Kartini, Surat, dan Sisa-sisa Kebaya: Sebuah Refleksi

Kartini, Surat, dan Sisa-sisa Kebaya: Sebuah Refleksi

Setiap bulan April, kantor-kantor pemerintahan, kampus, dan ruang korporasi riuh ramai oleh parade kebaya dadakan. Perempuan-perempuan berdandan ayu, berpose di lobi dengan latar spanduk bertuliskan “Hari Kartini,” lalu mem-posting-nya di media sosial sembari menambahkan kutipan motivasional. Seolah mengenakan kebaya selama sehari sudah cukup untuk merayakan semangat Kartini. Namun apakah benar Kartini ingin dikenang lewat potret estetik semacam itu?

Kartini bukanlah ikon busana. Ia adalah ikon pemikiran. Yang abadi dari Kartini bukanlah kebayanya, melainkan surat-suratnya. Surat yang ditulis kepada Estelle Zeehandelaar dan Nyonya Abendanon. Surat yang menjadi jendela intelektual dengan memperlihatkan kegelisahan, ketidakadilan, dan harapan besar seorang perempuan Jawa di tengah belenggu feodalisme dan kolonialisme.

Membaca dan Upaya Menjadi Manusia Seutuhnya

Kartini muda sangat haus ilmu. Ia membaca banyak buku, sebagian besar adalah buah tangan dari kakaknya, R.M.P. Sosrokartono, seorang poliglot yang berkarier di Eropa dan kelak menjadi filsuf hidup yang disegani¹. Sosrokartono jarang dibahas ketika kita mengenang Kartini, padahal dari dialah Kartini mendapatkan bacaan-bacaan modern Barat, termasuk karya-karya feminis Eropa seperti Multatuli dan Van Eeden. Sayangnya, peran literasi ini kini seperti tertelan parade seremoni: dibicarakan hanya sebagai trivia, bukan sebagai napas perjuangan.

Kartini juga berguru pada tokoh ulama terkemuka Semarang, K.H. Sholeh Darat². Dari sang kiai, Kartini mempelajari tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa yang sebelumnya tak pernah ia mengerti. Salah satu yang menggugahnya adalah tafsir Surah Al-Alaq yang memerintahkan manusia untuk membaca. Kartini menangis, menyadari bahwa selama ini kitab suci itu begitu dekat namun tetap asing, karena dibacakan dalam bahasa Arab tanpa pemahaman. Di sinilah kelahiran spiritual-literasi Kartini menemukan bentuknya: bahwa membaca adalah upaya untuk menjadi manusia seutuhnya.

Dan dari bacaan-bacaan itulah Kartini menulis. Ia menulis dengan sangat cermat dan penuh perenungan. Bukan tulisan dangkal untuk pencitraan, melainkan surat-surat panjang yang menohok struktur budaya dan sistem kolonial Hindia Belanda. Ia bicara soal pendidikan, tentang posisi perempuan, bahkan tentang kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Bila hari ini perempuan modern hanya aktif menulis tweet, caption Instagram, atau komentar sinis pada orang yang kritis, maka kita gagal memahami esensi Kartini.

Pertanyaannya kini: sudahkah perempuan Indonesia hari ini pandai menulis? Atau setidaknya, sudahkah mereka mencintai membaca? Bukan sekadar membaca info gosip, berita viral, atau review skincare, tapi membaca dengan keinsafan, membaca dengan kesadaran untuk memahami realitas secara lebih jernih. Membaca adalah syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin menulis dengan misi perubahan.

Pewaris Nilai-nilai Substansial

Kartini sendiri pernah menunjukkan bahwa perjuangan kadang menuntut pengorbanan personal. Ia mempertimbangkan untuk tidak menikah, demi dapat melanjutkan pendidikan ke Belanda. Keinginan itu kandas karena tekanan sosial dan keluarganya. Namun, bahkan setelah menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, ia tetap berkarya, mendirikan sekolah perempuan, dan meneruskan semangat pendidikannya. Kartini menolak menyerah pada nasib.

Dan yang sering dilupakan: Kartini meninggal setelah melahirkan Soesalit Djojoadhiningrat, hanya beberapa hari setelah itu. Namun yang lebih mencengangkan, keturunannya, tidak ada yang hidup mengandalkan nama besar Kartini³. Tak ada yayasan Kartini Corp, tidak ada keluarga besar yang hidup dari royalti nama sang pahlawan. Ini menunjukkan bahwa Kartini tidak mewarisi kemewahan, tetapi nilai. Nilai yang berdiri di atas prinsip, kejujuran intelektual, dan keikhlasan untuk berkontribusi tanpa pamrih.

Dalam konteks ini, Kartini bukan sekadar ikon emansipasi perempuan. Ia simbol dari idealisme manusia Indonesia yang seharusnya: melek literasi, punya kesadaran sosial, dan berani menyuarakan keadilan. Kartini tidak hanya memperjuangkan perempuan, tapi seluruh bangsa. Karena itulah surat-suratnya tidak hanya relevan untuk perempuan, tapi juga laki-laki, pejabat, aktivis, pendidik, dan siapa pun yang mengaku cinta pada negeri ini.

Kini mari kita bandingkan dengan realitas hari ini. Banyak perempuan justru terjebak pada eksistensi simbolik, bukan substansi. Alih-alih menjadi “empu” yang menciptakan gagasan, justru menjadi konten kreator yang menggoda algoritma. Bahkan istilah “pemersatu bangsa” digunakan secara negatif, menggambarkan bagaimana tubuh perempuan dijadikan objek viral yang menjual, bukan subjek pemikir yang membebaskan.

Kata “perempuan” berasal dari “empu,” yakni orang yang memiliki keahlian atau kepandaian tertentu. Maka, perempuan yang sejati adalah mereka yang memampukan dirinya dengan keahlian intelektual, moral, dan sosial. Bukan sekadar mahir berdandan, tetapi juga tajam berpikir. Bukan sekadar paham tren, tapi juga paham arah.

Tulisan ini tak bermaksud menyalahkan perempuan semata. Sebab sistem juga turut menciptakan kondisi. Tapi jika sistem belum berubah, siapa yang akan memulai? Di sinilah pentingnya kesadaran individual—terutama dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan, yang punya akses pada bacaan dan teknologi—untuk tidak ikut larut dalam arus estetika tanpa esensi.

Kartini Saat Ini

Kartini tidak pernah menulis untuk dikenang. Ia menulis karena ia peduli. Ia tidak menulis untuk menjadi pahlawan, tapi karena ia ingin kaumnya tidak lagi dibelenggu. Dan ia memilih surat sebagai medium, karena surat menyimpan perenungan, bukan sekadar ekspresi instan. Maka ketika kita berbicara tentang “Kartini modern,” ukurannya bukan kebaya, bukan unggahan medsos, tapi sejauh mana kita mewarisi kecintaan Kartini pada pendidikan, literasi, dan keberanian berpikir kritis.

Jauh sebelum Kartini, Indonesia sudah memiliki perempuan-perempuan luar biasa. Cut Nyak Dhien memimpin perang gerilya meski dalam kondisi buta dan tua. Ratu Kalinyamat mengirim armada ke Malaka untuk menghadapi Portugis, membuktikan bahwa perempuan bisa memimpin kerajaan dan pasukan. Laksamana Malahayati menusuk dominasi Belanda, sementara Ibu Suri Gayatri menjadi pengatur strategi Majapahit yang sebenarnya. Mereka semua menolak tunduk pada narasi bahwa perempuan hanya pelengkap.

Pertanyaannya sekarang: di mana posisi perempuan Indonesia hari ini? Sudahkah menyambung semangat Kartini dan para perempuan tangguh itu? Atau justru sibuk mengemas diri sebagai objek eksotis yang dibentuk oleh narasi kapitalisme digital?

Jika kita jujur, kita harus bertanya lebih dalam: apakah semangat Kartini masih hidup dalam bacaan, tulisan, dan idealisme perempuan Indonesia hari ini?

Atau, jangan-jangan, yang tersisa dari Kartini hanyalah kebaya dan caption semata?

Disclaimer

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili institusi mana pun. Setiap rujukan sejarah disusun berdasarkan sumber terbuka dan interpretasi penulis dalam konteks reflektif.

Catatan Kaki

  1. Lihat biografi RMP Sosrokartono dalam berbagai catatan sejarah, termasuk kisahnya sebagai jurnalis perang dan penerjemah Liga Bangsa-Bangsa.
  2. K.H. Sholeh Darat dikenal luas sebagai ulama yang pertama kali menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa, yang sangat memengaruhi pemahaman Kartini tentang Islam.
  3. Lihat catatan keluarga besar Kartini dan wawancara dengan keturunan Kartini yang menegaskan bahwa mereka tidak hidup dari “nama besar” Kartini.

Baca Juga : Kartini Tidak Tunggal: Luka yang Tak Terlihat, dan Harapan yang Terus Menyala atau kolom esai lainnya

Probo Darono Yakti

One response to “Kartini, Surat, dan Sisa-sisa Kebaya: Sebuah Refleksi”

  1. […] Juga : Kartini, Surat, dan Sisa-sisa Kebaya: Sebuah Refleksi atau kolom esai […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *