Jika Skripsi itu Mentalitas, Disertasi itu Seni Mengolah Kesabaran

Jika Skripsi itu Mentalitas, Disertasi itu Seni Mengolah Kesabaran

“Bukan pintar atau bodoh, skripsi hanya urusan mentalitas saja” tulis Imam Gazi. Artikel yang tayang pekan lalu di kolom Esai Nyangkem.

Saya membaca tulisan itu, dan seketika senyum kecil terbit di wajah saya. Delapan tahun yang lalu, saya pernah berada di posisi yang sama dengan apa yang Imam gambarkan. Fase malas membuka file skripsi, fase dengki pada teman yang sudah lebih dulu sidang, fase pura-pura tabah menghadapi pertanyaan “skripsimu sudah sampai mana?” Semuanya pernah saya alami.

Hari ini jika memang diperbolehkan para pembaca, saya ingin sedikit “sombong.” Sombong dengan segala lika-liku yang sudah saya lewati. Ini semacam penegasan kalau perjalanan akademik itu benar-benar soal keteguhan mental. Direktur Nyangkem itu benar, mentalitas itu kunci. Sebelum itu, ada satu hal yang agaknya perlu saya luruskan. Menyoal kalimat: Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. Agaknya kalimat itu perlu disusun ulang menjadi disertasi yang selesai adalah disertasi yang baik. Hal ini berlaku untuk S1 maupun S2.

Kini, saya sedang bersiap menghadapi ujian disertasi terbuka. Semoga saja gelar doktor yang saya sandang benar-benar bermanfaat bagi umat, bangsa, dan negara.

Orang-Orang di Balik Kesabaran Menulis Disertasi

Perjalanan panjang ini tak serta merta muncul begitu saja. Di tengah jalan, di persimpangan, di tikungan dan dimana-mana saya menemukan orang-orang yang menginspirasi saya. Pertama, sudah barang tentu adalah kedua orang tua saya. Barangkali, ini cara mereka mewarisi nilai yang didapatkan dari kedua orang tuanya.

Kedua, kolega-kolega saya di kampus. Mereka yang lebih sering memberi sarkas yang justru saya jadikan bahan bakar semangat. Ada Pak Basis, mantan Dekan FISIP UNAIR (2006–2015). Beliau sering meledek saya: “Anda itu sekolah seperti tidak sekolah.” Maksudnya, saya terlalu sibuk mengajar, mengabdi, dan meneliti sampai lupa fokus pada studi. Ada kalimatnya yang paling membekas: “Getting nothing, by doing everything.” Alih-alih sakit hati, saya kira itu sebuah nasihat yang patut ditaati, meskipun saya tetap bandel dengan menyibukan di banyak hal.

Ada juga Mas Yunus dan Mas Joko. Dua teman sekaligus guru bagi saya. Mas Yunus ini sering memanggil saya “manusia setengah dekan.”  Panggilan yang sejalan dengan peran saya sebagai Koordinator Staf Dekanat selama tiga tahun berturut-turut.  Peran yang lebih cocok dinilai sebagai sebuah “pengabdian.” Sedangkan Mas Joko, yang kini sedang menempuh S3 di University of Cambridge, mengingatkan saya dengan kalimatnya yang sederhana: “Kalau kamu lulus, kariermu akan panjang di sini.”

Ketiga, promotor dan kopromotor saya.  Ibu Dr. Phil. Siti Rokhmawati Susanto, promotor sekaligus Kepala Departemen HI UNAIR, adalah sosok yang paling sabar dalam memberi nasihat.

Prof. I Gede Wahyu Wicaksana, kopromotor saya. Saking sibuknya apa yang saya kerjakan, beliau sampai berkata: “Kamu saja kalau butuh, baru grusa-grusu menghubungi saya.” Kalimat sederhana tapi makjleb tenan.

Tak lupa guru-guru lainnya seperti Prof. Baiq Wardhani dan Vinsensio Dugis, Ph.D. Pembuka jalan saya untuk mempublikasikan artikel di jurnal terakreditasi. Percayalah, menunggu jurnal internasional terbit adalah perjuangan yang lebih melelahkan dibanding menulis disertasi itu sendiri.

Seni Sabar dalam Disertasi

Jika skripsi adalah urusan mentalitas, maka disertasi adalah urusan kesabaran yang penuh strategi. Misalnya pada persyaratan administratif seperti sertifikat bahasa Inggris, presentasi di konferensi internasional, hingga publikasi jurnal. Semua-muanya perlu dan butuh banyak seni kesabaran.  Bagaimana dalam membangun jejaring, menjaga hubungan interpersonal, dan memahami eastern value: jika kita memperlakukan orang lain dengan baik, orang lain pun akan mempermudah urusan kita.

Di sini saya ingin menyebut satu nama penting: Prof. Toetik Koesbardiati, Koordinator Program Studi S3 Ilmu Sosial. Beliau sangat konsisten pada aturan, tetapi juga sangat memahami jika ada force majeure yang benar-benar mendesak. Ini jadi catatan penting: di jenjang doktoral, membangun kepercayaan dan relasi yang baik sama berharganya dengan membaca puluhan literatur teori.

Disertasi adalah ujian politik kesabaran. Bukan politik dalam arti licik, tetapi politik dalam arti seni menempatkan diri, seni mengatur waktu, seni mengatur prioritas. Kita harus rela menunda banyak kesenangan dan sering kali harus tabah menghadapi kenyataan bahwa penelitian itu never ending process. Menunda kesenangan ketika kita sedang di puncak semangat untuk berinteraksi dengan orang lain.

Belum lagi saya harus bertahan hidup mencari penghasilan di luar kampus. Jika hanya mengandalkan dari kampus tidaklah cukup untuk bayar kuliah sendiri. Tidak ada beasiswa untuk orang muda seperti saya.

Wira Ananta Rudira: Tabah Sampai Akhir

Imam, saya sepakat dengan tulisanmu bahwa skripsi itu urusan mentalitas. Tapi izinkan saya menambahkan: mentalitas itu harus berlanjut menjadi konsistensi dan persistensi. Dalam bahasa Jawa kuno, ada satu semboyan yang layak ditempatkan di halaman moto skripsi, tesis, atau disertasi: “Wira Ananta Rudira” atau tabah sampai akhir seperti moto dari Satuan Kapal Selam TNI AL.

Bagi saya, hasil tidak akan mengkhianati proses, asalkan prosesnya dijalani dengan baik. Jangan malah dibalik: jangan anggap proses itu tak penting selama hasil akhirnya ada. Itu logical fallacy yang sering jadi pembenaran.

Jadi, bagi Anda yang sedang mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi: mulailah dari mentalitas, lanjutkan dengan kesabaran, dan selesaikan dengan persistensi. Sampai nanti, di hari Anda menatap layar laptop dan berkata: “Ahh, gini doang ternyata.” Tapi jangan lupa satu hal: bahwa skripsi, tesis, atau disertasi adalah magnum opus atau karya terbaik yang dapat kita hasilkan selama kita hidup dan studi di suatu tempat.

Paling tidak, harus ada dari kita perasaan tidak khawatir bahwa nantinya lembaran-lembaran skripsi kita bernasib menjadi bungkus gorengan. Karena begitulah negeri ini memposisikan magnum opus kita. Lagi-lagi, camkan bahwa disertasi itu adalah momentum untuk learn, relearn, dan unlearn dalam alam pikir yang lebih dalam. Dialektika tidak diraih dengan hanya membuat catatan-catatan atas pustaka yang sudah ada namun juga mampu mengelaborasikannya dalam telaah yang utuh.

Penulis: Probo Darono Yakti

Editor : Imam Gazi Al

 

Baca Juga: Bukan Pintar atau Bodoh, Skripsi Hanya Urusan Mentalitas Saja! atau kolom esai lainnya

Probo Darono Yakti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *