Surabaya Tidak Seindah yang Orang Bayangkan, Tapi Jangan Khawatir Pemerintah Jago Urusan Pencitraan

Ilustrasi Pinterest

Surabaya, Kota terbesar kedua di Indonesia, katanya. Kota yang konon jadi panutan pembangunan dan kemajuan. Kota ini belakangan sibuk jadi tuan rumah Munas APEKSI 2025. Foto-foto Wali Kota wara-wiri di media, bangunan-bangunan dipercantik, lampu-lampu diperbanyak. Tapi itu semuanya kayak rumah disapu doang pas ada tamu: kinclong di depan, tapi kamar belakang tetap sumpek. Surabaya terus membangun—iya. Tapi membangun untuk siapa? Yang pasti, bukan buat mereka yang tinggal di pinggir-pinggir kampung.

Real Estate vs. Warga Kampung: Ketimpangan yang Terabaikan

Surabaya sedang dikepung oleh proyek-proyek real estate yang semakin menguasai kota. Di balik kemegahan gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan, warga yang tinggal di perkampungan seakan dilupakan. Misalnya, program Kader Surabaya Hebat yang terkenal dengan konsep gotong royong ternyata hanya menyoroti warga kecil saja. Atau program Kampung Tangguh yang mengandalkan subsidi silang antara si kaya dan si miskin, dianggap sudah cukup untuk memecahkan ketimpangan. Padahal, pemilik-pemilik real estate yang mendapatkan keuntungan besar justru tidak pernah ikut ambil bagian dalam gotong royong ini. Mereka menikmati hasilnya, sementara warga miskin terus berjuang tanpa pernah mendapatkan bagian yang adil. Yang satu gotong royong, yang satu gotong duit. Mungkin itulah bentuk gotong royong versi elit.

Pemilik real estate besar memperoleh keuntungan dari tingginya permintaan hunian mewah di Surabaya. Mereka tidak serta merta memberikan kontribusi pada upaya pemberdayaan warga kampung. Bahkan, mereka memilih diam dan menikmati keuntungan dari peningkatan nilai tanah, tanpa mempertimbangkan nasib warga yang terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan kota. Sebagai contoh, program kampung tangguh yang diharapkan bisa menjadi jembatan untuk menyelesaikan ketimpangan ini, justru hanya menjadi proyek kosmetik belaka. Sebagai warga kampung yang diminta bergotong royong, mereka seolah diberi harapan palsu untuk berubah, sementara pemilik tanah dan pengembang hanya duduk santai menikmati hasilnya tanpa berbagi tanggung jawab. Apa gunanya program yang hanya memperburuk ketimpangan sosial?

Transportasi Publik yang Kacau: MRT vs. BRT yang Tak Tersentuh

Surabaya, yang penduduknya semakin padat dan tingginya  mobilitas, tentu membutuhkan sistem transportasi publik yang baik. Namun kenyataannya, transportasi publik hari ini bisa dikatakan kacau. Masih teringat dengan Surotram dan Boyorail, proyek warisan Bu Risma, namun kini, walikota baru, Eri Cahyadi, malah berencana membangun MRT dengan utang swasta sebesar 5 triliun. Sebuah ide besar, tapi apakah sudah saatnya untuk fokus pada proyek besar seperti ini sementara sistem transportasi yang lebih mendasar seperti Bus Rapid Transit (BRT) masih belum berjalan dengan baik? Trayek BRT yang tidak jelas, halte-halte yang tidak memenuhi standar, dan tidak adanya integrasi antar moda transportasi, justru semakin memperburuk kondisi. Pemkot lebih memilih proyek besar, sementara rakyat yang sehari-hari bergantung pada transportasi umum masih harus berjuang dengan sistem yang berantakan. BRT kita aja belum bener kok udah pengin MRT?”

Selain BRT, ada juga Wira Wiri Suroboyo yang trayeknya mulai ke mana-mana, tapi tetap gak ke mana-mana. Ditambah lagi dengan kebijakan harga parkir dan pajak kendaraan tetap rendah demi memenangkan elektoral. Kebijakan yang seharusnya bisa mendukung kualitas transportasi publik justru lebih mengutamakan populisme  untuk meraih suara  setiap 5 tahun sekali. Alih-alih merancang kebijakan transportasi yang berkelanjutan, Pemkot malah terjebak dalam politik jangka pendek yang tidak mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat Surabaya. Asal rakyat senang, suara aman. Soal kemacetan? Nanti aja dipikirin kalau udah musim kampanye lagi.

Budaya yang Terkonstruksi: Apakah Surabaya Sekadar Etalase?

Surabaya sering dianggap sebagai kota internasional yang kaya akan budaya. Namun, ketika kita melihat lebih dalam, apakah Surabaya benar-benar mencerminkan keberagaman dan kekayaan budaya lokal? Atau hanya sekadar mereplikasi apa yang ada di kota-kota besar lainnya? Jakarta punya Kota Tua, dan Surabaya membuat Kota Lama dengan gaya yang sama. Pemkot Surabaya seakan kembali mengotak-atik kota ini untuk mengikuti tren nasional, tanpa mempertimbangkan identitas lokal yang sejatinya sudah ada. Sementara itu, komunitas seni tradisi justru terpinggirkan untuk suatu misal. Kita bisa bertanya ke pegiat ludruk, bantengan, reyog, dan jaranan yang katanya dijanjikan lahan eks Taman Remaja Surabaya sebagai ruang publik yang bebas dipakai siapa pun. Pemkot hanya
mempercayakan urusan kebudayaan kepada kelompok-kelompok pecinta sejarah tertentu, sementara kelompok seni yang benar-benar memperjuangkan ruang budaya malah dijauhkan. Sengketa DKS yang tak kunjung selesai, serta buruknya komunikasi antar pihak yang berkepentingan, menjadi bukti bahwa budaya bukan lagi menjadi prioritas—yang penting adalah pencitraan.

Namun, alih-alih menyelesaikan polemik DKS dan mengajak dialog, Pemkot di bawah Eri lebih memilih keangkuhannya. Musyawarah Kota DKS yang seharusnya menjadi wadah dialog antar pemangku kepentingan justru dipinggirkan, digantikan dengan tandingan musyawarah di Gedung Sawunggaling Pemkot Surabaya yang terkesan hanya untuk menunjukkan kekuatan dan kontrol politik. Hingga kini, status DKS masih dalam keadaan status quo, dan kepengurusannya pun tidak berjalan efektif. Bukannya merangkul komunitas seni dan budaya untuk bersama-sama membangun Surabaya yang lebih inklusif, Pemkot malah memilih jalur arogan untuk mempertahankan kekuasaan mereka, tanpa melihat bahwa kota ini punya potensi budaya yang lebih besar daripada sekadar membangun citra.

Demokrasi Surabaya: Pencitraan yang Tak Kalah dengan Stiker

Katanya, Surabaya  kota demokratis yang penuh dengan keterbukaan. Namun, nyataannya, demokrasi sering kali kalah oleh stiker “Surabaya Satu Suara” yang ditempelkan oleh para relawan walikota yang setia didanai dengan APBD daripada pegawainya sendiri yang justru patungan untuk hal-hal yang seharusnya didanai oleh pajak bumi dan bangunan yang dibiayai warganya. Mereka bahkan rela mengerahkan pasukan bayangan untuk memenangkan Pemilihan Walikota, meskipun lawannya hanyalah Kotak Kosong. Sungguh ironis, bukan? Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang untuk perbedaan pendapat, malah dijadikan alat melanggengkan kekuasaan.

Ketika demokrasi kalah dengan pencitraan, kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua ini? Pemilihan yang seharusnya memberi ruang untuk pilihan alternatif malah menjadi ajang untuk menguatkan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak sehat. Demokrasi di Surabaya, seharusnya mencerminkan suara rakyat, kini hanya jadi seremonial belaka. Tak heran, jika di setiap sudut kota kita hanya dihiasi stiker, baliho, dan simbol kampanye yang tidak pernah memberi solusi nyata bagi masyarakat. Ketika pilihan politik tidak lebih dari sekadar pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya, apa yang terjadi pada prinsip demokrasi itu sendiri?

Tersembunyi di Balik Gemerlap

Surabaya yang gemerlap dengan pencitraan dan polesan citra indah mungkin bisa menutupi sebagian besar masalah. Namun, wajah asli kota ini tidak bisa dipungkiri. Jika Anda ingin melihat Surabaya yang sebenarnya, datanglah ke pinggiran kota, ke tapal-tapal batasnya, atau tempat-tempat yang terabaikan oleh cahaya lampu kota. Di sanalah, Anda akan menemukan kenyataan yang lebih nyata. Surabaya yang tampaknya indah dari jauh, sebenarnya menyimpan banyak permasalahan yang tak pernah tersentuh. Semoga, di masa mendatang, ada perubahan besar yang bisa terjadi di Surabaya. Tapi, setidaknya, kita masih punya waktu sekitar 4 tahun untuk menunggu keajaiban itu terjadi. Apakah ada perubahan yang akan datang? Atau kita hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama, dengan pencitraan yang tak pernah mengatasi masalah sesungguhnya?

 

Penulis : Probo Darono Yakti

Editor : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga : UGM Green Campus? Coba Naik Sepeda Dulu, Baru Kita Bicara atau kolom esai lainnya

Probo Darono Yakti

Probo Darono Yakti

Probo Darono Yakti adalah budayawan dan Ketua II Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal HIPREJS Jawa Timur, aktif menginisiasi berbagai gerakan pelestarian seni tradisi, termasuk penguatan komunitas reyog, topeng, dan ekspresi budaya lokal lainnya. Ia juga kerap menulis refleksi sosial-budaya dan politik di berbagai media nasional. Di Instagram, ia berbagi celoteh sebagai @masprob. Saat ini, ia mengabdi sebagai dosen Hubungan Internasional di FISIP Universitas Airlangga

One thought on “Surabaya Tidak Seindah yang Orang Bayangkan, Tapi Jangan Khawatir Pemerintah Jago Urusan Pencitraan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *