Denting-Denting Masygul
Sudah sekian masa hujan bergilir.
Jutaan umat melihat tasalsul kematian ruh
saat menjamah rumah duka itu
Bukan kelompok mayat, bukan pohon ayat
bukan Iblis Jahanam,
tapi kesenyapan hilal
yang tampak
tak terpadamkan hujan
empat puluh malam
Para syahid hendak meramaikan masjid-musala
seperti kota-kota punah,
seperti yang tak pernah disampaikan
oleh panglima perang
dari kecaman lasah
di antara puing-puing kelesah
Bukankah Tuhan memanggul
busur-busur derajat ketika engkau
diciptakan? Bukankah Tuhan
memuja segala puji yang kau sembah?
Itulah sebab jutaan umat gentar
melihat perayaan di bawah kawah Akhbar
Tetapi bagaimana mungkin
kami madahkan segala ritual taslim
atas anugerah yang Tuhan janjikan?
Kami hendak pulang pada Darussalam
yang dijanjikan sebagaimana
Tuhan menitahkan
janah pada umat,
namun engkau membalah
segala kultus di tanah suci
dengan melepas rahmat
Ketika hamba merapal zikir amali,
tak ada satupun malaikat sesali
Barangkali pedar hati menjadi penyulih,
lantas kami akan merintih
membiarkan kesyahidanmu
yang merabas di sekujur
tubuh-tubuh angkuh
Hingga waktu itu tiba,
setelah musim-musim berjarak
dan doa kami bersemayam
di langit-langit hamalah,
mendadak arwah kami selamat
dari hentakan tubuhmu saat kau berkata,
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan
malam sepanjang hayat, agar aku dapat
memanjakan pahala di seantero jazirah,
dengan pakaian zirah yang kulambungkan
pada jiwa-jiwa surah”
Sudah sekian masa hujan bergilir
dan kami akan membopongnya ke surga
atas izin Tuhan
Racauan Surga Adnan
“Diserukan kepada mereka: itulah gerangan
yang Kukaruniakan kepada kalian
tersebab oleh amal kalian” (Al-A’raf: 43)
Lihatlah jauh ketika kilau kebun itu
memangir urut wajahmu penuh suka,
kau akan merupa layaknya Maqad Sidq
dan bertanya-tanya
perihal ciptaan yang tak pernah henti
untuk merapal sebuah janji
dengan melukis imaji-imaji
Seperti yang kau duga sebelumnya,
bata-batanya terpancang
dari emas dan perak.
Adonannya dari minyak kesturi
juga debu Za’faran.
Bebatuan itu terbayan
atas yakut dan mutiara kayangan
“Jika ia menggenggam hidupku,
apakah wahai Abal Qosim, kenyir pangan
yang kau janjikan tidak menistakan tuah?
Ataukah, kaum tahir ini hanya tersisih
dari segumpal jarak yang mengais belas kasih?”
Haihaaata
Haihaaata
Maka, Tuhan memanggil hati orang-orang suci kini,
dengan sebutan doa yang kau rapal, dengan tiap
tangis yang kau ratap, dengan tiap kalbu yang kau jamah.
Tuhan Bersemayam dalam
Ingatan Anak Maryam
- Ketika Tuhan mengulurkan derma-derma ayat,
maka hidup senantiasa sebuah ratapan
persis ketika Maryam dilahirkan
untuk menjilat dedaunan jelaga
di sepanjang zaman.
Bahkan, bahkan—gumpalan kisah
yang kau selipkan pada fajar kizib
sepagian ini, kau tergelak-gelak
melihat ribuan rakyat nelangsa,
serupa tapak bayang,
meluruh pada esok hari. - Ketika Tuhan memberi takdir di antara
hati kepongahan dan rampang keridaan,
vonis-vonis dunia membelalak,
menjadikan Maryam seorang Tuan
di bawah asuhan pandit ternama.
“Selayaknya Tuhan mengasihiku, nama suci ini
hendaklah menjadi hamba abdimu”
Sungguh, memikul wahyu Tuhan,
tak sembarang kau bawa sir handai tolan,
mereka masih mengonggok bebatuan
yang bertuliskan nama waris
“Baitul Maqdis” - Ketika Tuhan menahbiskan Zakariya,
bakti-bakti kesalehan lantas kepingan surga
atau lamunan Jibril di hadapnya,
menjelma rahim, mengalun buah mukjizat,
menyaksikan kasak kusuk kekejaman.
Apakah Tuhan merayakan luka-luka
kepiluan? Puing-puing air mata kering
membasahi tubuh Isa,
melarungkan lembaran Injil,
menikam anak-anak Yerussalem, apakah
seolah kita duduk di beranda hamalatul arsy? - Ketika Tuhan berkuasa atas kehebatannya,
tak sedikitpun langit adalah aib,
berkobar, meledak-ledak sampai raib
menanti pintu-Nya terbuka dan berderit.
Atap genting jatuh satu demi satu.
Jendela disesaki tumpukan rajam:
Jahanam! - Di pohon randu, Tuhan memberikan tabib,
untuk merawat batang air.
Satu bulan setelah bahala berpaling,
purnama mengguyurkan cahayanya sesekali
di tanah kemakmuran, di arwah para syahid.
Suluk Mustakim
:Syeikh Abdurrahman az-Zabidi
Maa ro-ainaal ‘iisa hannat,
bissuraa illaa ilaika
Wal ghomaamah qod adhollat,
wal malaa sholluu ‘alaika
(Mahallul Qiyam ad-Diba’i: 11-12)
Di kota Zabid, jantung pesisir telah mengamini kepergian seorang ayahanda, lengking dedaunan, altar penebusan, dan segala taslim yang memang menjadi ketakwaan. Madah seorang anak membawa Mufti menuju butiran bintang; Mubariz dengan tuntutan ilmu hayatnya—memberkahi sepokok dinar bagai menjejaki malai-malai fatwa al-Asyari.
Hingga akhir peristiwa, sebelum pelita memadamkan sepetak tanah Saba’, di ujung kepulangan—sekelompok tabiin mendapatkan jalan yang begitu karip membentang ayat-ayat pionir. Tak gubahnya kalbu yang selalu bersarang pada kening kekasih: “Mari kutulis imbalanmu dengan peranjat-peranjat istana yang selalu menuntun isak-tangisnya, sedang engkau menyusun selasar suratan tangan yang daim umat manusia lantunkan.” Lalu datanglah sebuah malam dengan kidung purnamanya.
Kecintaan adalah mengarungi air mata yang jauh lebih rumit menyisakan kerisauan, sebab dunia terlalu menyembunyikan cinta para penguasa kelembutan. Maka, pedulikan diriku sebelum cinta membeliak pada darah dan keringat. Meski cinta di tubuh kota Zabid lebih berharga daripada wewangian kasturi yang terwujud dari rintihan jisim ini.
Penulis: Muhammad Ariby Zahron
Leave a Reply