“Pasti gedung itu lagi,” kataku dalam hati. Aku sering mendengar cerita itu sebelum tidur. Tentang sebuah gedung yang bisa menghapus jejak kehidupan siapa pun yang digiring si penjaga ke sana. Mereka akan lenyap begitu saja, seolah sebelumnya memang tak pernah ada. Salah seorang teman, yang aku kenal ketika menginjakkan kaki di penjara ini, mengatakan bahwa ia pernah mendengar suara bising pada malam sebelumnya.
“Aku masih terjaga saat suara mobil itu makin dekat,” katanya.
“Lalu apa yang terjadi setelah itu?” tanyaku.
“Samar-samar aku melihat mobil itu berhenti di sana.” Ia menunjuk gedung itu.
“Paginya seperti yang kita tahu, mereka yang dibawa lelaki itu, tak pernah kembali.”
Gedung itu sebenarnya terletak tidak jauh dari tempatku. Tetapi untuk ke sana kita musti berjalan jauh memutar, karena ada kubangan air yang besar yang tak dapat kita terabas. Dari tempat ini dapat aku amati, bagian luarnya dikelilingi pagar kayu dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter. Halamannya cukup luas untuk ditumbuhi berbagai macam bunga dan rumput segar. Pintu gedung itu tampak sangat kokoh. Ukurannya cukup besar berwarna coklat kehitaman. Bagaimana dengan bagian dalamnya? Aku hanya bisa menebak-nebak.
Meski sudah banyak yang memperingatkan, sesekali aku mendekati kubangan besar untuk sekedar mengamati gedung itu. Dari tempatku berdiri, bangunan itu nampak begitu gagah. Aku tidak bisa mendengar apapun kecuali kicau burung dan desir angin. Belalang dan binatang kecil lain pun nampak enggan berekspresi, begitu sunyi. Dari celah-celah pagar aku bisa merasakan bahwa gedung itu memang punya hasrat yang kuat untuk menelan kehidupan. Setidaknya itu yang kupikirkan sebelum memutuskan kencing di semak belukar.
***
Didorong rasa penasaran, lewat tengah malam ini kuputuskan untuk mendatangi gedung itu. Bukan tanpa alasan, malam ini bangunan menyeramkan itu nampak sedikit terang. Meskipun samar, aku bisa melihat bahwa lampu pada bagian tengah gedung itu telah menyala. Di ambang pintu, dengan napas terengah-engah, aku mendengar suara yang aku kenal. Jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Bukankah itu suara mereka?
“Siapa yang ada di dalam sana?” aku diliputi pertanyaan.
Beruntung si penjaga lupa mengunci pintu, aku bisa lebih leluasa. Langkahku sangat hati-hati agar tidak mengusik tahanan yang lain. Di luar udara begitu dingin, nyaris kubatalkan niat untuk menyusup lebih dalam sebelum bayangan panjang itu tiba-tiba muncul. Setengah berlari aku mengejarnya, namun ia lenyap di antara rimbun rerumputan. Setelah cukup lama berdiri di tempat bayangan tadi menghilang, cahaya dari dalam gedung itu seolah memerah.
Lagi-lagi sama, tak ada suara apa pun di sekitar sini. Angin seperti enggan menyapaku yang nampak bingung. Selain bagian dalam gedung itu, sekelilingku amat gelap. Kelam malam menelan semuanya, termasuk menelan keberanianku. Aku diam cukup lama sebelum bayangan itu muncul kembali dengan beberapa wajah yang aku kenal.
***
Selain membuka-tutup sel, si penjaga penjara juga bertugas mengawasi kami ketika berada di luar. Memang, di waktu-waktu tertentu di pagi hari, kami dibiarkan menghirup udara segar. Biasanya, lelaki itu akan mengawasi dari bawah pohon besar bersama para penjaga lainnya. Di bawah pohon itu ia lebih sering merokok dan mengasah golok. Sesekali ia akan mendekat ketika salah satu dari kami bergerak terlalu jauh, meski ia tahu kami tak mungkin bisa kabur dari kawasan ini.
Menjelang siang hari, biasanya dua atau tiga orang, dengan kaos oblong dan sarung yang dikenakan secara serampangan, akan berjalan mendekat ke arahnya. Dan jika sudah begitu, maka ia akan tertawa, karena memang merekalah yang sejak mula ia tunggu. Salah satu di antara mereka kerap membawa berikat-ikat uang. Kata temanku, itu uang sogokan. Kata yang lainnya, itu uang hasil jual-beli organ.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini yang mendatangi si penjaga penjara adalah seorang perempuan. Tubuhnya tinggi dan ramping. Rambutnya tidak terlalu panjang, bahkan tidak menyentuh pundak dan sedikit kecoklatan. Udara begitu panas sebelum ia datang, bahkan di bawah pohon besar itu sekalipun. Namun entahlah, saat ia tiba, terik mentari seakan malu menunjukkan diri. Perempuan itu datang dengan kertas di tangannya. Dari tempatku berdiri, bisa kulihat kertas itu bertuliskan deretan nama-nama. Mungkinkah namaku ada di salah satu deretan itu? Sekali lagi, aku hanya bisa menebak-nebak.
***
Dari desas-desus yang ada di penjara, hari ini aku akan dipindahkan ke gedung itu. Kata salah satu di antara kami, gedung itu adalah tempat pembantaian. Gedung yang selama ini bertanggung jawab atas menghilangnya teman-temanku. Kabarnya aku tak dipindahkan sendirian, melainkan dengan beberapa penghuni penjara lainnya. Sejak pagi si penjaga penjara melakukan pengamatan kepada kami. Ia datang dengan sebuah catatan. Selesai mengamati wajah dan tubuh kami, ia semprotkan cat ke punggung masing-masing dari kami. Cat merah yang bertuliskan angka tertentu. Masing-masing dari kami ada yang memiliki angka yang sama. Tapi tidak sedikit juga yang memiliki angka yang berbeda.
Semula aku belum menemukan apa-apa. Dari dalam, gedung ini nampak jauh lebih luas dari yang aku kira. Berbeda dengan mimpi dan kesan yang aku rasakan, gedung ini terasa begitu aman dan nyaman. Terdapat delapan bilik kamar, ini pas dengan jumlah kami. Masing-masing bilik dipisahkan oleh sebuah sekat sederhana. Setidaknya kami tidak harus berdesakan untuk tidur seperti di penjara. Ada satu ruangan yang lebih besar di bagian ujung gedung ini. Apa yang ada di dalam sana? Tak satupun dari kami yang tahu.
Benar saja, di sini segalanya jauh lebih baik. Rasanya tidak mungkin gedung ini menjadi penyebab hilangnya para tahanan beberapa hari belakangan. Pagi-pagi sekali si penjaga penjara akan membawa kami keluar. Memberi kesempatan kami menghirup udara bersih dalam-dalam. Makanan dan minuman disediakan jauh lebih banyak ketimbang di penjara. Gambaran jagal organ dan pembantaian yang selama ini digembar-gemborkan perlahan hilang. Tapi bagaimana pun kami tak boleh terlena, kami musti tetap berhati-hati.
Kami kembali ke gedung menjelang petang. Sesampainya di sini, si penjaga penjara akan mulai membersihkan semuanya. Bilik yang kerap berantakan dirapikannya satu-persatu, makanan dan minuman untuk kami segera disiapkan, dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Sejak pindah kemari lelaki paruh baya itu tampak lebih ceria. Padahal jika diperhatikan pekerjaanya bertambah.
Sebulan berlalu dan pintu ruangan besar di ujung gedung itu dibuka. Dari bilikku tak begitu jelas sehingga aku tidak tau apa yang ada di dalam sana. Yang jelas, beberapa lelaki yang belum pernah aku lihat sibuk membersihkan ruangan itu. Seisi gedung menjadi basah karena mereka menumpahkan begitu banyak air. Tidak lama mulai tercium bau anyir. Tampaknya di dalam sana baunya begitu menyengat, hingga orang-orang itu menutup hidung.
Udara mulai terasa panas dan kami tidak juga diminta keluar seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada makanan yang disiapkan, masing-masing kami hanya diberi beberapa teguk air sejak pagi tadi. Tentu kami mulai bertanya satu sama lain, kapan kita akan dibawa keluar? Dan kapan jatah makan diberikan? Keadaan semakin riuh saat si penjaga penjara dan orang-orang keluar. Beberapa di antaranya membawa golok dan beberapa lainnya mengenakan sarung tangan dan masker.
Mereka nampak merundingkan sesuatu. Salah seorang di antaranya menghampiri temanku yang berada di bilik nomor delapan. Ia diminta untuk masuk ke ruangan itu. Setelah pintunya di tutup suasana hening. Satu-satunya yang dapat aku dengar adalah dengung yang mereka ucapkan berulang-ulang. Dengung yang kian lama kian keras.
Setelah cukup lama, akhirnya pintu ruangan itu kembali terbuka. Kulihat dua orang mulai membersihkan tumpahan air dari dalam sana. Aku mencium bau yang sama seperti sebelumnya, kali ini semakin kuat. Jika diperhatikan, warna airnya sama seperti cahaya yang aku lihat malam itu. Kemerahan. Alih-alih melihat temanku keluar, mereka justru membawa penghuni bilik nomor tujuh untuk segera masuk. Kembali terdengar dengung yang sama. Dengung yang sesekali membuatku begidik, tapi sesekali juga aku cerna membuat hatiku lega. Kejadiannya pun berulang. Pintu terbuka dan tak satupun dari mereka kembali.
Aku yang terakhir, tak ada yang tersisa. Di tempat ini, kini aku melihat semuanya. Teman-temanku, yang kerap memperingatkanku, tersenyum dengan wajah dan tubuh yang terpisah. Perut mereka dibelah, kaki-kaki mereka dipotong, lalu diletakkan di meja-meja yang berbeda. “Allahu Akbar… Alahu Akbar… Allahu Akbar…” dengung itu terus berulang dan melingkar di telingaku. Aku ambruk. Seseorang dengan peci hitam dan sebilah golok yang mengkilat di tangan kanannya berdiri begitu dekat. []
Leave a Reply