Mengacak-acak Pekarangan Acak

Mengacak-acak Pekarangan Acak

Sejujurnya, buku kumpulan puisi berjudul Catatan Dari Pekarangan Acak ini sudah saya bedah bersama penyairnya langsung secara luring. Persis saat agenda Bailang Buku di pekarangan Perpustakaan Komune TerAksara Indonesia. Perpustakaan tempatnya di sebuah rumah KPR yang disulap sedemikian rupa. Beralaskan tikar berisi nama-nama hewan dan dilengkapi furnitur lokal, seperti toren besar berwarna jingga merona dan setangkai sapu teras yang bersandar dalam posisi terbalik di samping tembok rumah.

Namun sialnya, sang pengarang harus bergegas pulang ke kampung halaman saat itu juga. Alhasil saya terpaksa menyampaikan hasil pembacaan saya dengan ringkas. Merasa jengah, lahirlah tulisan ini sebagai bentuk dedikasi sesama penyandang nama ‘Daffa’ sekaligus menyambungkan beberapa hal yang tak sempat saya jabarkan ketika agenda bedah buku berlangsung.

Gejala dan Kemungkinannya

Sebagai permulaan, apa yang sekiranya bisa kita temukan melalui naskah Pemenang III Sayembara Manuskrip Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan Tahun 2023 ini?

Hal pertama yang saya sorot sedari awal, adalah keputusan Daffa dalam memilih frasa ‘pekarangan acak’ sebagai judul dari naskah tersebut. Jika, keputusannya merupakan bagian kecil dari kredo. Maka, saya anggap keputusannya adalah upaya besar untuk mempertemukan pembaca pada selembar peta lokalitas yang menggambarkan dua jalur—tepatnya dua gejala saling berkaitan yang sayang untuk diabaikan.

Gejala pertama dalam makna literal. ‘pekarangan acak’ di sini diartikan sebagai ruang hidup yang beragam; seperti pemandangan arus sungai, sejuk pepohonan, aroma dapur yang menguar, hingga teriakan anak-anak di sekitar langgar. Sebuah lanskap domestik yang kaya interaksi sosial, menggambarkan sebuah tempat untuk hidup saling berdampingan, meski berbeda akar satu sama lain.

Saya merasa terkejut. Sembari melihat gejala pertama ini saya perlahan diajak masuk juga ke dalam ruang keintiman Daffa dengan sosok seorang ibu sebagai perangkat puitiknya. Dari keintiman tersebut pula, kita bisa membaca sedikit pola religiusitas yang tumbuh dalam puisi-puisinya secara tidak langsung. Religiusitas yang tak meledak dalam khotbah, tetapi menyelinap dalam pilihan diksinya yang cenderung kalem, pasrah, dan merunduk. Saya pikir, beginilah wajah religiusitas yang seharusnya. Keislaman dalam puisinya bukan lagi sebagai simbol, melainkan menjelma menjadi napas seorang ibu yang berperilaku lembut dan jinak.

Di samping itu, terdapat juga gejala kedua dengan bermakna subliminal. Mengartikan ‘pekarangan acak’ sebagai tempat yang jauh lebih destruktif, penuh porak-poranda, suara-suara yang terdengar pecah dan serak, bahkan menjadi tempat yang terasa absurd. Tempat di mana keteraturan ditolak, kekacauan jadi wajah harian, dan segala sesuatu telah ditinggalkan. Hal ini bisa ditemukan di beberapa puisinya dengan banyaknya menggunakan diksi-diksi bernuansa kelam; seperti ‘anjing’, ‘dosa’, ‘neraka’, dan ‘mayat’.

Dari dua gejala yang telah ditemukan, cukup kiranya digunakan sebagai cakar tafsir untuk mengacak-acak (baca: menelusuri) lapisan makna terpendam yang mengisyaratkan kondisi fisik dan batin yang kian terlanjur retak dan koyak.

Segala Kejanggalannya

Dalam puisi-puisinya, kita seakan diajak berkunjung di sebuah pekarangan yang tidak selalu tenang. Kadang kita seringkali menjumpai hal lain seperti semak liar yang dapat mengganggu kenikmatan ketika membacanya (kalau boleh saya sebut sebagai sebuah kejanggalan atau bolong-bolong estetika). Saya paham betul, di bagian ini Daffa seolah ingin menunjukkan keberaniannya dalam bereksplorasi. Tentu saja,  tidak semuanya berhasil.

Nahdiansyah Abdi, salah satu juri Sayembara Manuskrip Puisi Aruh Sastra 2023, menyebut bahwa puisi-puisi Daffa memiliki “susunan katanya nyaman, alurnya lancar, artikulasinya jelas, idenya menohok.” Sebuah pernyataan yang tentu memberi legitimasi estetika bagi puisi-puisi Daffa. Sayangnya, saya tidak menemukan terkait aspek-aspek tersebut. Malahan, saya menemukan pengolahan diksi yang sedikit semrawut. Ada beberapa puisi yang saya lihat seperti kumpulan status Facebook atau caption Instagram, lalu ‘diarangsemen ulang’ sedemikian rupa, agar terlihat kontekstual, walau nampak memaksakan relevan terhadap tema yang diusung. Ini membuat saya merasa kelelahan sampai mengerutkan dahi ketika membacanya

Dua puisi berjudul “Parafrase Dadang” dan “Wasiat Sukab”—merupakan contoh puisi paling mencolok dari kegamangan yang saya rasakan. “Dadang” (Dadang Ari Murtono) dan “Sukab” adalah nama-nama yang sudah terlalu dekat dengan semesta lain: yang satu dekat dengan iklim Mojokerto, yang satu dekat dengan semesta Seno Gumira Ajidarma. Ketika Daffa mencoba merayap ke semesta tersebut, puisinya tidak lagi tumbuh dari pekarangan tempat ia berpijak. Ia menjadi turis dalam lanskap yang asing, menyematkan referensi yang tidak memiliki ikatan emosional atau kultural dengan dirinya. Akibatnya, puisinya kehilangan kedalaman dan penghayatan dalam daya ucapnya.

Penutup

Meskipun buku ini memiliki kejanggalan yang nampak, saya tetap merekomendasikannya untuk disimak oleh khalayak pembaca. Sebab, sejatinya buku ini sarat akan filosofi yang mendalam: ibarat seekor kucing yang menggali lubang di pekarangan rumah untuk membuang hajatnya, dalam bentuk luka trauma dan penderitaan yang menimpanya, agar apa yang dibuangnya dapat menjadi bahan perenungan maupun pupuk semangat bagi para tanaman yang ingin tumbuh mekar tanpa rasa bersalah. Sekian. Dari Daffa, untuk Daffa.

 

Penulis : Cahaya Daffa Fuadzen

Editor : Imam Gazi Al Farizi

 

Baca Juga: Maaf, Tulisan Ini Terlalu Waras!! atau kolom esai lainnya

Cahaya Daffa Fuadzen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *