Harga Naik Lagi, Tiket Tak Terbeli

Harga Naik Lagi, Tiket Tak Terbeli

“Sekarang pilihan ada di tangan kita, tetap diam tak bergeming sambil terus menerima pecutan manajeman, atau mengambil sikap untuk memberikan kritik dan melawan”

Kita berada dalam kebimbangan. Hari ini kita dipaksa untuk nestapa, antara memilih mendahulukan cinta atau mempertahankan logika. Tiket Pertandingan Persebaya naik lagi. Seperti musim-musim sebelumnya, laga pra-musim atau perayaan kerap kali dijadikan uji coba oleh manajemen untuk menaikkan harga tiket. Jika tetap ramai, kenaikan harga tersebut akan tetap dipakai saat laga liga.

Apakah Kita Sebatas Customer?

Kecintaan yang kita punya ini, ternyata diukur dari seberapa besar tiket pertandingan yang terjual. Kita dipaksa untuk menerima dan mewajarkan hanya karena kecintaan kepada klub kebanggaan. “Kalian semua sebatas customer” Ikuti apa kata kami atau kalian akan diganti dengan orang-orang lain yang berbondong-bondong datang ke stadion. Begitu kiranya ucap manajemen Persebaya.

Usaha para suporter untuk terus memperbaiki citra, mempertontonkan aksi kreatif di tribun, menjalin kerja-kerja kolektif, tak akan pernah dianggap sebagai sebuah bentuk rasa cinta. Sebab menurut mereka, cinta adalah pundi-pundi yang masuk. Gairah, euforia, atmosfer pertandingan tak pernah ada dalam benak pikiran mereka, yang terpenting hanya jumlah penonton yang datang ke stadion. Tak peduli kehadiran tersebut berdampak atau tidak pada upaya menghidupkan semangat para pemain. Bahkan jika ada ribuan penonton yang hanya duduk rapi pun tak apa, persetan soal chant, teriakan, dan magisnya dukungan suporter.

Naik-Naik Tiketnya Naik, Tinggi-Tinggi Sekali

Jika kita tetap menuruti ini semua, bukan tak mungkin kenaikan akan terus terjadi setiap tahun. Tak peduli bagaimana dan apa yang akan kita dapat, lorong-lorong stadion yang gelap, toilet yang kumuh dan tak berfungsi dengan baik, kursi-kursi yang kotor, hingga tempat ibdah yang jauh dari layak. Semua itu akan tetap kita jumpai di tribun suporter.

Di tengah euforia perayaan dan kecintaan terhadap klub kebanggaan, justru mereka yang paling loyal yang kerap kali dikorbankan. Pelajar yang rela menabung berhari-hari demi bisa hadir di tribun, para buruh yang harus memotong uang makan, bahkan suporter dari luar kota yang menempuh ratusan kilometer—semua kini harus berpikir ulang.

Muncul pertanyaan, Apakah cinta kami hanya layak dihitung dari besaran rupiah yang kami bayarkan? Apakah loyalitas hanya diukur dari kursi stadion yang terisi penuh, bukan dari peluh yang kami teteskan untuk terus hadir meski keadaan tak selalu ramah?

Sebab, Persebaya Bukan Hanya Milik Mereka yang Kaya

Kita bukanlah sekadar konsumen dalam industri hiburan bernama sepak bola. Kita adalah ruh dari atmosfer itu sendiri. Maka sudah semestinya suara kita didengar, bukan dibungkam dengan harga tiket yang makin tak masuk akal.

Jika manajemen tak mau mendengar, maka biarlah tribun yang bersuara. Karena sepak bola adalah ruang bersama. Ia adalah perayaan. Dan perayaan ini harus bisa diakses siapa saja, bukan hanya mereka yang mampu membayar paling mahal. Sekarang pilihan ada pada kita, tetap diam tak bergeming sambil terus menerima pecutan manajeman, atau mengambil sikap untuk memberikan kritik dan melawan.

Karena bagi kami cinta tak hanya tentang angka-angka dan statistik jumlah tiket terjual. Berpihak pada mereka yang tercekik atas kenaikan harga tiket pertandingan adalah juga bentuk cinta. Sebab pertandingan dan perayaan hari jadi Persebaya bukan hanya milik mereka si kaya, tapi milik kita semua pecinta Persebaya.

 

*Artikel ini diterbitkan ulang dari konten instagram @dirty.27

Baca Juga: Jika Terus Melestarikan Kegaduhan, Perlukah Pencak Silat Dilestarikan? atau kolom esai lainnya

Redaksi Nyangkem.id Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *