Arema FC dan Aremania, Masihkah Mewakili Suara Arek Malang?

Arema FC dan Aremania, Masihkah Mewakili Suara Arek Malang?

Nama Arema FC kembali mencuat di jagat maya, tepatnya pada Minggu, (11/5). Pelemparan batu yang dilakukan oleh pendukung setia Arema FC — Aremania—terhadap bus rombongan tim Persik Kediri. Hal ini lantaran klub kesayangannya harus takluk dengan skor 0–3. Dua official tim dari Persik Kediri terluka gara-gara ulah ini.

Pertandingan ini menjadi laga resmi pertama yang digelar di Stadion Kanjuruhan, setelah hampir 3 tahun berhenti menyuguhkan pertandingan sepak bola sebab Tragedi Kanjuruhan. Sebagai salah satu bagian dari arek Malang—sebutan bagi warga Malang—izinkan saya meluapkan kekecewaan terhadap aksi yang dilakukan oleh Aremania sekaligus bertanya, masihkah Arema FC dan Aremania mewakili suara arek Malang? Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat bahwa arek Malang dan Aremania adalah dua hal yang berbeda.

Arema, Arek Malang dan Wacana Alternatif

Membebaskan arek Malang dari bayang-bayang Arema FC dan Aremania bukanlah perkara mudah, sebab keyakinan itu sudah kadung menjadi narasi dominan yang lahir dan berkembang di publik. Namun, proses itu bisa dimulai dengan melontarkan wacana alternatif ke ruang publik. Meminjam konsep dari Michel Foucault, wacana tidak sekadar mencerminkan kenyataan, melainkan membentuknya melalui relasi kuasa. Dengan sebab-sebab itulah, melawan wacana dominan berarti memperkenalkan bentuk-bentuk wacana lain yang dapat menyaingi atau menggoyahkan tatanan pengetahuan yang sudah mapan.

Penamaan Arema FC bukan lain adalah bentuk  akronim dari Arek Malang Football Club. Nama yang yang secara tidak langsung menjadi identitas bagi warga Malang. Di manapun arek Malang berada, nama Arema FC dan Aremania akan langsung muncul di kepala setiap orang sebagai representasi utama arek Malang. Alasannya? Berbagai torehan prestasi Arema dan pendukungnya membawa mereka moncer di surat kabar nasional. Gelar the Best Supporter pada tahun 2000 dan 2006, Juara Copa Indonesia pada tahun 2005 dan 2006, dan Juara ISL pada musim 2009/2010. Bahkan, para perantau asal Malang tak jarang menyematkan nama Arema dalam rombong bakso ataupun tokonya. Tak mengherankan jika publik memaknai Arema dan Aremania sebagai representasi dari arek Malang.

Tangis di Kanjuruhan yang Tak Terselesaikan

Oktober 2022, arek Malang menjadi headline di berbagai surat kabar nasional, saat lebih dari 135 nyawa gugur di Kanjuruhan. Saya ulangi, 135 nyawa. Tagar #usuttuntas membanjiri jagat maya. Tak sedikit juga arek Malang yang memperjuangkan hak korban tragedi Kanjuruhan. Puncaknya, 29 Januari 2023, sekumpulan arek Malang mendatangi Kandang Singa—sebutan untuk kantor manajemen Arema FC—menuntut manajemen Arema FC untuk mengusut tragedi Kanjuruhan yang tak kunjung tuntas. Imbas dari peristiwa itu, delapan arek Malang ditangkap sebab laporan manajemen Arema FC ke pihak kepolisian. Alih-alih membela arek Malang, Aremania berteriak “logo ini tidak bersalah!” kepada publik—sikap ironis di tengah duka ratusan keluarga korban.

Jagat maya kembali menyoroti apa yang diperbuat oleh Aremania, lantaran pembelaan yang dinilai tak masuk akal. Sejak kejadian itu, beberapa arek Malang bersuara lantang bahwa arek Malang dan Aremania adalah dua hal yang terpisah. Beberapa arek Malang tetap menyuarakan keadilan bagi korban tragedi, satu dari suara itu berasal dari ebes Midun. Pria senja yang mengayuh sepedanya dari Malang hingga Jakarta untuk menyuarakan keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan. Kayuhan sepeda ebes Midun menjadi salah satu simbol bagi perjuangan arek Malang dalam mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan. Selain itu, berbagai kolektif arek Malang juga mulai bermunculan, salah satunya adalah Malang Collective yang terus aktif menyuarakan keadilan di jagat maya.

Tak Tuntas dan Tak Pernah Belajar Sama Sekali

Hampir 3 tahun berlalu, tagarnya hilang, kasusnya dibiarkan, alih-alih mengusut tuntas tragedi, pemerintah malah sibuk merenovasi. Di lain sisi, manajemen Arema FC berupaya berlindung di balik pemberian santunan kepada keluarga korban agar terlihat peduli. Berdasarkan postingan Instagram @ongisnade.co.id, sebesar 3% dari pendapatan bersih penjualan tiket laga kandang Arema FC di Stadion Kanjuruhan akan diberikan kepada korban tragedi kanjuruhan. Sialnya, ketika keluarga korban tengah berjuang untuk mendapatkan hak restitusi dari negara di akhir tahun 2024 hingga awal tahun 2025, pihak manajemen Arema FC malah menutup mata, telinga dan terdiam seribu bahasa.

Pekan ke-32 dalam lanjutan BRI Liga 1 menjadi momen yang sungguh naas. Stadion Kanjuruhan kembali bersuara pada gelaran pertandingan Arema FC vs Persik Kediri. Gemuruh di tengah perjuangan mendapatkan keadilan bagi korban tragedi Kanjuran. Bahkan beberapa Aremania melarang memasang bendera atau spanduk berisi pesan solidaritas terhadap korban tragedi Kanjuruhan. Tak berselang lama, pasca laga, batu-batu silih berterbangan menuju bus rombongan tim Persik Kediri. Beragam komentar dilontarkan publik terhadap rangkaian aksi itu, bahkan beberapa arek Malang yang bukan Aremania juga terkena imbasnya. Nama arek Malang kembali tercoreng di tengah keadilan korban yang kian kabur. Pertanyaannya, sampai Arema FC dan Aremania bertingkah seperti ini? Apakah kalian benar-benar belajar dari tragedi?

Berpihak Pada Keadilan

Saya beropini bahwa Arema FC dan Aremania akan selamanya seperti itu jika mereka enggan belajar dengan sungguh dari tragedi Kanjuruhan. Jika melihat sejarah, Arema dan Aremania memiliki berbagai torehan prestasi. Saya menilai prestasi itu secara tidak langsung membawa mereka terjerumus ke dalam jurang romantisme masa lalu, enggan belajar, dan selamanya akan seperti itu. Atas nama romantisme masa lalu, beberapa Aremania berpendapat bahwa sudah saatnya move on dari tragedi Kanjuruhan dan kembali mendukung kebanggaan agar kembali meraih kejayaan. Tragedi Kanjuruhan hanya untuk dikenang, bukan diselesaikan, apalagi diperjuangkan.

Alih-alih menemani korban untuk mendapatkan keadilan, manajemen Arema FC hanya memberi santunan melalui penjualan tiket laga kandang di Kanjuruhan. Jika menengok Liverpool FC dan pendukungnya dalam menyuarakan keadilan bagi korban Hillsborough Disaster tahun 1989, kita melihat solidaritas yang konsisten. Manajemen dan supporter berjalan beriringan selama puluhan tahun, hingga akhirnya keadilan tercipta. Mereka tidak melupakan korban dengan dalih move on, sebaliknya, mereka memastikan keadilan untuk korban tercipta dalam tragedi. Berkaca dari itu sudah seharusnya Arema FC dan Aremania mencontoh mereka. Mungkin sudah waktunya kita mempertanyakan ulang, apakah suara arek Malang harus selalu direpresentasikan oleh Arema FC dan Aremania? Atau justru, sudah waktunya suara itu diperjuangkan ulang oleh mereka yang benar-benar peduli terhadap nilai keadilan dan solidaritas. Jika tidak, tragedi akan terus dikenang, tak terselesaikan.

Sudah saatnya suara arek Malang berpihak pada keadilan.

Penulis : Aly Azka

Editor : Imam Gazi Al Farizi

Baca Juga: Buruh di Bawah Bayang Kapitalisme:  Peluh yang Tak Pernah Terbayar Lunas atau kolom esai lainnya

Aly Azka

One response to “Arema FC dan Aremania, Masihkah Mewakili Suara Arek Malang?”

  1. […] Juga : Arema FC dan Aremania, Masihkah Mewakili Suara Arek Malang? atau kolom esai […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *