Surabaya, Sebuah peristiwa sastra dan seni lintas medium digelar pada Selasa (22/07) siang di Cakrawala Kata, Surabaya. Kegiatan bertajuk “Temu Lumpur: Buku Ini Pernah Mati”. Acara yang digagas Penerbit Lumpur ini sekaligus menjadi penanda cetakan ketiga dari kumpulan puisi Sebagai Daun yang Tak Pernah Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api, karya Adnan Guntur.
Kegiatan berlangsung terbuka dan diisi dengan pembacaan puisi, pameran visual, pertunjukan, hingga pasar seni yang partisipatif. Adnan Guntur, dalam pengantar cetakan barunya, menulis bahwa ia tidak berniat “menerbitkan ulang”, melainkan sekadar “membuka pintu” bagi teks untuk tumbuh dengan sendirinya. Buku ini, menurutnya, bukan untuk dihidupkan kembali, tapi untuk dibiarkan tumbuh menjadi sesuatu yang lain.
Puisi yang Tak Lagi Duduk Manis
Acara dibuka dengan Pidato Puisi oleh M.A. Haris Firismanda, akademisi yang sedang menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Surabaya. Dalam pidatonya, Haris menyoroti transformasi puisi Adnan yang tak lagi bisa dibaca sebagai teks utuh, melainkan serpihan energi yang menyeret pembaca ke tepian makna. Ia menyebut puisi-puisi dalam buku ini sebagai “fragmen tubuh yang luka tapi tak ingin sembuh.”
Tak kalah seru sesi pidato dilanjutkan oleh Viper Berbisa, penulis muda yang menyajikan pidato puisi dalam format monolog teatrikal. Pidato ini mengaburkan batas antara pertunjukan dan pembacaan, meminjam bahasa kekerasan, kelindan kelamin, serta absurditas sebagai cara bertutur yang radikal.
Visualisasi, Pasar, dan Pelibatan Tubuh
Salah satu hal yang juga menarik adalah Pameran Visualisasi Puisi. Kegiatan hasil kolaborasi dengan komunitas Kura Fotografi. Dalam ruang ini, puisi tak lagi tampil dalam teks, melainkan sebagai citraan visual yang dibekukan dari fragmen baris-baris sajak Adnan.
Pada sore harinya, Cak Su, seniman urban yang dikenal lewat eksperimentasi visual dan grafis jalanan, membawakan Pidato Visualisasi Puisi. Lewat montase gambar, proyeksi cahaya, dan serpihan teks yang ditumpuk secara acak, Cak Su menyampaikan bahwa “puisi seharusnya tidak dibaca, melainkan dilihat ketika ia ingin hilang.” Penampilannya disambut hening yang tak nyaman, kemudian tepuk tangan kecil dari sudut ruangan.
Tak hanya itu, Lapak Seni dan Melukis Puisi Dadakan menjadi arena bermain dan berkarya bersama. Semua peserta mengambil kuas, krayon, atau bahkan tanah, lalu menulis atau menggambar puisi yang mereka rasakan saat itu juga. Kertas tak rapi bergantungan di tali jemuran, menjadi semacam pameran instan yang terus berganti bentuk.
Penampilan Lintas Medium
Agenda malam menjadi puncak atmosfer performatif acara ini. Igo Marvel membawakan puisi-puisi dari buku Adnan dalam bentuk musikalisasi eksperimental. Diikuti oleh Alvin BBX yang membawakan puisi dengan teknik beatbox. Selanjutnya, Teater Mata Angin, Teater Gapus Surabaya, dan Teater Q menyuguhkan fragmen dramatik dari puisi-puisi Adnan, membacanya sebagai naskah panggung yang tidak linear. Beberapa adegan disusun dalam format improvisasi penuh tubuh dan isyarat, menyerupai ritual atau trance ketubuhan.
Lomba yang Tidak Mencari Pemenang
Dalam rangkaian acara, digelar pula Lomba Cipta Puisi yang dibuka sejak awal Juli dan diumumkan pada 24 Juli 2025. Namun panitia menegaskan, tujuan lomba bukanlah kompetisi semata, melainkan laboratorium terbuka bagi siapa pun untuk merespons puisi Adnan secara bebas. Beberapa karya bahkan tampil sebagai puisi visual, kolase teks, dan puisi dalam bentuk suara rekaman.
“Kami ingin menciptakan suasana di mana puisi tidak dikhususkan bagi yang ‘sudah bisa’ atau ‘sudah mapan’, melainkan bagi siapa saja yang bersedia disesatkan oleh kata-kata,” ungkap Adnan Guntur saat ditemui di sela acara.
Yang Menolak Dihidupkan
Kumpulan puisi Sebagai Daun yang Tak Pernah Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api pertama kali diterbitkan tahun 2021. Buku ini tidak pernah dicetak ulang secara massif. Kini, dalam cetakan ketiganya, Adnan menyatakan bahwa versi ini bukan “pembaruan”, tapi “perhentian”. Buku ini, katanya, telah memilih jalannya sendiri. “Saya hanya pembuka pintu,” tulisnya.
Acara ini pun membuktikan bahwa teks tidak harus sakral untuk menjadi hidup. Puisi tidak harus selesai untuk menyapa. Dan pembaca tidak harus paham untuk mencintai. Ini semaam upaya menggugat cara memperlakukan puisi: sebagai benda, sebagai makna, sebagai estetika, bahkan sebagai penyelamat.
Leave a Reply