Jika Terus Melestarikan Kegaduhan, Perlukah Pencak Silat Dilestarikan?

Jika Terus Melestarikan Kegaduhan, Perlukah Pencak Silat Dilestarikan?

‎Makin hari kabar tak mengenakkan kembali muncul sebab ulah pelbagai perguruan silat. Terbaru, salah satu anggota perguruan silat berakhir tewas akibat ditusuk oleh driver ojek online di Malang. Kabarnya semua itu terjadi saat salah satu perguruan silat sedang mengadakan konvoi. Pelaku mengaku terpaksa lantaran bentuk pembelaan diri.

“Kalau saya diam, saya mati,” ujarnya dalam konferensi pers, Sabtu (5/7/2025).

‎Mirisnya lagi, tak ada yang bersimpati atas kejadian itu. Sebab, mereka (baca: netizen) pula sudah muak dengan kegaduhan yang selalu dibikin oleh oknum-oknum perguruan silat. ‎Lantas, jika pencak silat saat ini identik dengan konfliknya. Maka untuk apa melestarikannya?

‎Stigma Buruk Masyarakat terhadap Pencak Silat sudah muncul jauh-jauh hari

‎Terkadang saya sendiri hanya bisa merenungi bagaimana nasib budaya pencak silat yang akan tertuai di masa depan. Ini bukanlah momen pertama kalinya perguruan silat dipandang dengan stigma negatif oleh masyarakat. Jauh sebelum ramai di media sosial seperti sekarang ini, stigma buruk itu sudah kadung muncul.

Kira-kira di tahun 2014, masyarakat Jawa Timur barangkali sudah merasakan bagaimana perguruan silat selalu rusuh. Konflik antar perguruan sudah muncul di tahun-tahun itu. Saya, ketika itu, masih duduk di bangku sekolah dasar.

Ojo metu, akeh cah silat, (jangan keluar, banyak anak-anak silat),” tegur orang tua saya saat itu yang kebetulan akan mengerjakan tugas kelompok.

Tak beda jauh dengan situasi saat ini. Kala itu, konvoi perguruan silat sudah menjamur. Bentrok antar perguruan juga sering terdengar. Tapi, hingga detik ini, saya sendiri masih bertanya-tanya: mengapa hal itu masih terus berlanjut sampai sekarang?

Kegagalan Para Elit Pencak Silat?

Saat itu semua terjadi, banyak kalangan dari elit pencak silat memilih untuk diam dan hanya melimpahkan kepada penegak hukum. Memang benar, jika di ranah hukum, tentu polisi yang lebih berhak menangani kasus-kasus kriminal seperti itu.

Namun yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah para elit ini mampu menghentikan konflik itu? Saya pikir: tidak. Mereka hanya memikirkan bagaimana politik organisasi berjalan. Bagaimana cara mendapatkan banyak massa. Tanpa memikirkan apa dampak yang bakal dituai ketika tahu bahwa saat ini, masyarakat sudah muak dengan yang namanya “Pencak Silat”.

Saya sendiri merupakan anggota organisasi pencak silat yang kerap menimbulkan masalah di dalam norma sosial. Tapi, saya selalu menegaskan kepada teman sebaya, bahkan orang-orang di sekitar yang juga ikut pencak silat. Bahwa tidak ada gunanya terlalu mencintai organisasi. Itu hanya menimbulkan konflik yang tak pernah usai.

Bahkan, para elit pencak silat juga tak pernah dengan serius memutus lingkaran setan yang sudah berjalan selama puluhan tahun ini. Mereka hanya diam. Menikmati kucuran dana yang datang dari tiap-tiap anggota baru yang disahkan. Dan, itu adalah hal paling menjijikkan yang pernah saya temui.

Konflik akan selesai jika berhenti mencari anggota pencak silat

Apa yang sedang dibicarakan masyarakat adalah cerminan atas apa yang sudah organisasi lakukan. Saya sepakat bahwa tidak ada perguruan silat yang mengajarkan keburukan. Tentu, sudah bertahun-tahun, saya mempelajarinya dan berkutat dalam dunia itu.

Tapi, lagi-lagi, itu bukanlah salah ajarannya. Ideologi pencak silat itu murni dari leluhur. Tapi kemudian itu dinodai oleh mereka yang tak bermoral: mengedepankan ego hanya untuk mencari validasi. Merasa bahwa, “perguruanku adalah yang paling hebat” dan menyepelekan apa arti ‘pendekar’ yang sesungguhnya.

Hingga akhirnya, saya terbesit satu hal yang mungkin saja bisa dilakukan untuk memberantas konflik ini. Berhenti mencari anggota pencak silat. Fokus untuk membenahi internal perguruan, menanamkan moral, dan mencintai sesama manusia. Banyak pendekar yang baru disahkan itu tak punya pegangan prinsip yang kuat. Kalau bahasa Jawa-nya, “udrak-udruk”. Asal Ikut arus saja.

Padahal, harusnya mereka sudah bisa berpikir. Sebab esensi dari ideologi pencak silat juga seharusnya “tahu benar dan salah”. Tapi, mereka tak seperti itu. Akibat pergaulan, lalu doktrin-doktrin untuk membenci organisasi lain itulah yang menyebabkan konflik masih terus terjadi.

Pesan Untuk Para Elit Pencak Silat: Jangan Mencari Hidup di organisasi, tapi Hidupilah Organisasi

Ironisnya, para elit pencak silat tak pernah memikirkan hal ini. Mungkin, seolah-olah berpikir, tapi nyatanya tidak.

“Saya menghimbau untuk tidak melakukan konvoi.”

Itu yang biasanya terdengar dari mulut para elit. Tapi, himbauan saja tidak cukup untuk mengendalikan puluhan bahkan ratusan ribu pesilat di Kabupaten. Nyatanya masih ada saja yang tetap memilih konvoi hingga timbul konflik. Dan, ketika disalahkan, mereka akan menjawab, “sudah saya himbau”.

Maka siapa yang patut disalahkan? Saya pikir semuanya. Waktunya semua perguruan silat berbenah. Apa susahnya mendatangi masing-masing padepokan, atau rayon kepengurusan untuk menegaskan agar tak terus-terusan berkonflik? Jika masih fanatik, suka bikin onar, maka pecat! Itu demi kebaikan organisasi.

Atau, putus akar permasalahannya dengan membatasi anggota baru tiap tahunnya. Perketat bagaimana cara ikut latihan. Kumpulkan semua pelatih dan didik agar tak menyalurkan hal negatif ke siswa yang dilatih. Lalu, beri tanggung jawab penuh atas apa kesalahan yang dilakukan oleh siswa didiknya.

Dari beribu perguruan silat, sementara satu-dua perguruan yang selalu bikin onar. Tapi imbasnya: pencak silat sudah terlanjur dipandang negatif oleh masyarakat. Jika dulu melahirkan pendekar yang berani melawan penjajah. Lantas, kini apa gunanya melestarikan pencak silat yang justru melahirkan konflik dan para kriminal?

 

Penulis: Muhammad Ridhoi

Editor   : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga: Bukan Pintar atau Bodoh, Skripsi Hanya Urusan Mentalitas Saja! 

Muhammad Ridhoi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *