Ikut (Merayakan) Lebaran, Meskipun Saya Seorang Katolik

Ikut (Merayakan) Lebaran, Meskipun Saya Seorang Katolik

Momen Lebaran selalu menghadirkan suasana unik bagi saya, seorang Katolik yang hidup di tengah mayoritas Muslim. Sejak kecil, saya tumbuh dengan menyaksikan euforia yang tak pernah gagal terjadi setiap tahunnya, jalanan mendadak sepi, masjid lebih ramai dari biasanya, dan yang paling mencolok, bau rendang serta ketupat tiba-tiba memenuhi udara, menggoda iman siapa saja, termasuk saya yang tidak puasa.

Sebagai orang Katolik, saya tidak menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tapi bukan berarti saya tidak merasakan dampaknya. Justru, saya saksi hidup perubahan besar yang terjadi selama sebulan penuh. Misalnya, teman-teman saya berusaha tetap teguh menahan lapar, terlebih saat jam makan siang. Mereka melenturkannya dengan cara melontarkan pertanyaan, “Kamu nggak puasa?” Setiap tahun pertanyaan itu muncul, bukan untuk apa-apa, tapi memang sekadar bertanya.

Seandainya Lebaran Selamanya

Puncak kehebohan tentu saja saat Lebaran tiba. Sejak pagi, takbir bergema di udara. Meski saya tidak ikut shalat Id, saya bisa merasakan atmosfer yang berubah, ada semacam kelegaan dan kebahagiaan yang merayap ke seluruh penjuru kota. Orang-orang menjadi lebih ramah, lebih mudah tersenyum, bahkan yang biasanya galak pun bisa menjadi penuh kasih. Ini ajaib. Saya pikir, andai saja Lebaran berlangsung sepanjang tahun, dunia pasti jauh lebih damai.

Lalu, tiba saatnya ritual ini, bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga. Sebagai minoritas, saya memang tidak memiliki tradisi itu di agama saya, tapi siapa yang bisa menolak undangan Lebaran? Saya datang dengan senyum lebar, tangan kosong, dan pulang dengan perut penuh serta plastik berisi kue kering. Jika ada rekor dunia untuk “Non-Muslim yang paling banyak makan ketupat,” saya mungkin sudah masuk nominasi. Bahkan hari-hari anak-anak sudah penuh dengan jadwal acara bukber.

Hal menarik lainnya, dalam suasana bahagia itu, selalu ada hal yang membuat saya tertegun. Misalnya, setiap keluarga Muslim biasanya punya paman atau bibi yang suka memberi nasihat panjang sebelum memberi pitrah. “Ingat, uang ini jangan buat main game,” kata mereka. Anak saya, yang bukan anak-anak lagi, hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. Nasihat tetap nasihat, pitrah tetap pitrah.

Lebaran Bukan Sekadar

Sementara hal yang menggelitik adalah betapa dramatisnya orang-orang dalam mempersiapkan Lebaran. Saya punya teman yang tiba-tiba jadi tukang jahit dadakan karena semua ingin pakai baju baru. Ada yang mendadak jadi koki profesional karena harus memasak hidangan dalam porsi besar. Dan yang paling menggemaskan, tentu saja mereka yang mendadak puitis di medsos, menulis status permintaan maaf panjang lebar yang terdengar seperti pidato perpisahan. Jika ada salah kata, mohon dimaafkan dari lubuk hati yang paling dalam. Dan ada temannya sendiri memberi komentar canda dalam sebuah pertanyaan. Salah apa sih sebenarnya?

Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang sungguh indah. Saya melihat bagaimana Lebaran bukan sekadar perayaan, tapi juga tentang kebersamaan, tentang melupakan sejenak perbedaan, dan tentang saling memaafkan. Dalam beberapa hari itu, saya menyaksikan rumah-rumah terbuka bagi siapa pun, termasuk saya yang bukan bagian dari agama mereka. Saya melihat tangan yang saling berjabat, hati yang saling melembut, dan wajah yang berseri-seri. Di situlah saya mengerti, kebahagiaan itu menular.

Momen Lebaran juga mengajarkan saya bahwa hidup ini tidak mudah. Setiap orang punya bebannya sendiri, entah dalam pekerjaan, keluarga, bahkan dalam perjalanan spiritual. Tapi saat melihat seseorang dengan tulus mengucapkan, “Mohon maaf lahir dan batin,” saya menyadari hal yang begitu mendalam: ada harapan bagi siapa saja untuk memulai lagi. Tak peduli seberapa besar kesalahan, Lebaran mengingatkan, selalu ada ruang untuk pertobatan dan kesempatan baru.

Terima Kasih Telah Berbagi Kebahagiaan

Ini yang membuat saya terharu. Saya memang bukan Muslim, tapi saya merasakan bahwa makna Lebaran melampaui batas agama. Ini adalah saat di mana manusia kembali kepada fitrahnya, menjadi lebih jujur, lebih terbuka, lebih mengasihi. Dan alangkah kerennya bila hal seperti itu bisa kita lakukan setiap hari.

Ada satu pemandangan yang selalu membuat hati saya hangat. Saat Lebaran, saya melihat orang-orang yang biasanya terjebak dalam kesibukan duniawi, bisa duduk bersama, saling berbagi makanan, berbagi cerita, bahkan berbagi air mata. Tidak ada curiga, tidak ada prasangka, yang ada hanya kasih nyata. Dan saya pikir, jika dunia bisa lebih sering seperti itu, mungkin hidup tidak akan terasa seberat ini.

Saya tidak puasa, tidak salat Id, dan tidak memiliki tradisi mudik. Tapi saya tahu satu hal: melihat mereka bahagia membuat saya ikut bahagia. Jadi, tulisan ini tidak hanya untuk mengucapkan, “Selamat Hari Raya Idul Fitri,” kepada kalian yang merayakan, tapi saya juga ingin mengatakan: “Terima kasih telah berbagi kebahagiaan.”

 

Baca Juga : Merayakan Idulfitri di Tengah Indonesia Gelap

Yuditeha

One response to “Ikut (Merayakan) Lebaran, Meskipun Saya Seorang Katolik”

  1. […] Baca Juga : Ikut (Merayakan) Lebaran, Meskipun Saya Seorang Katolik […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *