Belakangan ini kita disuguhi semangat baru dari elite negeri: generasi muda harus melek coding. Wakil Presiden Gibran bahkan gembar-gembor soal pentingnya skill ini agar Indonesia bisa bersaing secara global. Saya tidak menolak digitalisasi, jangan salah. Tapi sebelum kita menanamkan coding ke semua kepala bocah di negeri ini, mari kita bertanya: apakah mereka sudah dekoding dulu sejarah dan etika bangsanya?
Di kampus, saya merasakan sendiri betapa absennya etika menjadi hal yang makin normal. Mahasiswa zaman sekarang, ketika diberi nasihat atau petuah, bukan menerima dengan hormat, malah menganggapnya ajakan berdebat. Dosen bukan lagi panutan, melainkan target “diserang balik” pakai referensi internet atau argumen sarkas di kolom komentar. Hormat dan sopan? Sudah dianggap kuno, kayak teknologi CD-RW.
Yang lebih memprihatinkan, ketika kami—para dosen—dapat tugas menilai tulisan mahasiswa, tiba-tiba kami seperti berhadapan dengan ChatGPT, bukan anak manusia. Tulisan-tulisan yang dilontarkan mentah-mentah dari AI, tanpa pengeditan, tanpa rasa, lalu disetor begitu saja. Dikira kami ini nggak bisa membedakan? Justru karena kami juga pakai AI-lah kami tahu. Tapi bedanya, kami tidak pakai tanpa nalar. Kami manusia. Kami punya rasa. Dan kami juga bisa decoding—bukan hanya teks sejarah, tapi juga tipu-tipu mahasiswa zaman now.
Sejarah Bukan Monumen dan Festival APBD
Mari kita geser sedikit ke ranah sejarah. Kata siapa generasi kita tak cinta sejarah? Pemerintah bahkan bangga membangun kembali narasi kejayaan Majapahit. Lihat saja betapa banyak proyek bernama “Poros Maritim Dunia”, “Spirit Majapahit”, atau “Replika Pintu Gerbang Gajah Mada” yang dibiayai APBN dan APBD. Seolah dengan membangun batu bata dan menaruh label “heritage”, lalu selesai sudah urusan sejarah bangsa.
Padahal glorifikasi sejarah tidak cukup dengan membangun tugu. Yang lebih penting adalah membangun nalar sejarah. Apakah yang kita tiru dari Majapahit hanya bagian kejayaannya saja? Mental “kerja cerdas, tuntas, dan ikhlas” yang sering digembar-gemborkan dengan label “mental Majapahit” atau mungkin “Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara” itu pun tak pernah disertai dengan pemahaman kenapa Majapahit bisa runtuh.
Kalau mau belajar dari Majapahit, pelajari juga fase keruntuhannya. Hegemoni Majapahit ambruk bukan hanya karena serangan luar, tapi juga karena penyakit dalam: konflik keluarga, ekspansi berlebihan, dan pertentangan dengan entitas baru seperti Kesultanan Islam. Dalam istilah geopolitik, Paul Kennedy menyebutnya imperial overstretch: sebuah imperium bisa runtuh ketika memaksakan ekspansi melebihi kapasitas, baik sumber daya maupun legitimasi sosialnya.
Tapi narasi yang dijual hari ini: Majapahit adalah lambang kejayaan. Titik. Tak ada ruang untuk mempelajari keretakannya. Kenapa? Karena sejarah memang lebih nyaman dijadikan slogan ketimbang dijadikan cermin.
Yang Harus Didecode: Naskah, Relief, dan Diri Kita Sendiri
Salah satu hal yang paling menyedihkan dari bangsa ini adalah banyaknya warisan sejarah yang tidak pernah kita decode. Kita punya ribuan naskah kuno, manuskrip, lontar, relief, dan prasasti yang tergeletak di museum, rumah adat, atau bahkan lemari nenek. Tapi kita tidak tahu cara membacanya.
Sahabat saya, Abimardha Kurniawan, dosen filologi di UNAIR, adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa membaca huruf Jawa Purwa dan naskah-naskah kuna. Di tangan orang-orang seperti dia, sejarah bisa dibangkitkan dari tidur panjangnya. Tapi berapa banyak anak muda yang tahu siapa itu Abimardha? Atau bahkan tahu apa itu huruf Jawa Purwa?
Yang kita perlukan adalah gerakan kolektif untuk mendecode naskah-naskah itu. Bukan hanya urusan filolog, tapi tugas semua pencinta sejarah, guru, aktivis budaya, dan anak-anak muda yang tak puas dengan versi sejarah buku pelajaran. Dekoding bukan hanya tentang tulisan tua, tapi juga tentang membuka mata terhadap konteks sejarah, nilai-nilai kultural, dan memori yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejarah Tak Bisa Monopoli
Ini saatnya kita katakan: sejarah tidak bisa dimonopoli, bahkan oleh para sejarawan sendiri. Sebagai akademisi hubungan internasional, saya bertanya-tanya: kenapa pengaruh Majapahit bisa sampai ke Ayutthaya, Mindanao, bahkan Luzon? Apakah itu bukti kekuasaan politik? Atau hanya sistem upeti simbolik? Tapi pertanyaan seperti ini jarang dijawab, karena sejarah sering kali hanya ditulis dari sudut dalam negeri, tak membuka diri pada tafsir lintas geopolitik.
Tim penulisan sejarah nasional yang sekarang dibentuk pun tak luput dari kontroversi. Prof. Susanto Zuhdi, yang ditunjuk oleh Fadli Zon, tentu punya kapasitas akademik. Tapi ketika tim ini dipenuhi pertentangan internal dan orientasinya tidak jelas, kita khawatir sejarah yang baru nanti hanya jadi ulang-ulang kutipan Churchill: “History is written by the victors.”
Apakah sejarah baru ini akan mencatat pelanggaran HAM? Apakah ia akan mengkritisi Orde Baru secara jujur, atau kembali menjadikan PKI sebagai kambing hitam tunggal? Bahkan buku-buku SD hingga SMA pun belum berubah substansinya sejak zaman Orba. Dan lebih ironis lagi, kita kini menghadapi wacana pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Meski ia memang pernah jadi Presiden, layakkah ia mendapat gelar itu tanpa meninjau kembali sisi gelap dari pemerintahannya?
Dekoding Sejarah Harus Jujur dan Tak Boleh Dibayar
Kita hidup di era ketika sejarah bisa dipesan layaknya nasi goreng. Yang penting siapa yang punya duit, siapa yang berkuasa. Sejarah jadi produk pesanan, bukan produk kesadaran.
Kalau kita tak mulai dekoding sejarah, maka kita akan terus mewarisi kebodohan yang sama. Sekolah-sekolah masih mengajarkan sejarah yang dibekukan, media massa menyebarkan glorifikasi, dan rakyat hanya menjadi penonton narasi yang ditulis dari atas.
Padahal sejarah sejatinya harus datang dari bawah—history from below. Dari manuskrip yang terabaikan, dari folklore yang diwariskan nenek ke cucu, dari cerita orang tua yang pernah diasingkan atau dilupakan. Inilah sejarah yang harus kita dekoding. Bukan karena kita ingin membalik sejarah, tapi karena kita ingin memahaminya dengan lebih jujur.
Dekoding Adalah Perlawanan Paling Halus
Hari ini, dekoding adalah bentuk perlawanan paling halus terhadap dominasi narasi besar. Ketika anak muda hanya diajarkan ngoding tapi tak pernah diajak berpikir tentang sejarah, maka yang terbentuk adalah generasi yang tahu cara membangun aplikasi, tapi tidak tahu mengapa bangsanya selalu tersandung batu yang sama.
Sudah saatnya kita ajarkan dekoding sejarah—mulai dari naskah-naskah yang tertutup debu, hingga pemikiran yang selama ini dibiarkan membeku. Karena yang akan menyelamatkan bangsa ini bukan hanya mereka yang bisa bikin platform digital, tapi mereka yang bisa membaca ulang siapa dirinya, dari mana asalnya, dan untuk apa bangsanya ada.
Disclaimer:
Penulis bukan sejarawan. Hanya orang biasa yang mencintai sejarah bangsanya dan terus berupaya memahami jejak-jejak masa lalu yang luhur. Karena terkadang, cinta sejarah tak butuh gelar akademik—cukup kepekaan, ketekunan, dan keberanian membaca ulang apa yang selama ini ditutupi.
Penulis: Probo Darono Yakti
Editor: Muhammad Ridhoi
Leave a Reply