunya terik, panas yang moderat. Ada angin-angin membawa aroma sungai, rerimbunan pohon di seberang jalan, bau-bau pentol, dan ada tipis aroma soto, anak kecil merengek beli gulali. Abdi juga suka gulali.

Aku membelikannya dua bungkus dari seorang bapak tiga anak kembar (tak jauh darinya sedang bermain gelembung tiup) dengan wajah terlipat, kami singgah duduk sementara di dekat patung bekantan. Ada anak-anak SMA yang bermain basket, tak jauh dari kami. Ada sekelebat kumpulan mata merah menyala.

“Mengapa kita tak boleh mencintai segala sesuatu?” gumam Abdi sambil mengulum gulali yang retak. “Padahal mas orang baik, dan mas juga sebut aku orang baik.”

Bilah lidi gulali tak pernah kulihat setajam ini. Lapangan basket hening tanpa aroma pentol dan soto, dari penjuru jalan bermunculan manusia-manusia berwajah merah dan mata yang membakar.

 

Baca Juga: Puzzle – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom cerpen lainnya

Wildanne

One response to “Kemanusiaan – Cerpen Karya Wildanne”

  1. […] Juga: Kemanusiaan – Cerpen Karya Wildanne atau kolom cerpen […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *