Puzzle – Cerpen Karya Yuditeha

Puzzle – Cerpen Karya Yuditeha

Aku menyusun potongan terakhir dari puzzle itu dengan hati-hati. Gambar pantai kecil dengan matahari tenggelam tampak sempurna. Rasanya seperti pencapaian kecil yang manis. Aku menyelesaikan sesuatu yang kau tinggalkan begitu saja di sudut ruangan. Tapi reaksi yang kudapatkan darimu jauh dari bayanganku.

“Bego! Sudah kubilang jangan menyentuh barang-barangku! Apa kamu tidak ngerti apa itu kepuasan?” teriakmu, berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah.

Aku membeku, tak tahu harus berkata apa.

“Kamu itu selalu campur tangan! Urus dirimu sendiri, dan jangan pernah melibatkan aku. Aku juga tidak mau urusan apa pun lagi denganmu!”

Tanganmu tiba-tiba mengangkat papan puzzle itu. Dalam satu hentakan penuh emosi, kau melemparnya ke dinding. Potongan-potongan puzzle berhamburan di lantai, seperti serpihan mimpi yang hancur begitu saja. Aku menangis. Air mataku mengalir tanpa kendali. Aku merasa seperti telah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Hatiku terasa kosong.

Setelah itu kau melangkah pergi, meninggalkanku dan kekacauan itu. Sumpah serapahmu masih kudengar mengikuti langkahmu. Dalam keadaan tubuh lunglai, aku berusaha bangkit lalu berjalan menuju teras. Di sana, aku duduk sendirian, menatap langit sore yang perlahan berubah gelap. Setelah beberapa waktu berlalu, aku mencoba menghubungimu beberapa kali lewat telepon, tapi tak satu pun panggilanku kau angkat.

Seekor kelelawar terbang rendah dan menabrak kepalaku. Aku terkejut, dan kelelawar itu terkapar di lantai teras. Saat aku mencoba mendekat untuk melihatnya, kepalaku mendadak berdenyut hebat, seperti ada sesuatu yang berusaha menekan dari dalam. Tubuhku limbung, pandanganku buram, lambat laun menjadi gelap.

Ketika aku membuka mata, aku berada di atas motor trail bersamamu. Meski jalan yang dilalui berbatu dan berkelok-kelok, tapi kau mengendarainya dengan penuh ketenangan. Aku merekatkan pelukan di pinggangmu, memastikan diriku agar aku benar-benar tetap bersamamu.

“Kamu sudah bangun?” tanyamu tanpa menoleh.

“Ya,” jawabku pelan.

“Bisa kita lanjutkan perjalanan?”

Aku mengangguk meskipun kau tak bisa melihatnya. Motor mulai melesat. Jalan yang kita lewati semakin sulit. Selain berbatu, dan berkelok-kelok, kini ditambah berlubang di sana-sini. Aku ketakutan, tapi aku pasrah. Kalau pun ini adalah akhir, aku siap mati bersamamu.

Akhirnya motor berhenti di sebuah pantai. Lautnya biru kehijauan, pasir putihnya berkilauan diterpa matahari. Tempat itu tampak seperti surga kecil di bumi. Aku melompat dari motor dan berlari ke bibir pantai. Aku bermain air, melupakan semua ketakutan yang tadi sempat menghantuiku. Tapi saat aku menoleh ke arahmu, kau tidak ada di sana. Motor trail yang tadi membawaku juga hilang dari pandangan.

Aku memanggil namamu, namun hanya gema suaraku yang terdengar. Hatiku terasa hampa. Aku berjalan tanpa arah, mencoba menemukan jejakmu, tapi pantai itu terasa semakin luas dan asing. Langkahku membawaku bertemu seorang pria tua. Penampilannya aneh, gigi cokelat, dan matanya menyorot tajam dengan senyuman yang menyeramkan.

“Apa yang kamu cari?” tanyanya tiba-tiba, suaranya parau.

Aku tak menjawab, hanya melangkah mundur. Tapi pria itu melangkah maju, seolah mencoba mendekatiku. Aku panik dan berlari menjauh. Namun langkahku terselip, dan aku terjatuh ke jurang yang tak terlihat sebelumnya.

Begitu tersadar, aku telah di pangkuanmu. Kau menatap langit dengan mata yang khusyuk. Aku memeluk tubuhmu erat, menangis dalam diam. Kau tidak bereaksi apa pun. Tapi aku merasa nyaman di dekatmu, seolah segala ketakutan dan kesedihanku memudar.

“Kamu di sini,” bisikku, dan kamu hanya diam.

Aku memandang sekitar. Tempat itu seperti tidak asing bagiku, pantai yang tadi kulihat adalah bagian dari puzzle yang kususun. Jalan berbatu yang kita lalui pun gambar di salah satu potongan puzzle itu. Bahkan motor trail itu pernah kau lukis di sudut halaman buku catatan yang kau tinggalkan.

Aku mulai mengerti, semuanya itu adalah bagian dari kenangan. Aku memelukmu lebih erat, tapi tubuhmu perlahan memudar. Kau menghilang seperti bayang-bayang yang larut bersama angin. Tangisku pecah begitu aku menyadari bahwa kau sesunggunya sudah pergi sejak lama.

Ketika aku tersadar, aku berada di kamar rumah sakit. Seorang perawat tersenyum simpul, mencoba menenangkanku. “Kamu ditemukan di teras rumah, pingsan. Untung ada tetangga yang cepat melapor,” katanya.

“Aku jatuh?” tanyaku pelan.

“Sepertinya kamu mencoba melompat. Polisi menyebutnya percobaan bunuh diri. Tapi tenang, sekarang kamu aman.”

Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Kejadian di pantai, jalan berbatu, dan pria tua itu hanya ada dalam pikiranku. Tapi apa arti semua itu? Aku merasa seperti kehilangan pegangan.

Dokter yang menanganiku datang. Dia berbicara panjang lebar tentang tekanan dan depresi, lantas menyarankan kepadaku agar aku bicara dengan seorang konselor. Namun pikiranku melayang pada satu hal, kau. Kenangan tentangmu menghantui setiap sudut pikiranku.

Aku ingat perdebatan kita tentang puzzle. Kau selalu bilang bahwa menyusun puzzle adalah cara untuk mengisi kekosongan. “Setiap potongan adalah bagian dari cerita. Kalau semua selesai, itu artinya aku sudah selesai dengan cerita itu,” katamu waktu itu.

Tapi puzzle itu tidak pernah selesai. Kau meninggalkannya begitu saja, seperti kau meninggalkanku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, sampai suatu hari aku menemukan surat yang kau sembunyikan di antara halaman buku catatanmu. Isinya sederhana tapi menghancurkan.

Aku sudah terlalu lelah mencari arti hidup ini. Kalau aku pergi, aku harap kamu bisa menyelesaikan apa yang tak pernah bisa kuselesaikan. Tapi jangan lupa, setiap potongan yang kamu pilih adalah bagian dari dirimu sendiri.

Aku terisak saat membacanya. Sejak hari itu, aku hidup dalam bayanganmu, mencoba melanjutkan apa yang kau tinggalkan. Tapi ternyata, aku hanya mengisi kekosongan dengan kenanganmu, bukan dengan diriku. Malam itu, aku kembali duduk di teras. Angin dingin menerpa wajahku. Aku memandang langit, mencoba mencari jawab. Dalam pikiranku, kau muncul lagi. Kali ini kau tersenyum, bukan dengan amarah, tapi dengan ketenangan yang aneh.

“Kalau kamu terus begitu, aku tidak akan tenang di sini,” suaramu terdengar jelas, meski kau tak ada di depanku. “Aku tidak ingin kamu hidup hanya untuk menyelesaikan apa yang kupilih. Hidupmu adalah milikmu sendiri.”

Aku terdiam. Kata-katamu menancap dalam di pikiranku. Mungkin inilah waktunya aku berhenti menyalahkan diriku sendiri atas kepergianmu. Aku harus menerima bahwa beberapa potongan puzzle tak pernah cocok, dan itu tidak apa-apa.

Aku mengambil napas dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada sedikit ruang kosong di dadaku yang mulai terisi, bukan dengan kenanganmu, tapi dengan harapan kecil untuk diriku sendiri. Dan tentang pazzle itu, aku sudah tahu apa yang mesti kulakukan.***

Baca Juga: Ketika Balita Jengkel – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom Cerpen lainnya

Yuditeha

One response to “Puzzle – Cerpen Karya Yuditeha”

  1. […] Juga: Puzzle – Cerpen Karya Yuditeha atau kolom cerpen […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *