Bekal Terakhir – Cerpen Karya Yuditeha

Bekal Terakhir – Cerpen Karya Yuditeha

Malam ini suamiku akan kembali berangkat berlayar. Baju bersih dan perlengkapan miliknya sudah kumasukkan ke koper. Empat jam lagi, aku akan mengantarnya menuju stasiun. Aku masih sibuk di dapur, memasak rawon yang tadi sempat diminta suamiku.

“Apa aku merepotkanmu?” tanya suamiku.

Aku menggeleng. Kemudian meraih sendok dan meminta suamiku mencicipi masakanku.

“Mantap,” jawabnya.

Aku mematikan kompor dan mengajaknya makan. “Tumben kamu ingin makan masakanku di kereta?” tanyaku karena memang hal itu bukan kebiasaannya. Selama enam tahun kami menikah, baru kali ini, ia memintaku dibawakan bekal.

“Tidak tahu, tiba-tiba aku menginginkannya,” jawabnya.

Kami akhirnya makan nasi goreng cumi favorit suamiku yang sebelumnya juga sudah kusiapkan. Sembari membicarakan hal random, aku memberanikan diri untuk kembali meminta izin padanya agar diperbolehkan merawat salah satu anak dari kakakku. Katanya, biar sebagai pancingan agar aku cepat hamil. Sebenarnya aku sudah siap jika kali ini kembali mendapat penolakan. Tapi rupanya, suamiku setuju. Dan itu membuatku sangat senang.

Di perjalanan menuju stasiun, kami memanfaatkan sisa waktu kebersamaan dengan mengobrol. Tentang masa depan, impian, dan apa yang akan kami lakukan saat ia memutuskan pensiun nanti.

Setelah mendapat pelukan dan kecupan kecil di keningku, aku melepas suamiku masuk ke stasiun. Tak lupa aku memberikan tas bekal berisi nasi, rawon, dan segala perlengkapannya.

Aku tidak langsung pulang. Mobil kuarahkan menuju rumah kakakku, bermaksud menyampaikan kabar gembira bahwa aku telah mengantongi restu dari suamiku.

***

Di dalam gerbong kereta yang sedang berjalan, tampak seorang pria dan wanita duduk bersebelahan. Seorang wanita sedang menyantap nasi rawon di dekatnya.

“Kenapa kamu hanya melihatku?” tanya perempuan itu manja.

“Makanlah. Aku sangat ingin memperhatikan pada saat kamu menikmatinya,” jawab si pria.

“Istrimu telah repot memasak makanan lezat untukmu, dan aku yang menghabiskannya. Kamu jahat sekali.”

Pria itu tersenyum.

“Aku senang kamu akhirnya tahu bagaimana rasanya ngidam,” sahut perempuan itu lagi.

Pria itu terlihat mengelus perut perempuan di sebelahnya yang masih tampak rata. Mereka bertukar pandang, terlihat sangat bahagia.

***

Di rumah kakakku, aku disambut dengan pelukan hangat dari keponakanku. Kabar tentang restu suami untuk merawatnya disambut gembira oleh semua anggota keluarga. Kami berbicara panjang lebar tentang rencana ke depan. Aku akan mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan, dan kakakku akan membantu aku beradaptasi. Di tengah kegembiraan itu, ada rasa syukur dalam hatiku karena akhirnya suami mendukung impianku.

Namun, saat perjalananku pulang, perasaan aneh tiba-tiba merayapi pikiran. Suamiku terlalu berbeda malam itu, lebih perhatian, lebih lembut, seakan dia sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi aku menepis pikiran itu. Dia hanya lelah, pikirku.

Tengah malam, saat mencoba memejamkan mata, ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar: Jika kau tahu apa yang dia lakukan, kau akan membencinya.

Aku terpaku, berusaha mengabaikan. Tapi pesan itu terus terngiang semalaman. Esok paginya, aku memutuskan untuk menghubungi suamiku. Namun, ponselnya tidak aktif. Aku mencoba menghibur diri dengan berpikir mungkin dia sedang sibuk di kapal. Namun, perasaan gelisahku tak kunjung hilang. Tak lama berselang,  seorang teman dari suamiku menelepon. Suaranya terdengar ragu-ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya.

“Tentu saja. Ada apa?”

Dia terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku hanya ingin memastikan. Aku melihat suamimu di kereta tadi malam, tapi tidak sendirian.”

Jantungku berdegup kencang. “Maksudmu?”

“Dia bersama seorang perempuan. Mereka terlihat dekat.”

Aku merasa dunia berhenti sejenak. Namun, aku berusaha tetap tenang. “Mungkin hanya teman kerja,” jawabku, lebih kepada diriku sendiri. Namun, rasa curiga terus tumbuh. Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh.

***

Di atas kereta yang melaju ke arah pelabuhan, si pria dan perempuan sedang berbicara tentang rencana mereka, tentang kehidupan yang akan mereka mulai bersama di tempat yang jauh.

“Apa kamu yakin dia tidak curiga?” tanya perempuan itu.

“Tidak. Dia percaya sepenuhnya padaku,” jawabnya tanpa ragu.

Perempuan itu tersenyum, tapi ada kegelisahan di matanya. “Aku hanya ingin kita bahagia tanpa ada beban dari masa lalu.”

Pria itu menggenggam tangan perempuan. “Aku sudah memilihmu. Itu yang terpenting.”

***

Malam berikutnya, aku menerima pesan lain dari nomor asing yang sama: Pergilah ke pelabuhan malam ini jika ingin tahu kebenarannya. Hatiku berdebar kencang. Aku merasa ini seperti mimpi buruk yang ingin segera kuakhiri. Namun, rasa ingin tahuku terlalu besar. Aku memutuskan untuk pergi.

Saat tiba di pelabuhan, aku melihatnya. Suamiku berdiri di dekat kapal, berbicara dengan seorang perempuan. Dari kejauhan, aku bisa melihat mereka tertawa, dan suamiku memeluk perempuan itu dengan hangat. Semua yang kulihat seolah menamparku. Aku merasa ingin mendekat, tapi langkahku terasa berat. Aku hanya berdiri di sana, menyaksikan suamiku berjalan masuk ke kapal bersama perempuan itu. Rasa sakitku sangat nyata.

Esok harinya, aku menerima surat dari suamiku. Isinya singkat: Maaf. Aku harus pergi. Kamu tak perlu mencariku. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Beberapa hari kemudian kakakku mengirim pesan: Anakmu kau jemput kapan?

 

Baca Juga : Kamar Ganti Nomor 0 – Cerpen Adnan Guntur atau kolom cerpen lainnya

Yuditeha

One response to “Bekal Terakhir – Cerpen Karya Yuditeha”

  1. […] Juga : Bekal Terakhir – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom cerpen […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *