Sebagai seorang perokok, ada sesuatu yang sedang mengusik batin saya. Bukan suatu hal yang mencoba membenturkan dunia kesehatan dengan dunia per-kretek-an. Bukan pula ingin meromantisasi asap. Ini semua menyoal bagaimana bangsa dan negara lain bisa begitu bangga dengan warisannya, sementara kita justru menjauh dari apa yang kita punya. Tulisan ini tak serta merta ingin berkampanye, apalagi membuat provokasi. Ini soal kearifan lokal yang perlahan kehilangan rumah di tanahnya sendiri. Saya berbicara sebagai orang yang menghisap bukan hanya tembakau, tapi juga sejarah, aroma, dan identitasnya.
Merawat Warisan
Hebat betul beberapa negara di luar sana membanggakan produk lokal mereka. Sebut saja negara Kuba yang bangga dengan cerutunya. India dengan rempah-rempah dan Ayurvedanya. Jepang dengan tehnya, hingga Brazil dengan kopinya. Semua itu bukan sekadar komoditas, melainkan lambang kebudayaan, harga diri, bahkan diplomasi identitas. Dari kacamata warga sipil biasa seperti saya ini, punya hipotesis bahwa negara-negara yang saya sebutkan tadi memang telah tuntas soal inferioritas. Mereka tidak sedang sibuk menjadi orang lain. Mereka berdamai dengan akar, dan justru menjadikannya alasan untuk berdiri tegak di hadapan dunia.
Sementara itu, di negeri ini. Ada satu jenis komoditas yang justru sering ditaruh di pojok ruangan wacana. Dianggap kuno, merusak citra, atau bahkan tak layak diusung dalam narasi kemajuan. Sebut saja Kretek. Satu barang yang sempat menjadi denyut industri yang menghidupi banyak keluarga. Dari para pelinting hingga pedagang asongan, dari pemilik pabrik hingga para petani tembakau. Kretek telah membentuk ekosistem ekonomi yang kompleks sekaligus mengakar kuat di tanah sendiri.
Kretek sudah lekat dengan kultur masyarakat kita. Ia hadir di sela-sela obrolan, di sela waktu para budayawan berkarya, bahkan menjadi semacam ‘penanda kelas’ tersendiri dalam sejarah perlawanan. Kretek bukan sekadar benda terbakar begitu saja. Ia semcam simbol pembangkangan yang elegan, menyampaikan keberadaan yang enggan tunduk.
Persepsi Kretek Hari Ini
Sempat di satu sore, saya membeli kopi sachet di warung depan gang. Sambil duduk, saya nyalakan sebatang kretek. Seorang bapak tua di sebelah saya menoleh, matanya agak heran. “Lho, kamu ngerokok kretek, Dik?” tanyanya. Saya cuma angguk. Dia menghembuskan napas, lalu gumam pelan, “Jarang sekarang anak muda doyan beginian.”
Respons heran dari bapak tua itu bagi saya adalah cermin dari pergeseran citra kretek dalam lanskap sosial kita hari ini. Kretek yang dahulu diasosiasikan dengan identitas rakyat, dengan aroma tanah dan suara petani, kini perlahan tersisih oleh persepsi modernitas yang dibentuk lewat industri dan regulasi. Generasi muda dianggap tak mungkin lagi menyentuhnya karena telah diasuh dalam nilai-nilai higienitas, tren global, dan kebijakan kesehatan publik. Maka tak ayal jika ada seorang anak muda merokok kretek, yang terusik bukan cuma memori si bapak, tapi juga nalar dominan yang selama ini diam-diam menyusun ulang makna ‘layak’ dan ‘ketinggalan zaman’. Dalam momen sederhana itu, kretek menjadi situs tarik-menarik antara warisan budaya dan logika penghapusan yang bekerja halus lewat gaya hidup dan selera pasar.
Milik Sendiri yang Tak Dikenali
Dan hari ini, kretek nyaris kehilangan ruang simboliknya. Regulasi demi regulasi membuatnya seperti anak tiri dalam rumah sendiri. Ironisnya, yang diperjuangkan mati-matian atas nama kesehatan publik, tak jarang menyisakan ketimpangan: iklan rokok dibatasi ketat, tapi minuman manis bersoda yang jelas-jelas menyumbang angka diabetes dibiarkan menari-nari di semua kanal media.
Saya tidak anti kesehatan. Saya menghormati setiap upaya menekan angka kematian akibat rokok. Tapi saya juga percaya bahwa sesuatu bisa dikritik tanpa harus dimusuhi, bisa dikelola tanpa harus dibuang. Yang kita perlukan bukan demonisasi, melainkan penempatan yang adil dan jujur—bahwa kretek adalah bagian dari sejarah panjang bangsa ini, dan memperlakukannya dengan hormat bukan berarti mempromosikan ketergantungan, tapi menjaga warisan.
Mungkin yang kurang dari kita bukan hanya regulasi, tapi rasa percaya diri juga benar-benar kurang. Kita terlalu sibuk mengejar “standar global”, sampai lupa bahwa yang benar-benar mendunia adalah yang tahu dari mana dia berasal. Tak harus memuja kretek. Tapi alangkah lucunya jika kita justru asing terhadapnya, seolah-olah ia bagian dari masa lalu yang memalukan.
Kretek oh Kretek ..
Di tengah banyaknya negara sedang merayakan keaslian dan identitasnya, Justru kita bersikap sebaliknya. Kuba merawat cerutunya, Jepang menjaga tehnya, dan Brazil setia pada kopinya. Mereka tahu betapa berharganya jejak rasa dan sejarah dalam produk-produk itu. Mengapa kita harus ragu pada kretek, yang bahkan kata dan baunya saja sudah sangat Indonesia?
Hari ini, mungkin yang tersisa dari kretek hanyalah bau yang sudah ditolak di ruang publik. Lagi dan lagi, saya tak bermaksud untuk mengajak kalian merokok. Saya hanya ingin mengajak untuk mengingat. Di balik sebatang kretek, tersembunyi kerja panjang, kebudayaan yang hidup, dan warisan sosial yang nyata. Tak semua yang berasap harus dihapuskan dari ingatan kolektif, karena beberapa di antaranya menyimpan jejak tentang siapa kita pernah menjadi.
Ada hal-hal yang tidak perlu dibanggakan dengan bendera besar, namun cukup dihormati dengan tidak menyembunyikannya. Kretek adalah salah satunya. Bila bangsa ini sungguh ingin maju, ia harus berdiri di atas pijakan yang utuh—bukan hanya dari apa yang disetujui dunia, tetapi juga dari apa yang tumbuh dan berakar di tanahnya sendiri.
Penulis : Sayyid Muhamad
Editor: Imam Gazi Al