Mereka duduk di kafe kecil di sudut Jalan Suryodiningrat, yang tampak seperti persilangan antara studio lukis dan kamar remaja yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampu kuning temaram menggantung dari langit-langit rendah, dan meja-meja kayu berjamur dengan taplak rajutan tampak seperti terpaksa menerima tugas baru setelah gagal menjadi properti fotografi vintage. Di luar, hujan turun malas-malasan, seperti sekadar basa-basi cuaca yang enggan bubar.
Alana menekuk kaki di kursinya. Sandalnya sudah lepas sejak mereka memesan es krim dua rasa—cokelat dan vanila—yang datang dalam mangkuk bundar dari kaca berembun.
“Vanila itu hambar,” kata Adi sambil menyendok bagian cokelat yang mulai mencair di sisi kanan. “Kayak kamu waktu debat kemarin.”
Alana tidak menjawab. Ia hanya menatap sendoknya yang menggali pelan-pelan bagian vanila, seolah berharap rasa itu berubah jadi jawaban dari soal-soal hidup yang belum ia selesaikan. “Dan kamu terlalu manis,” katanya akhirnya. “Manis yang capek.”
Adi tertawa. Jenis tawa yang datar, yang membuat udara di sekitarnya agak pengap. Seorang barista berambut gimbal memutar lagu klasik dengan piano berat, yang terdengar seperti soundtrack dari video edukasi tahun 80-an.
“Aku heran kenapa kita masih pacaran,” ujar Adi sambil menyodorkan es krim ke tengah meja, seolah-olah itu bom waktu dan ia tak ingin memegangnya lebih lama.
“Karena kita malas mencari yang baru,” jawab Alana, datar. “Karena kita suka bertengkar dengan orang yang kita kenal baik.”
Adi menyeringai. “Dan karena kamu nggak tahan hidup tanpa aku, kan?”
Alana diam. Ia menatap hujan. Di kaca jendela, garis-garis air membentuk pola yang tampak seperti sketsa wajah seseorang yang menyesal pernah jatuh cinta. Mereka pernah bahagia. Atau, setidaknya, pernah merasa bahagia di antara perdebatan tentang hal-hal kecil yang tak selesai: arah jemuran, suhu AC, dan apakah pernikahan itu konsep yang dibuat untuk membuat manusia percaya bahwa cinta harus punya sertifikat.
Kafe itu pernah jadi tempat mereka pertama kali saling menolak. Saat Adi bilang, “Aku nggak percaya pernikahan,” dan Alana menjawab, “Aku juga.” Mereka tertawa lama. Mereka pikir itu lucu. Dan mereka pikir, lucu adalah fondasi yang cukup untuk membangun sesuatu yang tahan badai. Hari ini, es krim mencair lebih cepat dari biasanya.
“Menurut kamu, siapa yang lebih dulu bosan?” tanya Alana.
“Bosan apa?”
“Dengan semua ini. Duduk, ngobrol, saling sindir, makan sesuatu yang manis tapi nggak pernah benar-benar terasa manis.”
Adi menjawab setelah jeda yang cukup lama untuk membuat Alana mengira ia takkan menjawab. “Mungkin kita bukan bosan. Mungkin kita cuma lapar.”
“Hah?”
“Lapar perhatian. Lapar validasi. Lapar alasan buat marah.”
Alana mencibir. “Kamu barusan kayak caption Instagram selebgram putus cinta.”
“Karena mungkin aku selebgram di dunia lain. Dan kamu followers setiaku yang diam-diam ngelike semua postinganku meskipun udah unfollow.”
“Dan mungkin dunia lain itu lebih waras dari yang ini.”
Mereka tertawa, kali ini serempak. Tapi tawanya pendek, seperti sendawa yang gagal dikeluarkan sepenuhnya. Seorang anak kecil lewat di luar, berlari dengan jas hujan warna kuning menyala, menendang genangan air dan tertawa seolah dunia hanya berisi air hujan dan kesempatan untuk main kotor. Alana menatap bocah itu lama, seakan ada sesuatu di kepalanya yang ingin dikembalikan ke versi umur tujuh tahun.
“Aku masih simpan tiket bioskop pertama kita, tahu,” kata Alana tiba-tiba.
“Yang nonton film jelek itu?”
“Iya. Yang ending-nya aneh dan kamu ketiduran setengah film.”
“Karena kamu megang tanganku kayak narapidana megang jeruji.”
“Dan kamu cium aku di eskalator.”
“Padahal aku alergi mesra-mesraan di tempat umum.”
“Tapi kamu suka.”
“Suka.”
Sunyi menggantung sebentar. Lalu, Alana menyentuh sendok, mencampur lelehan vanila dan cokelat dalam satu pusaran lambat. Campuran warnanya tidak lagi menarik. Seperti mimpi yang sudah kelamaan dibicarakan tapi tak pernah dilaksanakan.
“Kita bubar aja, ya,” katanya.
Adi mengangkat alis. “Bubar es krimnya?”
“Bubar kita-nya.”
Adi menatap Alana. Lalu ke luar jendela. Lalu ke mangkuk es krim. Lalu ke sendoknya. Lalu ke kukunya yang sedikit mengelupas. “Kamu serius?” tanyannya kemudian.
Alana tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, sekali, dan cukup tegas. Seolah kata “ya” bisa memecahkan gelas. Mereka kembali diam. Hujan makin deras. Lagu piano berganti jadi suara saxophone mendayu yang terasa tidak perlu. Seorang pelanggan lain batuk, keras, seakan ingin mengingatkan dunia bahwa ada orang lain di ruangan itu. Lima menit berlalu.
Adi masih menatap es krim. “Jadi, kita bubar, tapi masih di sini?” tanyanya.
“Kenapa nggak? Ini tempat umum. Kamu bayar es krimmu sendiri.”
“Dan kamu bayar hatimu sendiri?”
Alana nyengir. “Cih, drama.”
Adi berdiri, mengambil tas kecilnya, lalu duduk kembali.
“Lho?”
“Aku lupa payung. Dan kita nggak bisa bubar dengan dramatis kalau hujan terlalu deras. Nggak sinematik.”
“Lucu kamu.”
“Aku tahu.”
Mereka duduk diam lagi. Mangkuk es krim hampir kosong. Yang tersisa hanya cairan manis berwarna cokelat muda dan beberapa potongan kacang mete yang tenggelam. Hujan mulai reda. Tapi belum cukup reda untuk adegan klimaks. Mereka tahu itu.
“Kalau nanti kita ketemu lagi, pura-pura nggak kenal aja, ya,” kata Adi.
“Kenapa?”
“Biar lebih mudah berpura-pura kita nggak pernah punya yang seperti ini.”
Alana mengangguk. “Oke.”
Adi berdiri. Kali ini benar-benar pergi. Melangkah ke pintu dengan gerakan seperti penari kabaret pensiun. Alana tidak menoleh. Ia mencuci tangan dengan tisu basah, lalu menyeka sudut meja yang basah oleh es krim cair. Saat ia hendak bangkit, Adi kembali masuk.
“Alana.”
“Apa?”
Adi menatapnya lama. Hujan kembali turun di luar, mendadak. Seperti efek suara yang keliru masuk. “Kita nggak pernah pesan topping cokelat cair tadi, ya?” kata Adi, menatap lelehan cokelat yang membentuk pola acak di antara vanila dan remah-remah tisu basah.
Alana terdiam. Ia menatap mangkuk es krim. Lalu wajah Adi. Lalu pelayan di belakang meja kasir yang tak pernah berhenti menatap mereka sejak tadi. Lalu, tiba-tiba, ia tertawa. Bukan tawa lega. Bukan tawa bahagia. Tapi tawa orang yang baru sadar bahwa seluruh lelehan es krim di meja tadi bukan sekadar tentang vanila atau cokelat, atau pertengkaran, atau patah hati. Tapi tentang sesuatu yang mungkin sengaja mereka lupakan sejak awal, tidak ada es krim rasa vanila hari itu. Yang mereka pesan, sebenarnya: Cokelat dengan kacang, dan sedikit saus karamel yang kebetulan warnanya mirip vanila.
“Sial,” gumam Alana pelan, lalu tertawa lagi.
Adi menyeka tangannya ke celana jins yang sudah basah kuyup sejak sepuluh menit lalu. Ia menatap Alana seperti seseorang yang berusaha menghafal etalase terakhir sebelum toko tutup selamanya.
“Aku pulang,” katanya, nyaris seperti gumam. “Mau hujan atau nggak.”
Alana mengangguk, tanpa menyahut. Tidak ada pelukan. Hanya suara sandal yang pelan-pelan menjauh di antara hujan dan sisa pertengkaran yang belum sempat diberi judul. Lalu ia mengambil sendok plastik, menyeret sisa es krim vanila ke sisi yang lebih bersih, mencoba memisahkan cokelat yang sudah terlanjur menyatu.
Alana tetap duduk. Ia memandang meja di depannya seperti sedang menimbang apakah masih layak memakan es krim yang tidak lagi dingin, atau membiarkannya larut sebagai satu-satunya keputusan hari itu.***
Leave a Reply