“Jangan buka pintu itu.”
Nami berulang kali mendapati dirinya berdiri di hadapan sebuah pintu kastil yang kokoh. Berulang kali pula dia mendengar kalimat larangan yang terngiang-ngiang lalu berputar-putar dalam ingatannya hingga berhari-hari kemudian. Saat terbangun dari tidur, Nami sadar itu hanya mimpi. Namun, mimpi itu terasa dekat, nyata. Nami bahkan merasa lelah bagai kembali dari perjalanan panjang.
Hanya saja, betapa pun melelahkannya perjalanan itu, dia tidak pernah diizinkan membuka pintu yang ada di sana.
*
Nami menutup pintu gudang dan menguncinya dari dalam. Perempuan muda itu lalu duduk berselonjor mengistirahatkan kakinya yang lelah. Dia memejamkan mata beberapa menit sebelum sebuah ketukan keras di pintu mengejutkannya.
“Kau belum membawa semua barang direktur ke gudang, jangan berlama-lama di sini. Masih ada beberapa dokumen lama dan surat-surat tidak penting.” Nyonya pengawas berbicara cepat sekali. Namun, perintahnya jelas.
Nami menghela napas begitu nyonya pengawas meninggalkan gudang. Sudah tiga hari Nami mendapat pekerjaan ekstra untuk menyortir barang di ruang kerja direktur. Padahal, sejak mulai bekerja musim semi lalu, perusahaan menjanjikan dua hari libur setiap akhir pekan untuk para karyawan.
Sayangnya, semua hanya janji. Nami tak enak menolak perintah. Dia bahkan berkali-kali ketinggalan kereta terakhir dan harus kembali ke kantor untuk tidur. Saat itulah, Nami kembali mengalami mimpi aneh tentang kastil dan sebuah pintu yang kokoh.
Satu waktu, Nami bermimpi menjadi burung yang terbang saat petang. Dia kemudian hinggap di ranting kering sebuah pohon besar. Dari sanalah dia melihat kastil megah itu. Bangunan kuno dengan pilar-pilar besar, atap-atap kerucut, dan pintu-pintu besar berukir meyakinkan Nami bahwa dia tidak sedang berada di Tokyo. Mungkin saja sebuah negara di Eropa.
Di waktu lain, Nami datang dengan mengendarai kuda. Dia merasa menjadi prajurit wanita. Andai saat itu dia bisa berkaca, Nami ingin sekali melihat seperti apa rupanya. Yang Nami tahu dia mengenakan zirah besi yang berat. Sama seperti mimpi sebelumnya, saat itu Nami tiba di kastil saat petang. Kastil yang didatanginya persis sama. Dia juga melihat pintu berukir yang menarik perhatiannya.
Akan tetapi, ketika kuda yang ditungganginya sampai ke teras kastil, sebuah bisikan terdengar jelas di telinganya. “Jangan buka pintu itu!” Bisikan yang selalu membangunkan Nami.
*
Pintu kastil berukir itu seperti menghipnotis Nami. Terakhir kali dia bermimpi, Nami datang ke kastil menggunakan taksi. Dia memasuki halaman berumput yang cukup luas. Saat tiba di pintu utama, bisikan misterius kembali menyurutkan langkahnya.
“Jangan buka pintu itu!”
Nami bisa merasakan napasnya tersengal-sengal saat terbangun. Itu gila. Jarak dari halaman ke pintu utama kastil cukup jauh. Apa mungkin dia benar-benar berjalan sepanjang halaman rumput itu? Semua terasa nyata.
“Nona Nakano, kau belum mengelompokkan barang-barang direktur. Seharusnya kertas-kertas kosong itu tidak bercampur dengan surat penting.” Suara nyonya pengawas membuat perasaan Nami makin kacau. Dia masih ngos-ngosan setelah ‘perjalanan ke kastil’ dan perintah demi perintah tidak mau membiarkannya tenang sedikit.
Nami mulai berpikir nyonya pengawas hanya ingin terlihat sibuk. Atau mungkin dia hanya suka menunjukkan kekuasaannya kepada karyawan baru seperti Nami. Sesungguhnya Nami sudah mengelompokkan semua benda dan menyimpannya di rak-rak dengan rapi. Nami bahkan sudah melabeli semua barang. Namun, dia tidak ingin membuat persoalan. Perintah nyonya pengawas pun hanya dijawabnya dengan anggukan.
*
Malam itu Nami kembali pulang terlambat usai lembur. Sesampai di rumah, Nami baru sadar bahwa dia belum membeli nasi kari beku yang diminta suaminya.
“Aku belum makan malam dan rasanya aku hanya ingin nasi kari.” Yusuke mengatakan itu tanpa melihat Nami. Dia sedang sibuk membaca sesuatu di laptop-nya.
Konbini terdekat dari rumah mereka jaraknya lebih dari dua kilometer. Nami begitu lelah hanya dengan membayangkannya.
“Naik sepeda saja, lebih cepat,” kata Yusuke lagi.
Tanpa berganti baju, Nami keluar dan pergi ke konbini menggunakan sepeda. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia ingin bisa terbang seperti di dalam mimpi.
Setelah makan malam, Nami masih harus merapikan rumah, mencuci piring, dan membuang sampah. Tubuhnya terlalu lelah dan dia bersyukur belum memiliki seorang bayi untuk diurus.
“Kalau aku bisa sampai ke kastil itu. Akan kubuka pintunya. Aku ingin lari dari kehidupan ini.” Nami menggerutu. Rasa-rasanya ingin sekali dia menjadi jouhatsu saja, menyewa perusahaan “pindahan malam” dan lenyap tanpa jejak kemudian hidup sebagai orang yang baru.
Nami mengangkat kantong sampah untuk dibawa keluar dengan sedikit kepayahan. Sampah yang menumpuk sejak beberapa hari yang lalu itu belum diangkut keluar dan Yusuke tidak peduli.
Nami menghela napas panjang. Dia berbisik kepada dirinya sendiri. “Andai kubuka pintu kastil itu, kira-kira keajaiban apa yang bisa kudapati? Kenapa bisikan itu melarangku membuka pintu?”
Yusuke bertanya kenapa Nami bengong dan berbicara sendiri tetapi istrinya itu tidak mendengarkan.
*
“Jangan buka pintu itu!”
Bisikan itu makin jelas di telinga Nami. Malam ini dia tiba lebih larut dari biasanya. Sekeliling kastil itu sangat gelap, pandangannya pekat hingga Nami pun merasa tubuhnya menabrak pohon berkali-kali saat terbang. Untunglah dia bisa sampai dengan selamat.
“Jangan buka pintu itu!”
Untuk pertama kali, bisikan itu mengulang-ulang larangannya seolah-olah sudah menebak kalau Nami akan nekat kali ini.
“Jangan buka pintu itu!”
Nami menutup telinganya. Semua terlalu nyata. Nami seketika merasa terimpit dinding berduri. Dia harus segera membuat keputusan. Tekad perempuan itu sekokoh bangunan kastil. Dia tidak ingin bangun sebelum membuka pintu. Kedua tangannya mengepal mengumpulkan kekuatan.
Tak disangka, pintu berukir raksasa itu terbuka dengan mudah. Sebuah cermin besar berada tepat di hadapan Nami. Dia bisa melihat dirinya sendiri tersenyum. Seperti itukah wajahnya saat tersenyum? Nami sudah lupa. Dia tak pernah lagi tersenyum di cermin.
Tiba-tiba Nami tercekat. Bayangan di cermin terlalu nyata untuk dia sebut bayangan. Tidak, dia tidak hanya tersenyum. Dia memanggil Nami untuk terus mendekat.
“Selamat datang, Separuh Jiwaku. Akhirnya kita bertemu juga setelah sekian lama aku menantikan kehadiranmu. Mereka melarangmu membuka pintu? lantas Mereka akan terus melarangmu melakukan ini itu. Mereka akan terus mengekangmu sampai tidak berdaya.”
Nami ingin pulang, dia harus terbang kembali ke dunia nyata. Namun, tubuhnya membeku serupa patung es.
“Aku adalah separuh jiwamu. Maka dengarkan aku! Cukuplah sudah menyenangkan semua orang seumur hidupmu. Kau bisa memulai semua dari awal, awal yang bahagia, tanpa gangguan.”
Sekuat tenaga Nami berusaha menolak pikiran-pikiran itu. Apakah ini sejenis jasa menghilangkan diri yang sedang tren dan sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor?
“Separuh Jiwaku,” panggil sosok dalam cermin itu lagi. Kali ini Nami bahkan bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Matanya pun terasa basah menerka-nerka keburukan apa yang akan terjadi kepadanya. Namun, alih-alih memberontak atau bergerak mundur, kedua kaki Nami malah ringan melangkah maju. Dekat, semakin dekat.
Sosok dirinya di dalam cermin tidak berhenti tersenyum dan Nami terhipnotis olehnya.
“Separuh Jiwaku, mari kita lakukan semua yang dulu hanya bisa kau pendam. Menurutmu dari mana kita memulai? Tuan direktur yang semena-mena dengan jam kerja? Nyonya pengawas yang sengaja menyiksamu tanpa ampun? Atau suami yang tidak peduli saat kau letih?”
Pintu menuju separuh jiwa Nami telah terbuka lebar. Pintu menuju dasar hatinya yang tergelap tak lagi bisa ditutup. Nami menganggukkan kepala.
“Baiklah. Mari kita hentikan mereka!”
***
Catatan:
Konbini: Mini market
Jouhatsu: Istilah di Jepang untuk orang-orang yang memilih menghilang dan berganti identitas
Jasa pindahan malam: Sebutan untuk perusahaan yang membantu para jouhatsu
Leave a Reply