MungMengenang sosok Kartini menjadi kegiatan rutinitas tahunan, setidaknya setiap tanggal 21 bulan April kita semua mengenang sosok Kartini. Perempuan bangsawan Jawa yang berani menyuarakan keresahan dan mimpi di tengah belenggu adat dan tradisinya. Namun, setelah ratusan tahun berlalu, pertanyaannya tetap sama: apakah perempuan hari ini sudah bebas? Atau justru sedang tenggelam dalam bentuk-bentuk penindasan baru yang lebih halus—bahkan kadang datang dari sesama perempuan?
Kartini pernah menulis dalam suratnya kepada sahabatnya di Belanda, “Apakah yang dapat dilakukan oleh seorang gadis Jawa? Tidak ada.” Sebuah kalimat getir dari seorang perempuan muda yang disekap oleh struktur sosial dan budaya. Kini, ketika akses pendidikan terbuka dan suara perempuan mulai terdengar, apakah persoalannya selesai? Ternyata tidak.
Ketika Perempuan Menindas Perempuan
Ironis tapi nyata. Salah satu luka terbesar yang dialami perempuan hari ini justru datang dari sesamanya. Perempuan yang merasa lebih “taat”, lebih “beradab”, lebih “mulia”, tak jarang menghakimi perempuan lain yang memilih jalan berbeda. Ini bukan hanya tentang cara berpakaian atau pilihan menjadi ibu rumah tangga atau perempuan karier. Ini adalah soal bagaimana sesama perempuan kerap kali gagal melihat bahwa perjuangan itu bermacam-macam wajah dan perananya.
Dalam Silsilah Duka, Dwi Ratih Ramadhany menggambarkan bagaimana perempuan bisa jadi pion atas ketertindasan sesamanya, dengan alasan ‘lebih tau, lebih paham, dan lebih beradat’ hingga satu per satu wujud larangan malah menjadi ajang eksploitasi mental perempuan yang lain hingga berujung jalan tragis di hidupnya sendiri. Dwi Ratih menggambarkan karakter perempuan yang berperan bukan hanya sebagai ibu semata, melainkan bagaimana perempuan Madura yang menjadikan agama sebagai dasar dalam mengambil alih kuasa perempuan. Lebih jauh lagi, pandangan terkait sosok ideal sebagai perempuanlah yang mendasari penindasan tersebut apakah sudah sesuai dengan standar masyarakat atau justru sebaliknya.
Beban Tanpa Nama: Multi Peran Perempuan
Perempuan hari ini diharapkan jadi segalanya. Ibu yang baik, istri yang sabar, pekerja yang produktif, anak yang berbakti, dan anggota masyarakat yang aktif. Tapi siapa yang mengurus perempuan? Siapa yang mendengarkan mereka?
Kita melihat perempuan bekerja dari pagi hingga malam, lalu mengurus rumah tangga seolah itu bukan kerja.Mereka menjadi tulang punggung dan tulang rusuk sekaligus. Bahkan lebih dari 1 dari 10 pekerja di Indonesia menyandang female breadwinners atau tulang punggung. Mirisnya sampai usia lanjut pun (usia lebih dari 60 tahun ke atas) 17,91 % perempuan menanggung beban sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir menyebutkan bahwa perempuan tidak dilahirkan, melainkan dibentuk oleh masyarakat—dan itu masih berlaku sampai sekarang. Beauvoir mengeksplorasi bagaimana perempuan sering dipandang sebagai “yang lain” oleh laki-laki, dan bagaimana hal ini membentuk identitas dan pengalaman perempuan. Beauvoir juga menganalisis bagaimana perempuan diperlakukan sejak kecil hingga menjadi dewasa, serta berbagai aspek kehidupan perempuan seperti pengalaman seksual, peran dalam keluarga, dan perjuangan untuk kebebasan. Multi peran yang dilakukan oleh perempuan inilah menjadi tanda tanya, apakah memang beban tanpa nama selalu diletakkan di pundak perempuan?
Kekerasan yang Masih Nyata, Tapi Diabaikan
Selain itu, setiap hari, ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap hari juga, masih ada yang bertanya, “Dia pakai baju apa?” atau “Dia pergi jam berapa?” Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk diam, stigma, dan ketidakpercayaan.
Komnas Perempuan mencatat ribuan kasus setiap tahunnya. Namun yang tercatat hanyalah sebagian kecil. Banyak perempuan yang memilih diam karena takut, malu, atau karena pelakunya adalah orang terdekat. Seperti halnya pada kasus belasan santriwati yang mengalami kekerasan seksual yang pelakunya justru dari guru di pesantren tersebut. Bahkan paling hangat, seorang guru besar di perguruan tinggi ternama yang jelas-jelas bergelar akademik juga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Miris.
Perempuan bisa untuk membela dirinya tapi apakah harus nekat dulu dengan mengabaikan lukanya sendiri. Seperti dalam Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dari Dian Purnomo membongkar luka-luka itu, dengan gaya yang khas cerita tentang masyarakat adat menyayat hati pembacanya. Bagaimana tidak, korban kawin tangkap (Yappa Mawine) di Sumba, seorang perempuan bernama Magi Diela sudah terluka karena kasus kekerasan seksual yang dialaminya masih harus dipaksa tunduk pada adat, dipaksa kawin dengan orang yg melakukan kekerasan tersebut, hingga Ia nekat melawan berbagai bentuk diskriminasi gender dan budaya patriarki dengan taruhan nyawanya sendiri. Apakah harus terus menerus perempuan tumbang terlebih dahulu, baru kasusnya diungkap?
Kartini Hari Ini: Yang Tak Sempurna Tapi Terus Bertahan
Kartini hari ini bukan perempuan ideal yang sempurna. Ia adalah perempuan yang berangkat kerja sambil menitipkan anak ke tetangga. Perempuan yang menjual gorengan sambil kuliah daring. yang dituduh gila karena berani bicara soal trauma.
Kartini hari ini adalah kamu, dia, kita—perempuan yang meski sering jatuh, tetap memilih berdiri. Buku The Moment of Lift dari Melinda Gates menyebutkan bahwa kemajuan perempuan berarti kemajuan dunia. Dan itu bukan soal memenangi semuanya, tapi memastikan tidak ada yang ditinggalkan.
Perempuan Membentuk Dunia, Tapi Jangan Lupakan Dirinya Sendiri
Kartini tidak tunggal. Ia hadir dalam banyak wajah dan banyak perjuangan. Mungkin ada dalam dirimu yang sedang berusaha mencintai diri sendiri setelah bertahun-tahun dihukum oleh standar orang lain. Ia mungkin ada dalam ibu, sahabat, atau bahkan dalam perempuan yang dulu kamu benci—karena ternyata kita semua sedang mencoba bertahan dalam sistem yang tak selalu adil.
Selamat Hari Kartini. Terus hidup, terus bersuara, dan terus mencintai sesama perempuan—karena revolusi sejati lahir dari empati.
Penulis : Meilisa Dwi Ervinda
Editor : Imam Gazi Al Farizi
One thought on “Kartini Tidak Tunggal: Luka yang Tak Terlihat, dan Harapan yang Terus Menyala”