Siapa sangka, kalau akhir bulan ini kita berturut-turut merayakan peringatan Hari Bumi (22 April), Hari Buku Sedunia (23 April), dan Hari Puisi Nasional (28 April). Perayaan yang bukan lagi sekadar seremoni tahunan belaka. Ketiganya adalah peringatan akan hal-hal yang perlahan dilupakan anak muda: bumi yang kian rusak, literasi yang makin dangkal, dan bahasa jiwa bernama puisi yang kian sunyi.
Lagi dan lagi, kami mencoba merajut ketiga makna ini menjadi pengalaman yang membumi melalui Gresik Book Party (GBP).
Hari Bumi: Bumi yang Minta Didengarkan
Hari Bumi lahir dari kegelisahan terhadap eksploitasi alam. Rachel Carson lewat Silent Spring (1962) menulis tentang kehancuran ekosistem akibat kerakusan manusia. Di Indonesia, kerusakan lingkungan menjadi fakta di depan mata: abrasi pantai, rusaknya hutan mangrove, dan perubahan iklim yang ekstrim. Eksploitasi alam besar-besaran sudah meluluhlantahkan Sebagian besar dari keberlanjutan kehidupan.
Kali ini GBP mengadakan acara Healing Time, acara yang berlangsung di Mangrove Karangkiring yang dipilih bukan tanpa sebab. Tempat ini adalah ruang hidup yang rapuh, yang sehari-hari menahan laju abrasi untuk pesisir Gresik. Melalui kegiatan Susur Geladak dan Merengkuh Bumi dalam Puisi, peserta diajak bukan hanya menulis, tetapi mengalami langsung: bagaimana rasanya menjejakkan kaki di tanah yang sedang berjuang bertahan.
Kami sebagai partikel kecil dari Gresik harus sadar bahwa isu lingkungan bukan hanya berita di media sosial. Ia adalah soal keberlangsungan nafas sendiri. Refleksi Hari Bumi saat ini mestinya bukan lagi sekadar seremonial tanam pohon semata, melainkan membangun empati ekologis yang dimulai dari hal kecil — seperti berjalan di jembatan mangrove dan mendengar desirnya, entah ini pembelaan atau memang tugas seharusnya lebih dari itu.

Hari Buku Sedunia: Membaca Sebagai Tindakan Menolak Lupa
Badan Pendidikan dan Kebudayaan Dunia, UNESCO menetapkan 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Momentum dimana upaya nyata untuk mendorong tradisi membaca, menulis, dan menghargai hak kekayaan intelektual. Ngomongin membaca, tentu kalian sudah tak begitu asing dengan fakta yang ada di Indonesia. Data terakhir UNESCO menyebutkan jika minat baca di tanah air masih tergolong rendah — indeks membaca kita hanya 0,001, artinya dari 1000 orang, hanya 1 orang yang rajin membaca. Ditambah lagi anak muda hari ini hidup dalam derasnya arus visual: video pendek, reels, swipe yang tanpa akhir. Lantas buku yang menuntut perhatian dan ketekunan, tak lebih terasa seperti beban.
Melalui Healing Time, Gresik Book Party menawarkan jalan lain: membaca alam, membaca sesama, membaca diri sendiri lewat kata-kata. Buku tidak hanya berarti teks cetak, melainkan keterbukaan untuk menyerap cerita, sejarah, dan perasaan. Susur Geladak yang kami lakukan adalah semacam “membaca bumi”, sementara sesi Keluh Kasih Gresik menjadi “membaca kota” — mengurai keresahan atas kampung halaman yang berubah dan bersautan atas bagaimana kabar Gresik hari ini? Selain pabrik, polusi, panas, macet, dan truck-truck yang sudah mendarah daging di setiap sudutnya.
Membaca, dalam arti sejatinya, adalah tindakan melawan amnesia kolektif.
Hari Puisi Nasional: Merangkai Kata Menghidupkan Ide-ide Gila
Satu lagi yang baru saja kita rayakan kemarin, yakni Hari Puisi Nasional. Hari yang memang dirayakan untuk mengenang Chairil Anwar, penyair yang mengubah wajah puisi Indonesia. Chairil memperkenalkan bahasa baru: lugas, keras, liar, dan emosional. Ia berkata dalam puisinya:
“Sekali berarti, sudah itu mati. “Bagi Chairil, menulis puisi adalah keberanian untuk hidup sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah. Namun hari ini, puisi sering direduksi menjadi caption estetik atau sekadar hiasan. Padahal puisi adalah alat melawan keterasingan, kemuakan, dan ketidakadilan.
Di Healing Time, puisi diperlakukan sebagai perlawanan halus. Dalam sesi Menyuarakan Puisi, peserta bukan hanya membaca teks, tetapi menyuarakan kegelisahan atas bumi yang dilupakan, kota yang kehilangan arah, diri yang terasing.
Gresik Book Party ingin menunjukkan bahwa puisi masih relevan bahkan vital untuk membicarakan apa yang sulit dijelaskan oleh politik, ekonomi, atau media sosial serta bentuk perlawanan akan ide-ide gila yang kerap dibungkam. Seperti cuplikan puisi salah satu peserta GBP bernama Sanura yg ditulis on the spot saat kegiatan Healing Time kemarin.
“Muda-mudi menuntut ruang terbuka
Untuk sekedar bersua dan diskusi ide-ide gila
Apa yang terucap bukan bentuk benci
Melainkan rasa cinta dibalik kata peduli”
Anak Muda dan Tiga Perayaan ini: Antara Kesadaran dan Pelarian
Anak muda hari ini sering dicitrakan apatis. Tapi barangkali, mereka bukan apatis — hanya lelah. Dunia yang dibangun generasi sebelumnya sudah kadung penuh luka: lingkungan hancur, krisis literasi, budaya instan dan luka-luka lainnya.
Melalui Healing Time, Gresik Book Party mengajak anak muda kembali merebut makna yang sudah lama asing. Memaknai cinta kepada bumi bukan hanya lewat hashtag, tetapi lewat pengalaman nyata. Menghargai buku bukan hanya lewat koleksi, tetapi lewat membangun nalar dan diskusi kritis. Menulis puisi bukan semata untuk estetika, tetapi sebagai bentuk bertahan dan upaya merekonstruksi keadaan dalam karya.
Sekali lagi, ini bukan perayaan formal. Ini adalah seruan sunyi agar dalam gelap zaman, masih ada satu dua orang yang memilih berjalan, membaca, dan menulis, pelan-pelan namun pasti.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Maka menulis — tentang bumi, tentang buku, tentang kehidupan — adalah sebuah keberanian kecil untuk tetap hidup dan bermakna.
Penulis : Meilisa Dwi Ervinda
Editor : Imam Gazi Al Farizi
Leave a Reply